Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dampak Alih Fungsi Lahan, Gajah Minggat dari Habitat

Forum Konservasi Gajah Indonesia menengarai disorientasi atau anomali pergerakan gajah keluar habitat dipicu peralihan fungsi lahan.

4 Februari 2024 | 22.06 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wisatawan melihat langsung gajah terlatih di Unit Konservasi Gajah Pemerihan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, beberapa waktu yang lalu. TNBBS sering dijadikan objek penelitian oleh belasan kampus di Jawa dan Sumatra. TEMPO/Parliza Hendrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mengungkapkan temuan disorientasi gajah yang ditengarai akibat perubahan bentuk habitat atau alih fungsi lahan. Koordinator Wilayah Riau FKGI, Zulhusni Syukri, mengatakan fenomena yang terjadi pada Gajah Sumatera atau Elephas Maximus Sumatranus itu menjadi perhatian selain isu konflik masyarakat dan gajah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Dinamika baru yang terjadi di Riau. Banyak gajah itu disorientasi artinya keluar dari kantong-kantong populasinya, keluar dari jalurnya,” kata Zulhusni saat dihubungi, Ahad, 4 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu bentuk perubahan habitat itu berupa alih fungsi hutan atau semak belukar menjadi kebun. Pengubahan fungsi lahan itu menghilangkan beberapa jenis tumbuhan yang menjadi pakan utama gajah. Padahal, beberapa jenis tumbuhan juga menjadi sumber obat-obatan bagi gajah.

Menurut Zulhusni, disorientasi sudah pernah terjadi, namun biasanya tidak terlalu jauh dari kantong populasi utama atau home range. Situasi itu sudah terjadi selama dua tahun terakhir. “Malah, ada gajah keluar Riau sampai ke Sumatera Barat. Ada dua ekor di tahun lalu.”

Dua bulan lalu, Zulhusni meneruskan, ada dua ekor gajah jantan yang bergerak hingga Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. Keduanya berasal dari kantong populasi di Taman Nasional Tesso Nilo di kabupaten yang sama. Gajah-gajah itu sudah dikembalikan ke lokasi awal—disebut translokasi—oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSA) Riau, tiga hari yang lalu.

Langkah yang dilakukan bersama sejumlah organisasi sipil itu dilakukan setelah adanya pendampingan kepada warga lokal. Namun, dua ekor gajah itu tidak bisa keluar dari areal perkebunan. "Akhirnya diambil keputusan untuk memindahkan," ucap dia.

Zulhusni menyebut gajah biasanya tidak akan keluar dari home range. Pergerakannya tetap melewati wilayah populasi yang sudah ada di masa lalu. "Jadi (dalam) disorientasi ini, mungkin di masa lalu itu habitat gajah. Tetapi puluhan tahun tidak dilewati, kemudian dilewati lagi.”

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences sebelumnya mengungkapkan perkiraan peningkatan risiko konflik antara gajah dan manusia. Hal itu dipicu perubahan faktor iklim dan lingkungan antropogenik lainnya. Penelitian itu merupakan eksplorasi pertama soal dampak kenaikan suhu yang dikaitkan dengan interaksi antara manusia dan gajah.

“Konflik manusia-satwa pembohong dapat berdampak buruk pada manusia dan satwa pembohong serta dapat menyebabkan kompilasi dalam upaya konservasi,” kata penulis studi seperti dilansir dari earth.com.

Kajian itu juga berisi dampak perubahan iklim, pergeseran jejak pertanian, dan perubahan kepadatan populasi manusia terhadap distribusi dan intensitas konflik manusia dengan dua spesies gajah yang terancam punah, yaitu Gajah Asia dan Gajah Afrika.

IRSYAN HASYIM

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus