Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEBAT panas terjadi di ruang rapat lantai dua Hotel Sahid International, Jakarta, awal September lalu. Saat itu secara bergiliran wakil dari Badan Intelijen Negara, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, plus pejabat Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menyampaikan kendala mereka di lapangan ketika berusaha menangkal aksi terorisme.
Pendeknya masa penahanan tersangka, dan kurang detailnya mekanisme koordinasi antara kepolisian, Badan Intelijen, dan tentara, berulang kali disebut sebagai faktor yang menghalangi pemberantasan terorisme secara tuntas. Apalagi peran badan intelijen dan tentara dinilai masih sangat minim. Kesimpulan rapat hampir bulat: pemerintah dan parlemen harus segera merevisi Undang-Undang Antiterorisme.
Usman Hamid, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), yang hadir saat itu, kontan protes. Menurut dia, ide yang melatarbelakangi penguatan fungsi badan intelijen dan tentara dalam penanganan terorisme berpotensi melangkahi aturan hukum acara pidana dan memberangus hak konstitusional warga negara. ”Akan ada kekacauan sistem peradilan, ketika fungsi penegakan hukum internal dicampuradukkan dengan eksternal,” katanya.
Akhirnya Rapat Dewan Ketahanan Nasional hari itu berakhir tanpa kesimpulan. Padahal awalnya rapat ini berusaha mencari formula paling pas untuk menguatkan fungsi penegakan hukum tanpa mengorbankan hak asasi manusia, setelah ledakan di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, pertengahan Juli lalu. ”Soal revisi Undang-Undang Antiterorisme masih akan dibicarakan lagi dengan jajaran BIN, polisi, tentara, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan,” kata Usman.
Sebelumnya, akhir Agustus lalu, ide serupa sudah muncul dalam Rapat Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo Adi Sutjipto menilai sudah saatnya Undang-Undang Antiterorisme Nomor 15 Tahun 2003 diperkuat.
”Perlu peningkatan aspek kapasitas kelembagaan dan kapasitas aparat,” kata Widodo. Selain itu, peraturan yang ada, kata Widodo, baru mencakup aspek penindakan. ”Padahal ada upaya lain, misalnya pencegahan, yang memang harus dilakukan dan dipayungi, termasuk intelijen,” katanya.
UNDANG-Undang Antiterorisme lahir setelah peledakan bom Bali pertama, 12 Oktober 2002. Saat itu Indonesia belum punya perangkat hukum yang memadai untuk menangani kejahatan luar biasa semacam aksi bom bunuh diri yang menewaskan 202 orang itu.
Draf awalnya—berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang—dibuat Susilo Bambang Yudhoyono (saat itu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan) dan Yusril Ihza Mahendra (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia). Belakangan, parlemen mengesahkannya menjadi undang-undang.
Poin penting aturan baru ini adalah kewenangan polisi menahan seseorang yang diduga terkait dengan terorisme selama tujuh hari, tanpa harus menetapkan status hukumnya.
Terbukti kemudian—meski prinsip retroaktifnya sempat dicabut oleh Mahkamah Konstitusi—Undang-Undang Antiterorisme berhasil menjalankan fungsinya dengan efektif. Ratusan orang dijerat dengan aturan ini dan, banyak yang percaya, jejaring teroris di negeri ini telah dilumpuhkan.
Namun, pada 1 Oktober 2005 bom meledak lagi di Jimbaran, Bali. Meski skala kerusakan dan korbannya lebih kecil ketimbang bom di Kuta tiga tahun sebelumnya, pemerintah dan polisi tetap merasa kebobolan. Beberapa pasal Undang-Undang Antiterorisme yang dinilai ”lembek” mulai diutak-atik.
Namun draf revisi Undang-Undang Antiterorisme kala itu layu sebelum berkembang. Gencarnya penolakan dari masyarakat membuat usul itu tak pernah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat. Naskah revisi itu akhirnya disimpan lagi di dalam laci Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Baru akhir Agustus lalu, Menteri Koordinator Politik Widodo Adi Sutjipto membuka lagi ide lama itu. Kepala Desk Antiteror, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Irjen (Purn.) Ansyad Mbaai, adalah salah satu promotor utama revisi Undang-Undang Antiterorisme.
”Kita dikelilingi negara-negara dengan aturan antiterorisme yang amat kuat,” katanya pekan lalu. Dia mencontohkan Malaysia dan Singapura, yang bisa menahan tersangka teroris selama bertahun-tahun tanpa pengadilan. ”Hanya kita yang hukumnya lembek,” kata Ansyad kesal. ”Ini salah satu alasan kenapa mereka memilih beraksi di Indonesia.”
Menurut Ansyad, masa penangkapan yang diperbolehkan saat ini—tujuh hari—perlu diperpanjang. Dia merujuk pada satu kasus penangkapan di sebuah pulau yang hanya bisa dicapai dalam satu minggu perjalanan dari Jakarta. ”Begitu sampai di Jakarta lagi, sudah lebih dari sepekan,” katanya dengan prihatin.
Selain itu, pelaku terorisme yang selalu berjejaring, menurut Ansyad, jadi salah satu alasan perlunya Undang-Undang Antiterorisme direvisi. ”Lihat saja, teroris yang ditangkap di Palembang ternyata berhubungan dengan kelompok Ambon,” kata Ansyad. ”Kelompok yang sama melakukan aksi teror di Poso, dan terkait dengan kasus serupa di Yogyakarta.”
Karena itu, pemerintah minta masa penahanan tersangka pelaku terorisme ditambah. ”Kalau tetap 180 hari seperti sekarang, itu sama saja dengan masa penahanan maling ayam,” kata Ansyad lagi.
Dia menegaskan masa penahanan yang terlalu singkat menyulitkan polisi menggulung jejaring terorisme. ”Ada banyak kasus di mana tersangka teroris terpaksa dilepas karena buktinya tidak cukup,” katanya. Ansyad menunjuk kasus Air Setiawan, yang pernah ditangkap dalam penyidikan kasus peledakan bom di Kedutaan Besar Australia pada 2004. ”Dia dilepas karena kurang bukti, eh, lima tahun kemudian ternyata dia terlibat lagi di Marriott dan Ritz-Carlton,” katanya.
Kalaupun bukti ada, karena masa penangkapan yang pendek, polisi gagal menyempurnakan alat bukti. ”Akibatnya, vonis hakim pun jadi rendah,” kata Ansyad. Dia menunjuk kasus Urwah, buron polisi dalam kasus bom Marriott dan Ritz-Carlton, yang pernah divonis tiga tahun penjara dalam kasus bom lain. ”Sekarang baru ketahuan bahwa Urwah ternyata salah satu pembuat bom yang berbahaya,” katanya.
SEJAK pertama kali diusulkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dalam rapat dengan Komisi Pertahanan DPR, akhir Agustus lalu, reaksi parlemen masih terbelah. ”Isunya masih jadi polemik, sehingga masih diisolasi di Komisi Pertahanan,” kata Eva Kusuma Sundari, politikus Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Komisi Hukum DPR.
Dia sendiri menilai revisi Undang-Undang Antiterorisme belum diperlukan. ”Usul untuk memperpanjang masa penahanan itu sangat mengganggu,” katanya. Prinsip penghormatan atas hak asasi manusia, menurut Eva, jangan sampai dikorbankan atas nama penanganan terorisme. Selain itu, ide untuk melibatkan tentara dan BIN ditolak Eva. ”Sebaiknya polisi tetap di depan,” katanya.
Effendy Choirie, politikus Fraksi Kebangkitan Bangsa di Komisi Pertahanan, membenarkan bahwa pembahasan mendalam belum dimulai. ”Mana pasal yang mau direvisi kita belum tahu,” katanya.
Dalam rapat Dewan Ketahanan Nasional dua pekan lalu, Usman Hamid sebenarnya sudah memberikan solusi alternatif. Dia menyebut ada dua aturan hukum yang sebenarnya belum digunakan secara maksimal: Peraturan Presiden tentang Koordinasi Intelijen dan Peraturan Presiden tentang Penguatan Fungsi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dalam Penanganan Terorisme.
”Kalau masih dirasa perlu, bisa saja Presiden mengeluarkan instruksi atau peraturan yang mengatur tugas perbantuan militer kepada polisi,” kata Usman. ”Tidak perlu sampai merevisi Undang-Undang Antiterorisme.”
Wahyu Dhyatmika, Agung Sedayu, Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo