Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Muhammadiyah</B></font><BR />Bukan Keblinger, Cuma Terseret

Muktamar dan peringatan seabad Muhammadiyah digelar di Yogyakarta. Relasi politik menjadi perdebatan dalam pemilihan ketua umum.

5 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABDUL Majid Makassar harus menabung lima tahun untuk menghadiri Muktamar Muhammadiyah ke-46 yang digelar di Yogyakarta, 3-8 Juli ini. Apalagi muktamar kali ini bertepatan dengan seabad usia organisasi yang didirikan Muhammad Darwis atau KH Ahmad Dahlan ini.

Dia datang mengusung harapan, semoga terpilihlah seorang pemimpin yang bisa mengurus Muhammadiyah dengan tekun. ”Bukan yang terjerumus ke politik,” kata Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku itu. Harapan yang sama diungkapkan Zuli Qodir, anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat Muhammadiyah. ”Kalau yang mempunyai syahwat politik, jangan dipilih,” katanya.

Majelis Tanwir telah memilih 39 nama sebagai calon anggota pimpinan pusat, yang akan meliputi 13 nama. Haidar Nashir, ideolog Muhammadiyah, mendapat suara terbanyak, 150. Di bawahnya terdapat nama Ketua Umum Muhammadiyah yang sekarang, Din Syamsuddin, dan Yunahar Ilyas, dengan jumlah suara sama, 148. Ada juga mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Muchdi Pr. (80 suara) dan A.M. Fatwa.

Sejak berdiri, pada 1912, meski bukan perkumpulan politik, banyak anggota Muhammadiyah yang aktif dalam organisasi politik seperti Boedi Oetomo, Sarikat Islam, juga Partai Sarikat Islam Indonesia. Bahkan, sekitar 1945, Muhammadiyah menjadi anggota istimewa Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Pilihan antara berpolitik dan tidak berpolitik itu pula agaknya yang mengimbas pada ”gesekan” antara Ketua Umum Din Syamsuddin dan penasihat yang juga mantan ketua umum, Amien Rais. Hingga beberapa hari menjelang muktamar yang membelanjakan Rp 20 miliar itu, Amien masih sempat ”menohok” Din.

Ketika terbetik kabar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa menghadiri dan membuka muktamar secara langsung—tapi melalui telekonferensi dari Arab Saudi—Amien berkomentar, ”Mungkin karena sikap Muhammadiyah yang mendukung Jusuf Kalla waktu pemilihan presiden.” Tentang kandidat utama ketua umum, Amien menyebut Haidar Nashir, Yunahar Ilyas, dan Din Syamsuddin.

Mengapa nama Din disebut paling buntut? ”Ya, sudah satu periode, kan enggak apa-apa?” kata Amien. Tapi, ia langsung menambahkan, ”Semua terpulang kepada muktamar.” Menurut mantan Ketua Ikatan Remaja Muhammadiyah Ahmad Imam Mujadid Rais, tanda-tanda kejengkelan Amien kepada Din sudah terlihat lama.

Setidaknya sejak pendirian Partai Matahari Bangsa, pada 2006. Banyak kader muda Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional bergabung ke partai baru itu. Awalnya, Din memotivasi anak-anak muda untuk pendirian partai ini. Tapi, menjelang registrasi, ada tekanan dari pengurus pusat. ”Akhirnya dia menahan diri,” ujar Imam, yang juga ikut mendirikan Matahari Bangsa.

Kegusaran Amien bertambah ketika Din membawa Muhammadiyah mendukung pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam pemilihan umum presiden pada 2009. Ketika itu Amien sampai mengundang pengurus wilayah Muhammadiyah ke kediamannya di Jakarta.

Amien sempat akan maju dalam pemilihan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, lembaga yang akan menentukan ketua umum. Oleh seorang pengurus, langkah ini dinilai untuk mengganjal Din. ”Padahal dia juga pernah membawa Muhammadiyah ke ranah politik.”

Amien membantah perkara ganjal-mengganjal ini. ”Itu menurunkan derajat saya, karena saya dengan Din kan selevel,” katanya. Menurut Amien, waktu itu dia memang berencana masuk Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Namun, Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional, yang dia ketuai, tidak mengizinkan karena dia telah dibaiat menjadi Ketua Majelis Pertimbangan untuk lima tahun. ”Kalau ditinggalkan, etika macam apa itu?” katanya, menirukan pertimbangan para anggotanya.

Muhammadiyah memiliki aturan, yang terpilih sebagai pemimpin organisasi itu harus mengundurkan diri dari jabatannya di partai politik. Tapi Amien membela diri bahwa tindakannya membawa Muhammadiyah ke ranah politik adalah benar. Menurut dia, Muhammadiyah membawa gerakan sipil, beroposisi terhadp rezim Orde Baru pada akhir masa pemerintahan Soeharto. ”Momentumnya pas sekali,” katanya.

Berbeda dengan ketika Din membawa Muhammadiyah mendukung pasangan Jusuf Kalla-Wiranto. ”Momentumnya keliru,” kata Amien. Setelah ternyata pilihannya tidak menang, dampaknya terasakan. Setidaknya, menurut Amien, dua menteri dari Muhammadiyah digeser, yakni Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.

Amien juga membenarkan ia mengundang para pemimpin wilayah Muhammadiyah ke kediamannya di Jakarta, setelah Din menyatakan dukungan kepada Jusuf Kalla. ”Tapi tidak ada kalimat yang menyatakan Muhammadiyah mendukung SBY,” katanya. Adapun tentang Partai Matahari Bangsa, Amien menganggap partai ini tak relevan. ”Kalau relevan, ya di atas tujuh persen,” katanya.

Din menjelaskan hubungan Muhammadiyah dengan pemerintah proporsional. Mendukung program yang baik, tapi menjadi kekuatan pengoreksi bila ada penyimpangan. ”Ini bentuk perjuangan amar makruf nahi munkar,” katanya. Dia juga menyangkal mengarahkan Muhammadiyah mendukung Jusuh Kalla-Wiranto. ”Itu beda cara pandang saja,” katanya.

Namun, pada Maret lalu, di Surabaya, Din pernah buka-bukaan. Menurut dia, dukungan kepada pasangan Jusuf Kalla-Wiranto bukan didasari alasan pribadi, melainkan lebih pada mandat dari mayoritas Dewan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia.

Saat itu, Din juga menyatakan dukungan Muhammadiyah dalam politik praktis bukanlah yang pertama. Pada muktamar di Makassar, 1971, memang jelas disebutkan Muhammadiyah tidak bisa berafiliasi dengan partai politik. Tapi, ”Yang tidak boleh dengan partainya, sedangkan dengan politiknya tidak dilarang,” katanya.

Ketika Muhammadiyah dipimpin Amien Rais, nuansa politik juga sangat kentara. Begitu pula ketika dipimpin M. Syafi’i Ma’arif. Menjelang kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid, Muhammadiyah mengundang Megawati Soekarnoputri untuk mendesak maju sebagai presiden. ”Ketika itu ada pertemuan, kalau tak salah pada 29 Januari 2001,” kata Din. ”Saya sendiri yang bertanya, apakah Bu Mega bersedia jadi presiden.”

Mantan Ketua Umum Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif membenarkan terseretnya Muhammadiyah ke arus politik. ”Bukan keblinger atau terjerumus, melainkan sedikit terseret,” katanya. Tentang pemimpin yang diharapkan, ”Saya ingin yang lebih kultural,” kata tokoh yang dipanggil Buya itu.

Purwani Diyah Prabandari, Muh Syaifullah, Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta), Rohma Taufiq (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus