Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"trouw" terus sampai tua

W van de vries, ketua yayasan stichting door de eeu wen trouw, akan tetap menyumbang rms dan opm selama mereka punya semangat untuk merdeka.simpati ini di maksudkan sebagai balas budi bangsa belanda.

10 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANDANGAN politik yang ganjil sekalipun ternyata tak gampang pudar. Contohnya yayasan "Setia Sepanjang Abad" di negeri Belanda, donatirnya "RMS". Bagaimana yayasan ini, yang dalam bahasa Belandanya disebut Stichting door de Eeuwen Trou? "Perhatikan, saya tidak anti pemerintah Indonesia, tapi saya pro-politik RMS dan Papua", kata W. van de Vries, Ketua yayasan tersebut, yang olehnya dalam bahasa Inggeris dijadikan The Dutch Melanesian Aid Foundation. Umurnya 57 tahun, 26 tahun lamanya telah duduk dalam yayasan ini. Tinggal di kota industri Philips di Eindhoven. Yayasan ini tak beranggota tetap, tapi dikendalikan oleh sekitar 10 orang Belanda yang bersimpati akan tujuan yayasan ini. "Kami ini merupakan payung besar dari rakyat Belanda yang siap membantu rakyat Maluku", ujarnya. "Beberapa tahun yang lalu adalah sangat sulit untuk minta perhatian pers dan media lainnya tentang masalah RMS ini. Mereka katakan selalu: de Vries, sudahlah, lupakanlah hal ini. Kemudian saya katakan, belum selesai. Kami tidak mempercepat agar Manusama cepat berkuasa, tidak. Apalagi dengan tindakan kekerasan. Tidak. Tapi saya lihat api semangat untuk merdeka masih menyala di hati orang Maluku. Kemudian kami lantas katakan: selama semangat mereka masih menyala, hati kami juga akan tetap berkobar. Kami akan berhenti manakala mereka berhenti. Semua ini untuk membayar kembali apa yang bangsa Belanda telah lakukan terhadap tanah itu, lebih dari 3 abad lamanya". De Vries juga berkata bahwa yayasannya tidak hanya membantu "RMS", tapi juga gerakan yang namanya "OPM" (Organisasi Papua Merdeka). "Sekali lagi saya tegaskan, kami tidak membantu dalam bentuk senjata atau tentara", katanya lagi. Kami yayasan bukan saja mengadakan hubungan dengan Manusama, tapi juga dengan orang-orang OPM seperti Jouwe atau Womsiwor. Diakuinya juga bahwa dari orang-orang yang bersimpati sejak tahun 1950, telah milyunan uang mereka sumbangkan untuk gerakan ini. Kalau betul, yayasan katanya menerima uang sumbangan sekitar 5 - 8 ribu gulden seharinya. Dalam setahun yayasan bisa mengumpulkan sekitar 200 - 250 ribu gulden. Biasanya 2/3 diberikan untuk "OPM", dan sisanya untuk "RMS". Pernah dalam suatu malam Natal mereka berhasil mengumpulkan hampir F140 ribu. Mengalir pula sumbangan ekstra sekitar F130.000, uang langganan majalah Selfbeschikking. Dulu ada pula majalah yang didirikan oleh mereka yang nananya Stem van Ambon. Tapi majalah ini umurnya cuma 2 tahun saja. Yayasan tampaknya sudah cape untuk menyumbang "RMS", karena ketika "RMS" merayakan HUT-nya yang ke-25 tahun April kemarin, dia cuma memberikan sumbangan 2 ribu gulden saja. Katanya pula: "Saya pernah menulis surat pada den Uyl agar masalah RMS ini diperhatikan. Ingat peristiwa Assenaar. Tapi apa jawab den Uyl." Dia bilang agar masalah ini dibawa ke van Doorn (Mented CRM) karena tidak ada sangkut pautnya dengan politik. Wah, payah". Tambahnya lagi: "Saya menyokong Manusama lebih dari 100%. Dari sudut yayasan, kami selalu menentang setiap tindakan illegal. Saya menentang tindakan anak-anak muda dalam soal Beilen dan Amsterdam. Tapi sebetulnya, harus dilihat dari latar belakang mereka. Pengertian tentang masalah ini harus ada dari Belanda. Sebab setelah mereka berperang untuk kami, lantas kami bawa kemari". Siapa lagi yang menyumbang "RMS"? Banyak orang mengatakan: Hendrik Owel, pedagang Belanda yang untuk menghindari pajak telah tinggal di Luxemburg. Sama seperti suara Manusama, de Vries berkata bahwa "Owel sudah dipecat, karena dia bertindak sendiri tanpa persetujuan Manusama. Juga dia telah mengadakan hubungan langsung dengan Moskow dan Fretilin. Manusama ada berkata tentang si pedagang ini: "Kalau nanti RMS jadi, dia memang minta agar boleh tanam modal di Maluku". Ini juga agaknya suatu harapan sia-sia sepanjang abad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus