Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG jenderal menghadap Presiden Soeharto pada 1980-an. Ia meminta gelar pahlawan nasional Ibrahim Datuk Tan Malaka dicabut. Soeharto menolak. Katanya, jika gelar itu ditanggalkan karena permintaan orang atau sekelompok orang, gelar pahlawan lainnya juga bisa bernasib serupa.
Adalah sejarawan Anhar Gonggong yang mendengar cerita ini dari seorang kolonel Angkatan Darat yang menekuni sejarah. "Saya dengar cerita itu setahun lalu," kata Anhar, Kamis pekan lalu. Saat itu keduanya bertemu dalam sebuah acara di kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat.
Soal permintaan dari seorang tokoh militer, Anhar tidak terkejut. Yang justru membuatnya heran adalah sikap Soeharto. "Itu bijaksana," kata Anhar. Dengan menolak permintaan pencopotan gelar pahlawan nasional Tan Malaka, Soeharto menutup kemungkinan gelar pahlawan bisa dicopot karena alasan suka atau tak suka.
Tan Malaka memperoleh gelar pahlawan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Soekarno Nomor 53 Tahun 1963. Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam, lolosnya Tan Malaka dalam daftar pahlawan nasional merupakan hasil lobi beberapa petinggi Partai Murba-partai yang didirikan Tan Malaka-seperti Chaerul Saleh, Sukarni, dan Adam Malik.
Hubungan Tan Malaka dengan Soekarno, meski sempat mesra pada awalnya, berujung muram. Tan mengkritik sikap kooperatif Soekarno terhadap Jepang yang dinilai mengkhianati cita-cita kemerdekaan. Tan Malaka sempat dipenjara dua setengah tahun oleh rezim Soekarno sekitar 1945. Bagi Bung Karno, pemberian gelar ini merupakan bagian dari upaya merangkul kelompok politik berseberangan dengannya.
Tatkala gelar kepahlawanan ini diberikan, Partai Komunis Indonesia-juga berideologi kiri seperti Tan-menuntut jatah serupa. Setahun kemudian Soekarno memberikan gelar yang sama kepada Alimin, tokoh senior PKI. Wakil dari kelompok Islam yang mendapat gelar serupa adalah Hasjim Asj'ari dan Abdul Wahid Hasjim (Nahdlatul Ulama).
Menyandang gelar pahlawan sejak dulu, di era Orde Baru Tan Malaka kurang dikenal. Namanya pun tidak tercantum dalam buku sejarah. "Orde Baru menyamakan Tan Malaka dengan Partai Komunis Indonesia," kata Anhar Gonggong. "Padahal Tan bermusuhan dengan partai itu." Orde Baru melarang pembahasan mengenai PKI dan para tokohnya. Akibatnya, para penulis buku dan penerbit cenderung "menyembunyikan" gelar itu ketika menulis ihwal Tan Malaka.
Padahal kontribusi Tan Malaka kepada Republik diakui luas. "Tidak ada kawan dan lawan yang meragukan kontribusi Tan bagi Indonesia," kata Anhar. Konsep negara Republik Indonesia, misalnya, digagas Tan Malaka pada 1925.
Menurut Direktur Kepahlawanan Departemen Sosial Muchsis Malik, gelar Tan Malaka tidak pernah dicabut. Dalam buku terbitan Departemen Sosial Wajah dan Perjuangan Pahlawan Nasional pada 2008, Tan Malaka tercantum pada nomor urut 17 dari 141 pahlawan. Untuk membuat Tan Malaka lebih dikenal, Muchsis berjanji, "Pemerintah akan memperbanyak salinannya dan mengirimkannya ke berbagai daerah."
Budi Riza, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo