Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan mempercayainya semata-mata berurusan dengan pengampunan pajak pun, Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional lebih berpotensi mencederai negara. Dasarnya rapuh. Masuknya ke agenda Program Legislasi Nasional juga diselinapkan. Karena itu, keberatan terhadap usul sejumlah politikus Dewan Perwakilan Rakyat dari empat fraksi ini sepantasnya dikemukakan dan terus-menerus diamplifikasi.
Upaya itu mesti dilakukan seraya memastikan bahwa yang menolak bukan saja sekelompok kecil orang atau organisasi atau sesama politikus. Upaya ini perlu agar para pengusulnya tak bermain sendiri dalam prosesnya sehingga berkesempatan memastikan publik berada dalam gelap atau tahu sedikit saja. Para politikus ini sebetulnya sedang "membengkokkan" rancangan pengampunan pajak menjadi pengampunan nasional, yang dalam penerapannya bisa meliputi koruptor.
Para pengusul rancangan itu, beberapa di antaranya politikus bermasalah, beralasan undang-undang pengampunan nasional diperlukan untuk menarik kembali sekitar Rp 7.000 triliun uang milik warga negara Indonesia yang berkeliaran di luar negeri. Uang ini dihasilkan dari pengemplangan pajak serta tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Usul itu sekilas masuk akal, mengikuti kecenderungan yang terjadi di banyak belahan dunia, dan tampak berguna.
Masalahnya, prasyarat yang lazim tersedia dalam menjalankan program pengampunan pajak belum ada, yakni sistem administrasi yang baik serta data keuangan dan perbankan yang akurat. Data dan sistem administrasi itu dibutuhkan untuk mengawasi kepatuhan pasca-pengampunan—yang berimplikasi pada kepatuhan pajak di masa depan. Italia, misalnya, berhasil menjadi negara yang paling sukses menerapkan program ini di Eropa karena lebih dulu memiliki keduanya.
Suka atau tidak, pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan lebih dulu sebenarnya bukan hanya itu. Yang juga mendesak adalah pembaruan sistem perpajakan dan keuangan yang menyeluruh. Pembaruan ini sekurang-kurangnya meliputi amendemen Undang-Undang Perbankan, penerapan nomor pengenal tunggal, akses data perbankan dan keuangan, serta koordinasi kelembagaan penegak hukum.
Andaikata semua itu sudah terpenuhi, ada ganjalan lain dari rancangan undang-undangnya: skema dan target programnya tak jelas. Ketidakjelasan skema repatriasi atau pemulangan dana itu sangat mengganggu, juga menimbulkan prasangka. Wilayah abu-abu bisa membuka peluang bagi mereka yang hendak bermain mata. Tanpa ketentuan mengenai kewajiban menempatkan dana di perbankan dalam negeri atau menginvestasikannya dalam obligasi negara dalam jangka waktu tertentu, pengampunan pajak sangat berpotensi gagal mencapai tujuan.
Tujuan itu pun sebenarnya masih bisa dicapai dengan cara biasa, yaitu melalui Direktorat Jenderal Pajak. Bagaimanapun, harus diakui, sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam urusan pajak, upaya direktorat itu memburu para pengemplang pajak masih kurang gigih. Sejauh ini bahkan hampir tak pernah terlihat direktorat itu bertindak lebih agresif.
Melihat semua itu, memberlakukan undang-undang pengampunan sama saja dengan mendeklarasikan kekalahan tanpa perlawanan. Bukan saja sia-sia, pemerintah juga jadi terlihat tak adil terhadap wajib pajak yang rajin membayar—sesuatu yang pasti mau dihindari kapan pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo