Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Riset menunjukkan orang-orang yang lebih tua paling getol menyebarkan hoaks dibanding kelompok usia lain. Jangan-jangan, ini karena mereka tidak tahu bagaimana bersikap di dunia maya dan memahami implikasi dari konten-konten yang mereka bagikan. Buzzfeed menuliskan cara terbaik menghadapi orangtua yang doyan “sharing” tanpa “saring”.
- Setelah membongkar adanya jual beli data KTP dan KK di grup Facebook, Samuel Christian Hendrawan mengungkap lima modus yang paling sering dipakai para penambang data.
Halo pembaca nawala Cekfakta Tempo! Apakah Anda termasuk salah satu yang terkena imbas pemadaman lampu di sebagian Pulau Jawa sejak Ahad kemarin? Kejadian luar biasa seperti ini (layaknya gempa yang terjadi Jumat lalu), sering menjadi peluang bagi pembuat hoaks beraksi. Selalu waspada bila ada unggahan yang sumber atau isinya meragukan, ya!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah Anda menerima nawala edisi 5 Agustus 2019 ini dari teman, dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edisi ini ditulis oleh Astudestra Ajengrastri dalam kerangka program TruthBuzz untuk Tempo.co. Ketahui lebih lanjut tentang program ini dan misi saya di bagian bawah surel.
SENI MENGAJARI ORANG TUA TAK SEBAR HOAKS
Ini bukan age-shaming. Sejumlah survei menunjukkan bahwa orang-orang yang berusia lebih tua ternyata lebih banyak menyebarkan misinformasi. Riset yang dilakukan oleh peneliti di Universitas New York dan Princeton di AS medio Januari 2019, misalnya, menunjukkan korelasi yang erat antara bertambahnya usia dengan penyebaran misinformasi di Facebook. Sebanyak 11 persen pengguna Facebook berusia di atas 65 tahun rajin membagikan berita hoaks. Ini dua kali lebih banyak dibandingkan kelompok umur 45-65 tahun, dan tujuh kali lebih banyak artikel hoaks dibandingkan kelompok usia termuda, 18-29 tahun.
Di Indonesia, survei yang saya lakukan dengan Tirto.id sebelum Pemilihan Umum 2019 lalu menguak hal serupa. Kami menemukan adanya hubungan positif antara usia dan tingkat kepercayaan terhadap informasi, juga keinginan responden untuk membagikan berita dari satu grup WhatsApp satu ke yang lain. Artinya, semakin tua seseorang, semakin ia mudah percaya apa saja yang dibagikan secara daring, dan semakin besar keinginan mereka membagikan informasi tersebut kepada komunitasnya.
Fenomena ini bisa dijelaskan dengan logis. Baby boomers, generasi yang lahir pada 1946-1964, umumnya menganggap dunia digital sebagai hal baru, dan menganggap apapun yang dibagikan di internet adalah informasi benar. Berbeda dengan Generasi X (kelahiran 1961-1981) atau Milenial (lahir 1981-1996) yang pada suatu titik dalam hidupnya mulai mengenal internet, dan tentu jauh berbeda dengan dan Generasi Z (lahir 1995-2015) yang lahir ketika internet sudah merajalela alias digital-native.
BuzzFeed baru-baru ini mengeluarkan seri laporan dengan tema “Pekan Lindungi Orangtuamu dari Internet”. Dalam salah satu tulisannya, Craig Silverman membagikan kiat-kiat menghadapi orangtua yang hobi menyebarkan misinformasi di sosial media: Pertama, ingatkan mereka pada konteks berita. Kerap kali, orang tua tidak memahami konteks berita dari unggahan yang mereka bagikan. Lalu, sampaikan pesan Anda dengan positif dan personal, tak perlu mempermalukan orangtua di ruang publik. Yang terpenting, ajarilah orangtua untuk melakukan pencarian Google. Tunjukkan bahwa dengan melakukan pencarian dengan kata kunci yang sama, Google akan memberikan puluhan hasil—satu atau dua di antaranya yang berasal dari situs berita abal-abal mungkin memiliki tajuk berita berbeda dari media mainstream.
Jika menurut Anda orangtua bakal lebih bisa memahami penjelasan melalui video singkat, bukakan saja video yang ada di situs Literasi Media Sosial, atau melalui akun YouTube mereka di sini. Situs ini dibangun oleh konsorsium dari Universitas Notre Dame AS, IREX, GeoPoll, yang bekerjasama dengan koalisi CekFakta di Indonesia. Di dalamnya ada modul pembelajaran pengetahuan media dasar, tips mengenali berbagai macam konten manipulasi, dan melatih cara berpikir kritis.
PERKEMBANGAN SOAL “DEEPFAKE”
Seorang politisi India tak kuasa menahan tangis saat berbicara di hadapan parlemen di New Delhi, 23 Juli lalu. Arvind Limbavali, politisi Partai Bharatiya Janata (BJP), mengaku menjadi korban video deepfake yang menampakkan dirinya sedang melakukan tindakan seksual dengan seorang pria lain.
- Limbavali menyebut video yang viral tersebut sebagai ‘fake gay sex video’. Dalam pidatonya, ia meminta polisi mengusut tuntas pembuat video, termasuk memohon parlemen membuat peraturan khusus soal deepfake.
- Cina menjadi satu-satunya negara (saat ini) yang sudah satu langkah di depan soal memiliki aturan terkait deepfake dibanding negara lain. Sabtu, 20 Juli, rancangan undang-undang tentang konten manipulasi dengan kecerdasan buatan yang membuat seseorang seolah mengatakan atau melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan orang tersebut, sudah masuk sidang dengar pendapat yang kedua. Biasanya, setelah sidang dengar ketiga, parlemen akan melakukan voting.
- Saat Facebook dan Instagram belum memutuskan kebijakan platform mereka terkait konten deepfake, Twitter (satu-satunya media sosial yang mengijinkan unggahan konten dewasa asal diikuti dengan peringatan sensitif) dengan tegas melarang cuitan dewasa yang dibuat dengan kecerdasan buatan. Konten semacam ini, sebut Twitter, melanggar kebijakan mereka untuk “mengunggah foto atau video intim yang dibuat atau disebarkan tanpa persetujuan yang bersangkutan.”
- Sementara itu, Reuters melatih para jurnalis mereka untuk mengenali video-video deepfake. Caranya? Dengan memproduksi video deepfake sebagai bahan latihan.
WAKTUNYA TRIVIA!
Informasi-informasi sekilas yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Dengan isu penjualan data-data pribadi Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga merebak beberapa waktu lalu, Samuel Christian Hendrawan, netizen yang pertama kali membuka adanya grup Facebook yang memperjualbelikan data ribuan KTP dan KK mengungkap lima modus para pencuri data. Pertama, pelaku berpura-pura menjadi pembeli di situs e-commerce dan meminta foto KTP dari penjual dengan alasan menghindari penipuan. Kedua, pelaku membuat situs lowongan pekerjaan yang meminta calon pekerja mengisi formulir dan mengunggah foto data diri melalui Google Form. Ketiga, data dikumpulkan melalui aplikasi Android bernama Cek KTP. Keempat, pelaku mengirimkan SMS spam menawarkan pinjaman uang dengan syarat swafoto dengan KTP. Modus SMS juga seringkali dikirim dengan tautan untuk mengunduh aplikasi pinjaman online ilegal (tak terdaftar OJK). Kelima, pelaku pergi ke kampung-kampung dengan dalih menawarkan beras atau sembako dengan ditukar dengan foto KTP dan KK.
- Laporan investigasi BuzzFeed News mengungkap praktik kotor untuk mencurangi sistem search engine optimization (SEO) milik Google. Tautan-tautan eksternal yang sudah tak aktif dari sejumlah situs berita kredibel dijual kembali oleh para pemasar daring yang bermarkas di Pakistan dan India. Di antaranya, 15 tautan dari domain Forbes kini dialihkan menjadi situs-situs yang menjual peralatan rumah sakit, tiket hotel, dan pembayaran daring. Sebanyak 10 tautan dari domain BBC News, saat diketuk menuju ke situs judi online dan konsultasi pengacara. Media-media lain yang didapati mengalami kasus serupa adalah New York Times, Guardian, HuffPost, CNN, dan Bloomberg.
- Sejumlah firma keamanan siber mengatakan Rusia bukan satu-satunya negara yang berhasrat mencampuri politik AS pada musim pemilu nanti. Para peneliti mengungkap aktor-aktor dari Iran, Israel, Arab Saudi, China, dan Venezuela juga mengincar pemilu 2020. FireEye, salah satu firma keamanan, mengaku telah menemukan disinformasi terkait AS di Facebook, Instagram, YouTube, dan platform lain yang berasal dari Iran. Firma lain, Graphika, mendapati seperempat dari 1.700 akun Twitter asal Iran yang diturunkan oleh platform ini pada Juni mencuit dalam bahasa Inggris.
- Program 3PFC (Third Party Fact-Checker/Pemeriksa Fakta Pihak Ketiga) milik Facebook dianggap sangat berguna dalam mencegah konten bohong menjadi viral, terutama untuk isu-isu kesehatan, yang berkaitan dengan pemilu, dan misinformasi saat bencana, lapor organisasi pemeriksa fakta Full Fact asal Inggris. Full Fact juga meminta Facebook untuk memperluas jangkauan proyek ini ke platform lain miliknya, Instagram. Dan untuk pertama kalinya, tim Facebook memberi tanggapan atas laporan ini: mereka berkata sangat bersemangat untuk meneruskan kolaborasi dengan lebih dari 50 pemeriksa fakta pihak ketiga di seluruh dunia. Tempo adalah salah satu partner media dari Indonesia dalam proyek 3PFC.
- Di India, WhatsApp melakukan pembaruan penanda pada pesan-pesan yang diteruskan. Pesan yang telah berulang kali disebarkan tidak lagi sekadar ditempeli notifikasi “forwarded” atau “diteruskan”, melainkan “forwarded many times” sebagai usaha mereka menekan penyebaran pesan viral. Dengan tanda baru ini, pengguna WhatsApp yang tetap meneruskan pesan meski ada khusus itu tidak akan bisa berkelit dari tuduhan turut menyebarkan informasi palsu.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Momen bencana kerap kali menjadi kesempatan bagi informasi palsu bermunculan. Jumat, 2 Agustus lalu, saat gempa mengguncang Banten dan efeknya dirasakan hingga sebagian Jakarta dan Bandung, pemeriksa fakta mendapati beberapa berita bohong tersebar di media sosial.
Pemeriksa fakta Tempo mengklarifikasi video yang menyebut ikan naik ke permukaan sebagai tanda gempa dan tsunami dan unggahan di YouTube soal cahaya misterius di langit sebelum gempa Banten terjadi.
Mafindo memferivikasi video truk-truk yang keluar dari Pelabuhan Banten dengan narasi air laut yang surut 15 meter sebagai pertanda tsunami, padahal video tersebut adalah suasana evakuasi biasa.
Sementara pemburu hoaks dari Jabar Saber Hoaks men-debunk kabar yang menyebut gedung Bandung Electronic Center (BEC) runtuh akibat gempa. Salah satu pintu BEC memang berbentuk miring, ujar mereka.
Selain klarifikasi di atas, pekan ini, kami juga memeriksa fakta sejumlah isu. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Kisah lama yang pernah viral soal tahanan anak yang membunuh preman.
- Latar belakang terjadinya demo di Hong Kong.
- Kejadian di balik penyegelan musala di Minahasa.
- Klaim bahwa bos media melarang peliputan aksi kemanusiaan FPI dan PKS.
- Berita yang menyebut Aqil Said Siradj mengatakan China adalah NU.
TENTANG TRUTHBUZZ
TruthBuzz adalah program fellowship dari International Center for Journalists (ICFJ) yang bertujuan untuk memperluas literasi dan mengatasi permasalahan disinformasi di lima negara yakni Indonesia, India, Nigeria, Brazil, dan Amerika Serikat. Saya adalah penerima fellowship ini di Indonesia. Salah satu misi saya bersama Tempo.co adalah untuk menyebarkan hasil kerja tim pemeriksa fakta yang menangkis berbagai hoaks.
Kenal seseorang yang Anda rasa tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: