Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA polisi sedang mengobrol di lapangan parkir Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara, Rabu malam pekan lalu. Seorang pemuda berambut keriting, sekitar 35 tahun, mengenakan kaus oblong dan celana pendek, mendekat dan berbicara perlahan, tak sampai setengah menit. Namun, dalam hitungan detik, pada pukul 23.30 malam itu, kedua polisi segera menancap gas mobil dinas mereka, meninggalkan rumah sakit.
”Dia mau ngeluarin mobil,” kata salah satu polisi itu kepada Tempo dengan wajah tegang, sesaat sebelum raib. Pemuda tadi memanggil rekan-rekannya, menghampiri mobil Ford Escape biru tua milik polisi pamong praja yang parkir di belakang mobil dinas polisi tadi, dan memecahkan kaca pintunya. Salah seorang dari mereka membuka pintu dan duduk di belakang setir, lima lainnya mendorong mobil ke Jalan Jampea di depan rumah sakit.
Malam itu, satu ruas Jalan Jampea telah diblokade massa dengan membakar ban. Satu ruas lainnya padat dilewati ratusan truk kontainer yang bergerak perlahan dari dan menuju terminal peti kemas yang memanjang di sisi seberang jalan. Massa di sekitar lokasi semakin berkobar ketika mobil tadi dibalikkan lalu dibakar. Empat mobil sejenis dikeluarkan dari lahan parkir rumah sakit, dibakar juga. Di dalam mobil ditemukan minuman keras Chivas Regal, uang tunai, dan sejumlah dokumen.
Inilah lanjutan kerusuhan pagi hingga sore hari yang sama, ketika sekitar dua ribu polisi pamong praja dan polisi menggeruduk tempat ziarah makam Habib Hasan bin Muhammad Haddad. Mereka berhadapan dengan sekitar lima ratus anggota pe ngajian, dibantu ribuan warga Koja, Jakarta Utara.
Polisi dan polisi pamong praja kehilangan 81 kendaraan, hangus dibakar termasuk satu mobil water canon dan dua backhoe penghancur bangunan. Malam harinya warga menjarah bangkai kendaraan. Sambil mencoba mencopot pintu satu bangkai mobil, seorang pemuda berkata kepada Tempo, ”Ya, buat dikiloin.”
DUDUK bersila, Habib Ali Zainal Abidin, pemimpin Majelis Tadzkir Al-Habib Ahmad, terlihat tenang dikeli lingi sekitar 15 anggota jemaah, Rabu malam pekan lalu itu. Bentrokan telah usai, mereka sedang berbincang perlahan seraya menyantap makanan kecil di pendapa di depan makam yang dikenal sebagai makam Mbah Priok.
Sesaat kemudian Ali berdiri, dan memasuki pintu yang menyambung ke rumahnya yang bersanding dengan pendapa. Ketika Tempo meminta waktu untuk wawancara, pria 34 tahun itu menjawab singkat, ”Saya hanya pembantu di sini.” Pintu ditutup.
Ali tinggal bersama istri, dua anaknya yang masih balita, ibu, dan kakaknya yang bernama Abdullah. Menurut cerita seorang anggota jemaah, Ali keturunan dari garis saudara pe rempuan Habib Hasan. ”Itu sebabnya, ia bukan Haddad, melainkan Alaydrus.” Nama Ali dan Abdullah tercantum dalam surat perintah bongkar yang diki rimkan Wali Kota Jakarta Utara Bambang Su giyono pada akhir Maret lalu.
Menurut cerita keluarga, Habib Ha san berasal dari Palembang. Ia penyebar Islam yang wafat pada usia 29, ketika mengunjungi Pulau Jawa pada 1756. Ia dimakamkan di Pondok Dayung, masih di sekitar Tanjung Priok. Ketika Belanda hendak memperlebar pelabuhan, makamnya dipindahkan ke lokasi sekarang.
Kompleks makam luasnya sekitar 5,4 hektare, sebagian besar masih berupa rawa. Belakangan, tempat ini berkembang menjadi situs ziarah berbagai kalangan. Kegiatan ritual, dengan dibentuknya Majelis Tadzkir, dikembangkan ahli waris berupa pengajian pada setiap Kamis petang hingga tengah malam, dan Ahad pagi, dua kali sebulan. Dalam setiap pengajian, seribuan peziarah hadir takzim.
Konflik kepemilikan lahan mulai mencuat pada 1997, ketika pemerintah berencana membongkar kompleks makam, yang mulai dipenuhi makam penduduk sekitar, untuk perluasan pelabuhan. Meski makam warga akhirnya dipindahkan ke daerah Semper masih di Jakarta Utara ahli waris Habib Hasan menolak rencana itu. Hingga kini masih ada 13 makam keluarga dinaungi rumah permanen ala joglo.
Menurut Yan Juanda, pengacara ahli waris, pemerintah seharusnya menghormati makam ini karena telah menjadi situs ritual bersejarah. ”Makam itu sudah menjadi semacam pasak bumi daerah ini,” katanya. Namun, menurut Wakil Gubernur Prijanto, semua makam sebetulnya sudah dipindahkan ke Semper.
Menurut pemerintah, ketika itu, kompleks makam masuk wilayah PT Pela buhan Indonesia II, berdasarkan Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1. Sertifikat ini merujuk pada akta hak milik zaman Belanda/Eigendom Verponding Nomor 4341, 1780, 6203, dan 991. Tapi, menurut Zulhendri Hasan, juga kuasa hukum ahli waris, kompleks makam merujuk pada Eigendom Verponding Nomor 1268. ”Jadi, tidak masuk ke sertifikat itu.” Untuk mengecek status kepemilikan tanah ini, Badan Pertanahan Nasional telah membentuk tim, sehari setelah kerusuhan.
Zulhendri mengatakan ahli waris juga memegang surat izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda pada 1934. Kasus ini juga sempat bergulir ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara, ketika keluarga ahli waris menggugat klaim Pelindo, pada 2002. Pengadilan tidak mempro ses gugatan itu dengan alasan penggugat kurang pihak.
Konflik terbuka pecah dua tahun kemudian, ketika Pelindo membangun jalan di area kompleks. Untunglah, konflik bisa diredam dan kedua pihak sepakat mendinginkan suasana. Tapi, sejak September tahun lalu, suhu mengha ngat lagi ketika terbit instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 132, yang memerintahkan penertiban bangunan di atas lahan milik Pelindo.
Pada awal Maret tahun ini, Direktur Utama Pelindo II, R.J. Lino, meng ajukan tawaran kepada ahli waris lewat kantor wali kota, agar luas kompleks makam ”dipangkas” hingga tinggal seratus meter persegi. Warga juga hanya diperbolehkan berziarah setahun sekali, setelah melapor ke Pelindo.
Instruksi gubernur diikuti keluarnya tiga surat peringatan berturut-turut, yang meminta ahli waris membongkar gapura, pendapa, dan bangunan lainnya. Surat terakhir, pada akhir Maret, ditandatangani Wali Kota Jakarta Utara Bambang Sugiyono, ditujukan ke Ali Zainal dan Abdullah, memerintahkan pembongkaran bangunan dalam waktu satu hari. Jika perintah ini tidak dipatuhi, Pemda… ”Akan melaksanakan penertiban paksa dan semua risiko menjadi tanggung jawab Sau dara.”
Menurut Wakil Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Nur Kholis pada awal April Komisi telah meminta Pemda menghentikan rencana penertiban paksa dan membuka dialog. ”Tapi ajak an kami tidak ditanggapi.” Dalam rembuk yang digelar pada Kamis pekan lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pelindo, dan ahli waris sepakat menjaga keberadaan kompleks makam.
Direktur Utama Pelindo II, R.J. Lino, berjanji membuatkan berbagai fasilitas pengganti dengan posisi yang berbeda, agar akses masuk ke pelabuhan bisa memenuhi standar internasional. ”Kami punya banyak uang untuk itu, kok,” katanya. Menurut Zulhendri, ahli waris hanya menginginkan 1,5 hektare lahan untuk kompleks makam. Sisa tanah bisa dinegosiasikan, jika Pelindo memang ingin membeli.
Budi Riza, Isma Savitri, Wahyudin Fahmi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo