Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Guru Besar bidang Geodesi Gempa Bumi Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, mengatakan potensi gempa bumi, termasuk gempa besar sekelas megathrust, bisa dipahami melalui sejumlah bukti riset. Salah satu acuan yang bisa dipakai adalah bukti sejarah atau riwayat yang menggambarkan pola kegempaan di suatu daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pada dasarnya, daerah yang berpotensi mengalami gempa besar di masa depan cenderung memiliki aktivitas kegempaan yang tidak terlalu banyak saat ini,” kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa, 20 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gempa bertipe megathrust belakangan kembali ramai dibincangkan, terutama sejak insiden gempa bermagnitudo 7,1 di zona tunjaman Nankai, Jepang, pada 8 Agustus lalu. Tak lama setelah lindu tersebut, Pemerintah Jepang menerbitkan peringatan soal potensi megathrust.
Guncangan di zona Nankai yang memiliki palung bawah laut ditengarai bisa membuka jalan bagi gempa dahsyat berikutnya. Isu soal megathrust Nankai ini kemudian dikaitkan dengan area serupa di sekitar Indonesia, yakni Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.
Menurut Irwan, potensi gempa di suatu wilayah juga bisa dicek dari akumulasi regangan lempeng kerak bumi. Akumulasi ini bisa diukur melalui pengamatan deformasi, termasuk lewat alat global positioning system (GPS) yang dikelola oleh Badan Informasi Geospasial, serta Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).
Irwan menyebut zona megathrust Mentawai-Siberut sudah memiliki catatan sejarah, data pengamatan pola kegempaan, serta hasil perhitungan GPS. Adapun Zona Selat Sunda belum diketahui jelas. “Hal ini karena perbedaan geografis keduanya. Tidak mudah untuk melakukan riset di Selat Sunda,” ujar Irwan.
Sejauh ini, belum ada teknologi modern yang dapat memperkirakan waktu dan lokasi gempa bumi secara akurat. “Kalau kita bicara tentang potensi gempa di kedua lokasi (zona megathrust) tersebut, sama-sama besar,” tuturnya.
Irwan menganjurkan peningkatan literasi di kalangan masyarakat dan pemerintah untuk menyikapi potensi bencana. Caranya bisa berupa dialog publik, bahkan bisa berbentuk perbaikan cara penyampaian informasi kebencanaan dalam kurikulum pendidikan. “Sehingga keputusan yang diambil oleh masyarakat dan pemerintah akan lebih berdasar pada pemahaman terhadap kebencanaan,” ucapnya.