Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Newsletter

CekFakta #15 Hoaks yang Berulang Bisa Kelabui Otak Manusia

Setelah Pengumuman KPU: Apa yang Kita Ketahui Sejauh Ini-Sains di Balik Cara Hoaks Merusak Otak

19 November 2019 | 17.12 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Lewat tengah malam pada 21 Mei 2019, warga yang berdemo di depan gedung Bawaslu menyebar ke beberapa titik dan bentrok dengan polisi. Pemerintah memutuskan memblokir media sosial di beberapa lokasi.

  • Saat membaca sebuah informasi palsu untuk pertama kalinya, bisa jadi kita tidak percaya. Namun, bila informasi salah itu kita baca untuk kedua, atau ketiga kalinya, otak manusia akan mempersepsikannya berbeda. Ini disebut dengan illusory truth effect.

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Halo pembaca nawala CekFakta Tempo! Kita menginginkan pesta demokrasi Pemilu 2019 berakhir dengan damai. Namun, nyatanya, demo massa yang tadinya tertib berakhir dengan pembakaran serta pelemparan batu dan bom molotov. Jakarta pun siaga satu hingga 25 Mei. Anda yang masih punya banyak urusan untuk dilakukan di ibukota, tetap aman di luar sana!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah Anda menerima nawala edisi 22 Mei 2019 ini dari teman, dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Edisi ini ditulis oleh Astudestra Ajengrastri dalam kerangka program TruthBuzz untuk Tempo.co. Ketahui lebih lanjut tentang program ini dan misi saya di bagian bawah surel.

YANG TERJADI SETELAH PENGUMUMAN KPU SEJAUH INI

Pasukan Brimob berjaga saat massa Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat menggelar aksi di depan kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa, 21 Mei 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat

Mari melihat sebaran misinformasi dengan narasi seperti apa saja yang beredar di media sosial dan aplikasi pesan sejauh ini?

- Komisi Pemilihan Umum menuntaskan rekapitulasi nasional hasil Pilpres 2019 pada Selasa, 21 Mei 2019, dini hari—satu hari lebih cepat dari tenggat waktu yang sudah ditetapkan. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul 11 persen suara dari Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Informasi yang beredar: KPU curang karena umumkan hasil rekapitulasi di malam hari. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan QS An-Nisa:108.

- Sejak beberapa hari sebelum 22 Mei, ajakan untuk melangsungkan “people power” sudah bergaung di media sosial dan grup WhatsApp. 

Informasi yang beredar: Pendukung Prabowo-Sandi datang untuk people power dari Maluku dan Baduy, Cirebon, Tasik, Dayak, dan kota-kota lain. Ada pula ajakan yang beredar di grup WhatsApp untuk membawa bom molotov saat demo.

- Demo di depan Gedung Bawaslu berlangsung damai, hingga sekitar pukul 22.30 WIB ketika sejumlah oknum massa melakukan provokasi. Aksi ini dengan cepat terekskalasi, ketika massa yang rusuh menyebar dari Jalan MH Thamrin ke Jalan Sabang, area Tanah Abang, dan Asrama Brimob di KS Tubun. 

Informasi yang beredar: Korban berjatuhan akibat peluru tajam, di sisi lain polisi mengaku tak dibekali peluru tajam. Hingga nawala ini diterbitkan, informasi-informasi liar berkembang di media sosial dan via grup-grup WhatsApp. Belum semuanya berhasil diverifikasi oleh tim pemeriksa fakta.

- Dua kolom opini yang menarik perhatian saya pagi ini dan harus Anda baca juga: Kesatria atawa Penyulut Petaka yang ditulis oleh redaksi Tempo dan Prabowo still ‘messiah’ for 68.7 million Indonesians yang ditulis oleh Kornelius Purba untuk The Jakarta Post.

- Pada Rabu ini, simpang siur informasi terjadi. Pemerintah memutuskan untuk memblokir layanan media sosial di wilayah tertentu, menambah runyam dan kebuntuan akses informasi. Langkah ini diambil pemerintah, menurut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, agar sebaran disinformasi tak makin menyebar. Sebelumnya, polisi menemukan amplop berisi uang di lokasi kerusuhan KS Tubun. Ini adalah salah satu indikasi bahwa peserta massa yang rusuh adalah massa bayaran dan setting-an, ujar Kadiv Humas Polri Pol Mohammad Iqbal kepada CNBC Indonesia.

KITA MEMANG BUKAN KAMBING, TAPI OTAK MANUSIA TERKADANG TAK BISA DIPERCAYA

Dan begitulah hoaks bekerja. Bila kita mendengar kebohongan yang terus-menerus diulang, semakin lama otak kita akan semakin percaya. Penelitian tentang illusory truth effect, begitu para ilmuwan menyebutnya, pertama kali dilakukan pada 1970-an. 

Eksperimen dalam penelitian ini biasanya melibatkan para peneliti memberikan sederet pernyataan yang harus diidentifikasi oleh responded sebagai “benar” atau “salah”.

Berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan kemudian, responden yang sama kembali diundang untuk melakukan eksperimen yang sama. Beberapa pernyataan dalam sesi penelitian lanjutan ini sama, namun sebagiannya benar-benar baru. Hasilnya: Para responden cenderung melabeli informasi yang sudah pernah mereka lihat sebelumnya sebagai “benar”, tak peduli isi kontennya seperti apa.

Begitupun bila informasi kita terima lewat indera pendengaran. Statemen yang sama, bisa berulang kali kita dengar, maka kita akan merespons dengan lebih cepat. “Kecepatan respons ini kerap dianggap otak sebagai sinyal bahwa informasi ini adalah benar,” ujar Liza Fazio, psikolog yang meneliti tentang memori dan kerja otak di Universitas Vanderbil kepada Vox.

Yang menyusahkan dari illusory truth effect, adalah ini bisa terjadi kepada orang yang sebelumnya sudah tahu mana yang benar atau yang salah dari sebuah isu. Misalnya, dalam sebuah penelitiannya, Fazio menemukan bahwa orang-orang yang sudah mengetahui bahwa “kilts adalah rok yang dipakai pria Skotlandia” akan semakin meragukan pengetahuan mereka ketika membaca kalimat “sari adalah rok yang dipakai pria Skotlandia”. Keraguan ini semakin bertambah bila kalimat kedua dibaca berulang kali.

Penyebaran misinformasi saat ini memiliki pola serupa. Narasi salah yang sama di-posting oleh banyak orang, sehingga kita semakin sering membacanya. Kita memang bukan kambing, tidak mungkin kita percaya pada berita hoaks di Facebook hanya dengan sekali lihat. Namun, kini Anda tahu, efek hoaks menginfiltrasi otak manusia begitu halus, sampai-sampai otak kita tidak menyadarinya.

Tak perlu merasa defensif, karena ternyata otak manusia juga memiliki begitu banyak kelemahan. Selain illusory truth effect, hal lain yang juga dilakukan otak adalah menciptakan memori palsu, yakni merasa mengingat sebuah memori yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Jessie Li dari Axios dalam salah satu artikel untuk liputan mendalam “The Future of Forgetting”, menulis bahwa di era deepfake dan foto-foto yang dimanipulasi sekarang ini, misinformasi bisa sedikit demi sedikit mengikis memori kita. Bahkan foto suntingan yang menunjukkan banyak orang berdemo saat pernikahan Prince William dan Kate Middleton membuat sebagian responden mengingat acara ini lebih rusuh dari yang sebenarnya.

KECERDASAN BUATAN YANG MENAKUTKAN 

Bersiaplah tertegun saat mengunjungi situs ini: This Person Does Not Exist.

Laman web ini hanya menunjukkan foto close up seseorang dengan ukuran besar.

- Setiap kali Anda me-refresh halaman, wajah baru akan muncul. Yang menakutkan—seperti nama situsnya—orang-orang ini sebenarnya tidak ada di dunia nyata. Hah?

- Foto orang-orang yang tampak nyata ini adalah sederet informasi dalam coding, dan setiap kali di-refresh, kode-kode dalam sistem back end situs akan menciptakan wajah baru yang belum pernah ada sebelumnya.

- Walaupun terlihat normal, namun jika dilihat dengan seksama, wajah dalam situs ini tampak ada yang salah. Entah itu kerutan yang sedikit mencong, atau garis muka aneh.

- Intinya: Foto wajah-wajah ini tidak akan terlacak oleh perangkat reverse image, karena mereka tidak pernah ada sebelumnya. Phillip Wang, ahli software Sillicon Valley yang menciptakan kode ini, tidak bermaksud membuat situs tersebut untuk disalahgunakan. Justru, dia mengaku “sangat khawatir” pada apa yang bisa dilakukan di masa depan.

- Wang ingin menyadarkan publik bahwa teknologi sudah begini majunya. “Teknologi menyerang realitas kita. Melihat dari reaksi orang-orang, masih banyak orang yang tidak menyadari kalau membuat foto palsu seperti ini sangat mungkin dilakukan.” 

WAKTUNYA TRIVIA! 

Informasi-informasi sekilas yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

- Jacinda Ardern, perdana menteri New Zealand, dalam kolom opini untuk The New York Times, menuntut perusahaan teknologi seperti Facebook untuk menandatangani pakta kerjasama dengan negara untuk memerangi konten bohong. Jacinda menitikberatkan kekhawatirannya pada fitur live streaming. Sebelumnya diketahui, teroris Christchuch melakukan live broadcast sepanjang pembantaian. Merespon kejadian ini, Facebook mengeluarkan aturan ‘satu kali’ untuk menghindari pengguna menyalahgunakan fitur live streaming-nya, Live. Bila sebuah akun melanggar aturan dalam Live maka ia akan dilarang menggunakan Live selama kurun waktu tertentu, 30 hari misalnya.

- Awal pekan ini, WhatsApp disusupi spyware melalui sebuah bug. Akibatnya, hanya dengan sebuah misscall, spyware yang konon berasal dari Israel ini akan mampu menyalakan kamera dan mikrofon perangkat seluler tanpa sepengetahuan pemiliknya. Spyware sama juga bakal bisa mengakses email, pesan-pesan, dan data lokasi.

- Snopes melakukan investigasi atas jejaring halaman di Facebook yang mendukung Islamofobia. Sebanyak 24 halaman Facebook dengan konten serupa ditemukan terkait dengan seorang aktivis evangelis Kelly Monroe Kullberg. Investigasi ini membuktikan bahwa penyalahgunaan grup dan halaman di Facebook terjadi di mana-mana (ingat kasus Saracen?).

- Finlandia menjadi salah satu negara—bila tidak satu-satunya—yang berhasil memenangi perang melawan disinformasi. Apa rahasianya? Literasi sejak dini. Tunggu, mungkinkah sesimpel itu? Bisa jadi fakta bahwa Finlandia adalah negara dengan indeks tinggi dalam hal kebebasan pers, indeks kebahagiaan, transparansi, keadilan sosial, dan kesetaraan gender juga berkontribusi pada kemenangan melawan ekosistem kabar bohong di sana. Pertanyaan selanjutnya: Bisakah negara-negara lain mengekor kesuksesan ini?

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI 

TruthBuzz adalah program fellowship dari International Center for Journalists (ICFJ) yang bertujuan untuk memperluas literasi dan mengatasi permasalahan disinformasi di lima negara yakni Indonesia, India, Nigeria, Brazil, dan Amerika Serikat. Saya adalah penerima fellowship ini di Indonesia. Salah satu misi saya bersama Tempo.co adalah untuk menyebarkan hasil kerja tim pemeriksa fakta yang menangkis berbagai hoaks.

Kenal seseorang yang Anda rasa tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.

Ikuti kami di media sosial:

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus