Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASJID Miftahul Ula di pojok tikungan curam Dusun Selopanggung, Semen, Kediri, Jumat malam pekan lalu. Salat tarawih baru saja usai. Seratusan warga khusyuk melakukan tahlilan, dipimpin Fajri, imam masjid. Mereka berdoa untuk persiapan pembongkaran pusara Tan Malaka—pahlawan nasional bernama asli Sutan Ibrahim. Datuk asal Pandan Gadam, Payakumbuh, Sumatera Barat, itu pernah singgah di Selopanggung sebagai tawanan tentara RI. Di tempat itu ia diduga kuat ditembak mati. ”Izinkan saya membongkar makam itu,” kata Zulfikar Khamarudin, keponakan tokoh sosialis itu. Zul anak ketiga Kamarudin Rasyad, adik kandung Tan.
Sabtu pagi, warga memasang tenda di sekitar kuburan yang akan digali. Lokasi: kompleks pemakaman di tengah bukit persawahan. Beberapa puluh meter di sebelahnya menjulang batu besar setinggi pohon kelapa. Batu itulah yang menginspirasi para perintis dusun memberi nama Selopanggung kepada dusun itu. Artinya: batu yang berdiri tegak. Dusun itu berjarak 20 kilometer sebelah barat Kota Kediri.
Ada dua kuburan keramat di kompleks pemakaman 500 meter persegi itu. Kuburan Mbah Sel, sang pendiri kampung, berdiri di bawah pohon kemboja besar. Lalu makam Tan Malaka, tiga meter sebelah barat Mbah Selo, yang ditandai batu kali berdiameter sekitar 50 sentimeter. Keduanya tak bernisan. ”Dulu makam Tan ditandai pohon Wungu,” kata Mat Kholil, 80 tahun, juru kunci makam sejak 1965.
Tenda peneduh berukuran 3 x 3 meter memayungi batu kali itu. Makam di bawah batu ini yang akan dibongkar. Begitu tiba di lokasi sekitar pukul 10 pagi, tim forensik menuju tenda. Mereka terdiri atas dua dokter spesialis forensik dan DNA: dr Djaya Surya Atmadja dan dr Evi Untoro, dibantu spesialis odontologi forensik, drg Nurtamy Soedarsono. Ketiganya anggota staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dalam tim itu ada panitia teknis yang diketuai Zulfikar. Juga anggota kehormatan: Daud Gayo, Dusi Kiemas, dan Budi Prasetyo. Para penasihat tim—Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Adnan Buyung Nasution, dan Aulia Rahman—tak tampak hadir. Kepala Kepolisian Resor Kediri Ajun Komisaris Besar Benyamin memimpin pengamanan.
Pukul 08.15, pembongkaran dimulai. Kain penutup dirapatkan ke dekat lubang galian. Untuk melakukan otopsi, di atas liang lahat disiapkan meja. Tak ada ceramah. Fajri, imam masjid, memimpin doa keselamatan sepanjang penggalian. Di sekeliling tenda terlihat Zulfikar, Camat Semen Agus Suntoro, dan Kepala Desa Selopanggung Muhammad Zahiri. ”Sedang diambil contoh tulang dan gigi untuk dites DNA di Jakarta,” kata Camat Agus. ”Jasadnya tak akan pernah keluar dari kampung ini.” Sudah disiapkan lahan khusus jika kelak terbukti benar. ”Pembongkaran ini tindak lanjut penelitian Dr Harry A. Poeze,” Zulfikar menambahkan.
Poeze adalah Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara). Selama 40 tahun Poeze meneliti penulis kitab Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika itu. Poeze yakin Tan ditembak mati di Selopanggung pada 21 Februari 1949. ”Dia ditembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi Brawijaya,” kata Poeze dalam wawancara dengan Tempo beberapa waktu lalu. ”Soekotjo terakhir berpangkat brigadir jenderal dan pernah menjadi Wali Kota Surabaya.”
Temuan Poeze menggugurkan kisah bertahun-tahun yang menyebutkan Tan Malaka mati ditembak di tepi Sungai Brantas, Kediri. Cerita kematian Tan Malaka itu mengisi salah satu bagian dari buku setebal 2.200 halaman berjudul Vurguisden Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolution 1945-1949 (Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949). ”Sejarah telah ditelusuri tapi belum ada penelitian ilmiah menguatkan keberadaan makam Tan,” kata Zul.
Di kedalaman dua meter, penggali kubur menemukan serpihan tulang. Tim forensik membawa balung itu ke meja otopsi dan membersihkannya dengan kuas untuk menyingkirkan endapan tanah. Tim sempat terkecoh sebuah benda mirip rambut, ternyata serabut tanaman. ”Yang paling penting adalah gigi dan bagian tulang yang kuat,” kata dr Djaya Surya Atmadja.
Meski telah mendapatkan tulang yang dimaui, tim forensik minta penggali mencari rangka jenazah yang telah hancur. Itu untuk memenuhi kebutuhan penelitian antropologi forensik. Jantung anggota tim sempat hampir copot ketika tanpa sengaja ujung cangkul penggali menghantam tengkorak hingga pecah. ”Tapi bisa diselamatkan,” kata Djaya.
Setelah terkumpul, kerangka dimasukkan ke tas, dibawa ke Jakarta. ”Akan dicocokkan dengan organ tubuh Zulfikar Khamarudin melalui tes DNA,” kata dr Djaya. Sesuai dengan kaidah tes DNA, ”Pencocokan hanya bisa dilakukan terhadap saudara laki-laki.” Perlu waktu dua-tiga minggu untuk mengetahui hasilnya.
Panitia pembongkaran, kata Zulfikar, dibentuk pada 8 Maret 2008. Terbentur masalah administrasi dan dukungan pemerintah, tim baru bisa direalisasi bulan ini. ”Biaya pembongkaran dan operasional panitia murni dari kantong pribadi anggota tim,” kata Zul. Dia sudah mengajukan permohonan kepada pemerintah tapi tak ditanggapi. Bantuan pemerintah Belanda yang diperjuangkan Poeze juga tak menetes. ”Saya tak pernah mengemis bantuan dari mana pun untuk membiayai pembongkaran ini,” kata Zul.
Untuk melakukan otopsi dan DNA, Zul sempat minta bantuan Markas Besar Kepolisian RI. ”Tapi ditolak karena polisi mengaku hanya melakukan otopsi jenazah kriminal,” katanya. ”Maka kami minta bantuan tim forensik Universitas Indonesia yang masih peduli terhadap pahlawan nasional.”
Asmun A. Sjueib, Koordinator Riset Penelusuran Tan Malaka, menyesalkan penggalian itu tak melibatkan Poeze. ”Banyak referensi bisa diambil dari Poeze,” katanya. ”Termasuk soal salah satu lokasi terkuat, yakni di tepian Sungai Bruno di Semen, Kediri.”
Dugaan ini didasarkan pada jalan gerilya Tan Malaka yang berimpit dengan Jenderal Soedirman. ”Saya menemukan makam tak dikenal di tepi sungai yang menjadi napak tilas Soedirman,” kata Asmun. Data itu juga tersimpan di Dinas Rahasia Belanda.
Di kalangan warga Selopanggung sendiri, penggalian itu menimbulkan tanda tanya. Sejumlah sesepuh desa meyakini bukan di situ makan Tan Malaka. ”Seharusnya di sebelah utara makam Mbah Selo,” kata Tolu, 80 tahun, seorang warga desa. Tolu mengenal Tan saat tokoh misterius itu ditawan tentara di rumah Yasir, kakeknya, yang dipakai sebagai markas tentara. Tan selalu dikurung dan bukunya dibakar tentara.
Tiga hari setelah kedatangan Tan, Tolu tak menjumpainya lagi. Dia menduga Tan ditembak Soekotjo. ”Lokasinya di sebelah utara makam Mbah Selo yang ditandai pohon kemboja. Bukan yang sekarang dibongkar,” kata Tolu. Dia tak datang ke pembongkaran karena tak dikontak Zulfikar. Tolu inilah yang menjadi sumber kunci Poeze.
Sebagai kerabat Tan, Zulfikar tampaknya siap dengan segala kemungkinan. Jika kelak hasil DNA-nya negatif, ”Kami hentikan proyek ini untuk sementara,” kata Zul.
Dwidjo U. Maksum (Jakarta), Hari Tri Wasono (Kediri)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo