Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

4 Metode Konservasi Alam Ini Diterapkan Masyarakat Adat secara Turun Temurun

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai konservasi sudah menjadi bagian dari tradisi yang melekat pada sebagian besar komunitas adat.

13 November 2024 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menemukan empat cara yang paling lazim diterapkan oleh masyarakat adat untuk menjaga kelestarian alam. Deputi Sekretaris Jenderal AMAN, Eustobio Rero Renggi, mengatakan praktik konservasi menjadi bagian penting dari tradisi yang melekat pada komunitas asli dari suatu daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“(Konservasi) itu menjadi bagian dari praktik keseharian masyarakat di wilayah adat,” katanya dalam diskusi yang disiarkan melalui kanal YouTube Forest Watch Indonesia pada Senin, 11 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Praktik pertama yang diterapkan adalah menjaga kelestarian hutan sesuai adat istiadat yang berlaku. Sebagai contoh, kata Eustobio, masyarakat Punan Batu yang berada di Kalimantan masih hidup dengan cara meramu di alam sekitar mereka. Hukum adat mereka melarang setiap bentuk perusakan alam.

“Mereka punya pandangan dasar, punya filosofi yang menjadi panduan hidup bersama di dalam pengelolaan hutan-hutan adat yang ada,” tuturnya.

Praktik kedua adalah menjaga lautan, umumnya diterapkan oleh masyarakat adat di kawasan pesisir. Bagi warga adat, hasil laut hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Lingkaran masyarakat adat di pesisir kompak mencegah kerusakan biota laut. Sebagai contoh, beberapa suku pesisir memiliki pantangan dan aturan khusus soal hari untuk menangkap ikan. Ada juga waktu khusus yang ditetapkan untuk berlayar ke laut.

“Sehingga tidak memaksakan untuk memproduksi dalam skala besar,” kata Eustobio.

Praktik ketiga adalah menjaga sumber air di lingkungan sekitar. Masyarakat adat Lembak di Bengkulu, sebagai contoh, menetapkan Danau Dendam Tak Sudah sebagai tempat sakral. Kebiasaan itu sudah dilestarikan secara turun-temurun.

Praktik keempat adalah melindungi keanekaragaman hayati yang tersedia di hutan. Pemanfaatan pohon, misalnya, hanya dilakukan secukupnya untuk membangun rumah-rumah adat. “Kita masuk ke hutan itu tidak menebang sembarangan pohon-pohon yang ada,” ujarnya.

Praktik hidup masyakarat adat, Eustobio meneruskan, sudah sesuai dengan skema konservasi yang diusung negara. Anehnya, keberadaan masyarakat adat justru kerap dipandang sebelah mata, bahkan dianggap seperti mengganggu kepentingan korporasi. “Masyarakat adat seolah-olah menjadi pencuri di tanahnya sendiri,” kata dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus