Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FF9900>TENAGA KERJA INDONESIA</font><br />Sepakat Menunggu Bulat

Pemerintah Malaysia menyetujui sejumlah usulan Indonesia. Dokumen bisa dipegang pekerja, bukan majikan atau agen.

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGANTAR minuman itu bolak-balik melayani pengunjung restoran. Dengan seragam serba hitam, Cicih—sebut saja begitu—selalu menebar senyum. Rabu sore itu, lepau khas masakan cina itu lumayan padat pengunjung. Sebagian besar kursi terisi, terutama di bagian yang menjorok di Jalan Puteri 7, Bandar Puteri Puchong, Selangor, itu.

Cicih, 23 tahun, berkhidmat di kedai itu sejak tiga tahun lalu. Perempuan asal Kendal, Jawa Tengah, ini bekerja dua shift sekaligus, pukul 05.30-17.00 dan 17.30-23.00, setiap hari. Dengan masa kerja 16 jam itu, dijanjikan gaji 500 ringgit (sekitar Rp 1,5 juta) sebulan. ”Capek,” ujarnya singkat.

Cicih memberikan surat curahan hatinya kepada Tempo. Perempuan lulusan sekolah dasar ini mengibaratkan dirinya mesin tanpa perawatan dan jaminan. Kalau sakit, ia hanya mendapat obat flu. Ia juga tak bisa mengirim uang ke kampung. ”Gaji kami dipegang majikan,” katanya. ”Nanti baru diberikan kalau kami akan pulang ke Indonesia.”

Cicih pernah minta izin pulang karena anaknya sakit berat. Janda dengan satu anak ini berharap bisa mendapat gajinya selama dua tahun. Tapi majikannya mengatakan akan membayar gaji Cicih setelah kembali ke Malaysia. Hingga tahun ketiganya di Malaysia, ternyata gajinya belum dibayarkan.

Cicih mengatakan beberapa temannya sudah tak sanggup menjalani pekerjaan di Malaysia. Sudah ada tiga rekannya melarikan diri. Cicih pun sebetulnya ingin minggat dari tempatnya bekerja. ”Tapi paspor dan visa kerja kami dipegang majikan,” katanya. ”Lagian, kami tak punya uang.”

Paspor dan visa kerja tenaga kerja Indonesia di Malaysia memang dipegang majikan. Pemerintah Malaysia baru menyetujui paspor tenaga kerja Indonesia dipegang pemiliknya, bukan majikan atau agen, melalui kesepakatan yang muncul dalam perundingan bilateral di Putrajaya, Malaysia, akhir Agustus lalu.

Dengan kesepakatan itu, nantinya kartu pengenal tenaga kerja Indonesia yang dikeluarkan pemerintah Malaysia tak berlaku lagi. Kartu ini dianggap sebagai pengganti paspor. Cicih sangat berharap kesepakatan itu terlaksana. Ia bertekad pulang ke Indonesia tahun ini dengan baik-baik. ”Tapi, kalau belum dibayar juga, kami akan melarikan diri,” katanya.

Kesulitan berurusan dengan paspor dan dokumen juga dialami Yanti, 34 tahun. Perempuan asal Madiun, Jawa Timur, ini bekerja di restoran Tomyam di daerah pertokoan Damansara, Selangor. Selama dua tahun bekerja di kedai milik orang India itu, Yanti menjadi tukang potong sayur, penjaga barang, dan kasir.

Pada April lalu, Yanti meminta waktu pulang ke Indonesia. Kebetulan ia harus memperpanjang visa kerja pada Juli. Ia diperbolehkan pulang dengan gaji Mei dan Juni, dipotong visa dan gaji Juli untuk tiket.

Pada Agustus, tiket pulang tak kunjung diberikan majikan. Ia juga belum menerima fotokopi perpanjangan visa. Beberapa kali Yanti meminta kejelasan tiket dan visanya, namun tak pernah mendapat jawaban memuaskan. Majikannya malah menyatakan Yanti dipecat.

Yanti lalu mengadukan kasus ini ke kedutaan. Ia juga mengecek visanya ke kantor imigrasi, yang ternyata tak diperpanjang majikannya. Yanti melapor ke kantor polisi dan pejabat buruh Malaysia. Kasus Yanti ini tadinya akan disidangkan pada 11 Agustus. Pengadilan akan diagendakan pada 1 Oktober karena majikannya mangkir pada sidang pertama.

Selama menunggu masa sidang, Yanti mendapat keringanan dari Malaysia. Ia harus mengeluarkan 100 ringgit setiap bulan untuk memperpanjang visa. Yanti tak tahu kapan pengadilan akan memutus perkaranya. ”Beruntung kawan masih memberi saya tumpangan,” katanya. ”Uang saya makin menipis.”

Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Teguh Hendro Cahyono, mengatakan kesepakatan bilateral Indonesia-Malaysia masih membutuhkan persetujuan parlemen Malaysia. Teguh sangat berharap kesepakatan sudah terlaksana akhir tahun ini.

Teguh menjelaskan, kesepakatan tak otomatis mencabut larangan pengiriman pembantu ke Malaysia. Indonesia membekukan penempatan tenaga informal sektor rumah tangga sejak 26 Juni 2009. Keputusan moratorium itu dibuat karena banyak pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut dia, penegakan hukum terhadap majikan yang menyiksa pembantunya juga harus mendapat perhatian. Atase Ketenagakerjaan mengusulkan ada seleksi dan tes psikologi para majikan. Menurut dia, Indonesia akan meminta rekam jejak majikan sehingga bisa menghindari kasus penyiksaan.

Pertemuan Indonesia-Malaysia di Putrajaya merupakan revisi nota kesepahaman 2006. Dalam pertemuan itu, Malaysia menyepakati usul Indonesia supaya dokumen tenaga kerja informal dipegang pemiliknya.

Indonesia juga mengusulkan adanya skala dan gaji awal sehingga memungkinkan kenaikan berkala. Pemerintah Indonesia mengajukan gaji minimum 800 ringgit. Namun usul kenaikan gaji itu masih belum disepakati besarannya.

Menteri Pembangunan Wanita, Keluarga, dan Masyarakat Malaysia Shahrizat Abdul Jalil mengatakan gaji minimum 800 ringgit (Rp 2,3 juta) untuk pembantu rumah tangga asing terlalu tinggi. Seperti dikutip kantor berita Bernama, Shahrizat menyebutkan majikan lokal sulit membayar uang sebesar itu.

Shahrizat mengatakan batas terendah gaji pembantu rumah tangga asing perlu dikaji dengan teliti sebelum diputuskan Kementerian Sumber Daya Manusia. Menurut dia, Akta Kerja 1955 tidak menetapkan gaji minimum untuk sektor pekerjaan ini di Malaysia. ”Gaji bagi suatu sektor ditentukan daya serap pasar,” katanya.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno mengatakan parlemen Malaysia akan membahas kesepakatan itu pada Oktober nanti. Menurut dia, Malaysia sudah menyepa-kati sebagian besar usul Indonesia. Erman mengatakan Indonesia akan membuka moratorium kalau kesepakatan itu sudah disetujui.

Beberapa butir yang sudah disepa-kati adalah dokumen dipegang pemiliknya dan ada hak libur sehari serta asuransi yang ditanggung majikan. Standar upah minimum juga pada prinsipnya sudah disepakati. ”Besarannya masih dinegosiasikan,” katanya.

Yandi M.R., Dianing Sari (Jakarta), Masrur Dimyathi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus