Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) lebih demokratis dibanding pembangkit bertenaga nuklir yang sedang dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia. Artinya, pemanfaatan energi surya lebih merata dan bisa dipakai oleh seluruh kalangan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan di IESR, Pintoko Aji, PLTS bisa dipasang di segala tempat yang terpapar sinar matahari. Atap hunian di kota besar dan wilayah terpencil sudah memanfaatkan PLTS Atap. Keuntungan ini berbeda dengan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau PLTN sifatnya centralized alias berpusat pada lokasi-lokasi tertentu. Lalu kebutuhan untuk kawasan terpencil memakai apa?" ujarnya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 20 Agustus 2024.
Menurut Aji, PLTS juga cocok untuk bentang demografis Indonesia yang memiliki banyak pulau yang terpisah. Dengan panel solar, masyarakat bisa lebih mudah mendapatkan akses listrik karena hanya perlu memasang alat di bagian atap rumah. Namun, ketika sumber energi terbarukan ini belum dikelola dalam jumlah besar, pemerintah malah mewacanakan PLTN.
“Ketika beralih ke nuklir, tentu capaian pemaksimalan terhadap PLTS bisa saja berkurang,” tutur Aji.
Dia menyarankan program ketahanan energi di masa depan lebih menyasar ke kawasan-kawasan yang minim mendapatkan fasilitas listrik. “Seharusnya pembangkit itu bersifat decentralized supaya bisa disebar ke pulau-pulau, mulai dari kapasitas yang kecil hingga besar.”
Wacana pengembangan PLTN bergulir sejak September 2020, berawal dari Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) diusulkan oleh Komisi Energi DPR. Rancangan aturan itu belum juga disahkan hingga tahun ini.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Agus Puji Prasetyono, menjamin pengembangan PLTN tidak akan menghentikan proses PLTS dan proyek energi terbarukan lainnya di Indonesia. Proyek PLTN sendiri diklaim akan menjawab masalah kebutuhan listrik yang pada 2040 yang diasumsikan mencapai 1.600 Terawatt jam (TWh).
"Kalau hanya dimaksimalkan energi terbarukan, penghitungan kami energi yang terkumpul itu sedikit, hanya 1.360 TWh. Itulah alasannya kenapa PLTN harus bisa masuk di Indonesia,” kata Agus kepada Tempo.
Merujuk draf Rencana Umum Kelistrikan Nasional (RUKN) 2023-2060, operasi komersial PLTN perdana akan dimulai pada 2032. Agus menyebut pengembangan PLTN berbarengan dengan pemanfaatan seluruh pembangkit energi terbarukan yang sudah beroperasi lebih dulu. “Misalnya angin, air, panas bumi, dan surya," ucap dia.