Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mimpi Berdarah Yang Tak Kunjung ...

Bekas knil yang bermukim di belanda masih merindukan adanya suatu negara. dikalangan mereka timbul 4 golongan yang berlainan aliran. Timbul perpecahan antara kaum muda & kaum tua meski sama tujuannya. (nas)

10 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH anda tidak sadar bhwa RMS itu hanya sebuah impian belaka?". Pertanyaan ini dilontarkan Prof. Dr. A. Verkuyl, pendeta yang pernah lama di Indonesia dan kini merupakan tokoh yang pro-pemerintah Indonesia, dalam sebuah diskusi di televisi Belanda awal tahun 1975. "Presiden RMS" ir. J. A. Manusama kemudian menjawab: "Apakah saya tidak berhak bermimpi? Apakah ada larangan untuk bermimpi?". Akhir 1975, Manusama telah membawa "mimpi"nya ini keluar kamar tidurnya. Dengan adanya pembajakan kereta api di Beilen, kota kecil di Wijster yang mempunyai penduduk 6.000 orang dan terletak di propinsi Drente, Belanda Utara. Dua hari kemudian, 4 Desember, gedung konsulat Indonesia di Amsterdam juga dibajak oleh 7 orang pemuda yang menamakan dirinya Pemuda Maluku Selatan Merdeka. Bagi negeri Belanda, soal pembajakan atau penyanderaan bukanlah hal yang baru. Januari 1973, di Deil, 2 orang pemuda telah merampok kantor pos tambahan di Den Bosch. Bersama itu pula disandera keluarga Smith yang terdiri dari 3 orang. Penyanderaan ini selesai dalam tempo 28 jam tanpa memberikan korban jiwa. September 1974 di Den Haag, 3 orang Jepang telah menerobos di kedutaan Perancis. Bersama duta besar Perancis, 11 orang tertawan dalam gedung tersebut selama 97,5 jam. Permintan si Jepang: agar kawan-kawannya yang ditahan pemerintah Perancis dibebaskan. Peristiwa ini berakhir dengan bekal AS$ 300 ribu dan sebuah Boeing-707 buat 3 Jepang tersebut. Korban jiwa tidak ada. Oktober tahun yang sama, di penjara Seheveningen, 22 orang telah jadi sandera oleh 2 orang pelaku peristiwa Deil. Tuntutan: agar Jepang yang dipenjara (seorang tertangkap dengan adanya peristiwa kedutaan Perancis) dibebaskan. Penyanderaan cuma berlangsung 106 jam. Menganggur Tapi orang-orang 'RMS' ini telah mencapai rekor tertinggi. Penyanderan di kereta api di Beilen baru selesai setelah merampas waktu selama 288 jam. 29 penumpang jadi sandera dan jatuh 3 korban jiwa: masinis Braams, 30 tahun karena melawan, seorang tentara beruniform, Bulter, 22 tahun, karena pemerintah Belanda tidak memenuhi permintaan mereka (sebuah bis) pada jam yang mereka tentukan. Pada hari ketiga, Bierling, 31 tahun, telah ditembak dengan sengaja dan tubuhnya dilempar keluar k.a. menemani 2 tubuh yang terdahulu. Para pelaku dari pembajakan k.a. ini adalah Kobus Tuny, 25 tahun, bekas pelajar STT (Hogere Technische School) dan dalam masa menganggur. Paul Saimima, 25 tahun, menganggur dan pernah bekerja di bank. Corneis Hetharia, 23 tahun, tukang bikin mebel, juga sedang menganggur. Eliza Hetharia, 24 tahun, STM, masih sekolah. Albert Sahetapy, 22 tahun, nganggur dan pernah jadi montir elektro, dn Joop Metekohy, 20 tahun -- tahun kedua pada Akademi Paedagogi di Assen. Paul Saimima, karena naas, peluru pistolnya justru menyerempet matanya sebelah kanan. Lewat Palang Merah dia diangkut ke rumah sakit dan dari mulutnyalah keluar siapa-siapa keenam kawannya. Selama 12 hari kota kecil Beilen jadi sebutan. Ratusan wartawan telah mendatangi desa kecil yang letaknya 173 km dari Amsterdam ini. Bagaikan perang, ratusan polisi telah bersiap siaga. Ditambah lagi dengan 45 buah tank, 600 kavaleri dari Divisi 43, 4 helikopter Aluette dan 20 ambulans. Kerugian pemerintah ditaksir untuk peristiwa Beilen saja 26 juta gulden (1 gulden - Rp 150). Belum diketahui berapa banyak ongkos yang telah dikeluarkan dengan didudukinya konsulat RI di Amsterdam. Dari ini bukanlah kejadian yang pertama lagi orang-orang Maluku Selatan yang bermukim di negeri Belanda. Dari semua minoritas yang menetap di Belanda, orang-orang bekas KNIL ini adalah yang paling sering berdemonstrasi dan mengadakan kerusuhan. Tahun 1966 sebagai protes telah ditembak matinya Soumokil, mereka mencoba membakar KBRI di Den Haag. Akhir Agustus 1970, 30 orang Maluku telah menggerebeg rumah Duta Besar (waktu itu Taswin Natadiningrat) di Wassenaar. Seorang polisi meninggal. April 1974, gedung Garuda di Amsterdam dibakar. Desember tahun yang sama timbul perkelahian antara orang Maluku Selatan pro RI dan RMS. Kejadian ini berada di sekitar KBRI. Dari kerusuhan ini, orang-orang RMS kemudian menyempal merusak Istana Perdamaian atau Vredes Paleis. Kerugian pemerintah Belanda: setengah juta gulden. April 1975, terbongkarlah suatu komplotan 42 orang "RMS" yang merencanakan menculik Ratu Yuliana. Menurut versi Ds. S. Metiary (Ketua Badan Persatuan RMS), 56 tahun, pada TEMPO, mereka ini adalah orang Maluku Selatan yang pro-RI. Betul tidaknya, wallahualam. Enam bulan yang lalu 19 orang telah dijatuhi hukuman penjara 1 - 5 tahun. Kini mereka sedang berusaha untuk naik banding. Lantas pecah peristiwa Beilen dan konsulat RI Amsterdam, bagaikan gong tutup tahun 1975. "Belanda menanggapi situasinya telah turun", ujar Duta Besar Sutopo Yuwono, dan "mereka telah meremehkan orang-orang RMS ini". Dalam diskusi tentang masalah ini antara RI-Belanda bulan Agustus yang lalu, Belanda beranggapan bahwa masalah "RMS" telah lewat. Telah selesai. "Tapi kami berpendirian bahwa ini bukan penyelesaian", tambah Sutopo. "Saya lebih cenderung agar pemerintah Belanda mengajak mereka bicara dari pada mem-bypass begitu saja. Masalah ini tidak bisa dilihat dari segi sosial saja". Diakui pua oleh Sutopo bahwa memang sikap pemerintah Belanda dalam masalah "RMS" telah banyak berobah dalam 2 tahun terakhir ini. "Hanya memang, stelsel pemerintahan di sini beda dengan kita. Sehingga biarpun kita mengerti policy pemerintah Belanda, tapi pelaksanaannya sering mengecewakan". Katanya lagi: "Ini adalah hasil sampingan dari dekolonisasi yang tidak sempurna". Kamp Yahudi Dekolonisasi itu mengakibatkan hijrahnya 3.578 serdadu KNIL ke negeri Belanda. Jumlah ini terdiri dari 6 orang pendeta tentara, 3 orang ajudan, 35 sersan mayor, 372 sersan, 821 kopral dan 2.341 prajurit. Ditambah dengan anak isteri yang jumlahnya 12.500 orang. Tanpa persiapan tinggal di negeri dingin, mereka kemudian ditampung di barak-barak bekas orang Yahudi di zaman Hitler. "Waktu itu umur saya masih 5 tahun", cerita seorang dari pulau Ulat yang kini berusia 30 tahun. "Selama 2 tahun kami antri ambil makanan dari dapur umum. Seperti orang hukuman saja, karema kami tidak bisa berhubungan dengan bebas dengan dunia di luar barak. Ada kawat berduri dan ada penjagaan. Tempat tinggal kami bagaikan sebuah gudang besar yang kemudian disekat-sekat oleh papan. Menjelang musim dingin, kauni mendapat pembagian pakaian. Semua orang tahu bahwa kami anak KNIL karena kami mengenakan baju model sport (celana panjang dengan strip di pinggir). Itu saja baju kami. Musim dingin, brr, bukan main dinginnya. Tidak ada pemanas sentral. Kami harus berdiang di sekeliling kayu bakar. Ada sebidang tanah yang biasanya kami gunakan untuk bercocok tanam atau memelihara ayam dan babi. Tidak luas, tapi ini selalu mengingatkan kami akan pulau kami. Sebagai anak KNIL, kami mempunyai sekolah sendiri. Dan saya tinggal dalam barak macam ini selama 15 tahun lamanya. Bahkan ada yang tinggal di barak lebih dari 20 tahun". Belanda, sama seperti beberapa negara lainnya, mempunyai kesulitan setelah Perang Dunia II. Apalagi menurut statistik resmi, jumlah orang-orang Maluku di tahun 1968 telah menjadi 25.456 jiwa. Perkiraan tidak resmi tahun ini, ada sekitar 40.000. "Di samping pula ayah kami tidak menolak untuk tinggal di barak", kata si Maluku dari pulau Ulat tersebut. "Karena kami beranggapan bahwa kami tinggal di negeri Belanda ini hanya sementara saja". Sedangkan para ayah merekapun tidak kurang kecewanya terhadap pemerintah Belanda. Karena demikian mereka tiba di negeri asing ini, baju KNIL mereka dicopot. Kasarnya mereka dipecat dari ketentaraan. Lantas dapat pensiun. Tapi pensiun inipun tidak mereka terima seperti layaknya pensiun tentara Belanda asli. Sementara mereka hidup dalam suasana tangsi. Ini mengakibatkan menonjolnya ciri khas cara kehidupan mereka. Sehingga tidaklah heran kalau ada orang-orang bekas KNIL tersebut yang tidak juga bisa berbahasa Belanda biarpun telah 25 tahun menetap di Belanda. Dan masih menebalnya sifat militer: sifat hierarkhis. Adanya kelas-kelas dalam kehidupan sosial mereka karena pangkat yang berbeda. Dipupuk dengan dunia kegerejaan dan cara kehidupan tanah asalnya seperti kehidupan dalam clan, desa dan pela. Unsur umur ini pun kemudian menghasilkan kelas-kelas pula. Mereka yang telah berumur 40 tahun ke atas (statistik 1968 menunjukkan 20,9% dari keseluruhan jumlah mereka, dibandingkan dengan orang Belanda ada 35,3% yang umurnya di atas 40 tahun ke atas bersifat tradisionil. Mereka lebih banyak mengadakan kontak dengan masyarakatnya sendiri dari pada kontak dengan dunia luar, dunia Belana. Sifatnya yang agak otoriter (karena militer) inilah yang kemudian membangunkan inspirasi dari golongan muda. Yaitu yang berumur antara 25 - 40 tahun yang hidup di dua dunia. Sedangkan yang berumur 25 tahun ke bawah, lahir dan hidup di tengah masyarakat Belanda. Mengerti bahasa orangtuanya, tapi sulit untuk mereka ucapkan. Lidahnya lebih fasih bahasa Belanda. Tunduk dan rajin akan aturan gereja, tapi sering berbuat radikal demikian mereka berada di luar pagar rumah. Komitmen Politik? "Dan ini saya akui bahwa saya tidak bisa mengendalikan mereka semua", kata ir. J.A. Manusama. Di flatnya yang tidak mewah di pinggiran kota Rotterdam, Manusama mengatakan paling tidak 80% dari orang Maluku yang ada di Belanda adalah pengikutnya. Umurnya kini 65 tahun, telah pensiun, tidak punya anak. Isterinya, 75 tahun, selalu sakit-sakitan. Pensiunan guru ilmu pasti ini menentang perjoangan "RMS" dengan kekerasan. Dia tidak kaya, rumahnya sederhana saja dan bahkan terlalu kecil untuk segala map-map tebal yang telah memenuhi ruang tamunya. Sesekali mengajar lagi kalau ada guru ilmu pasti yang absen, atau memberi les privat di rumah. "Beta mendapat surat banyak sekali dari masyarakat Belanda. Surat pernyataan simpati atas tindakan saya, sebagai mediator dalam peristiwa Beilen dan Amsterdam". Sambung isterinya: "Sampai tidak tahu mau ditaruh di mana lagi itu surat-surat". Namun Menteri Kehakiman Belanda van Agt menyatakan bahwa selesainya Beilen dan Amsterdam bukan hanya prakarsa Manusama "dan saya tidak perlu menyatakan terimakasih saya secara resmi", kata van Agt, "dan ini bukan berarti saya tidak menghargai usahanya". Lahir di Banjarmasin dan dibesarkan di pulau Jawa, Manusama adalah lulusan ITB, dulu TH. "Saya lulus 4 tahun setelah Soekamo", katanya, "teman-teman saya waktu itu ir. Mapari Ida Bagus Oka, Kusno Hadinoto". Gagal masuk HBS (karena gagal dalam ujian bahasa Belanda) untuk lantas masuk MULO. "Pembicaraan Januari ini dengan pemerintah Belanda akan lain dengan pembicaraan tahun 1970 setelah peristiwa Wassenaar", katanya. Lima tahun yang lalu, mereka hanya menerima pernyataan dari Belanda, tidak boleh memberikan komentar atau mengajukan apa-apa, "tapi saya yakin kalau setelah Beilen dan Amsterdam, Belanda akan mau mendengarkan kita orang". "Memang perlakuan Belanda berbeda dari tahun ke tahun. Tahun 1950 tahun 1960 atau 1970 sikap Belanda berbeda. Tapi 2 tahun terakhir ini, kita sudah banyak merobah sikap Belanda" kata Dubes Sutopo Yuwono. "Biarpun setelah perjanjian Agustus, Belanda belum switch secara cepat lantas ketimpa dengan peristiwa Beilen dan Amsterdam". Niat pemerintah Belanda mengintegrasikan suku Maluku "saya rasa belum kuat". Tambah Sutopo lagi: "Pihak Indonesia menyarankan agar orang RMS ini harus diajak bicara. Belanda anggap sepi. Akhirnya memukul pemerintah Belanda sendiri. Contohnya peristiwa Beilen. Di samping ini juga akan memukul masyarakat Maluku di Belanda. Mereka toh tinggal di sini, kan akan sulit kalau masyarakat Belanda memusuhi mereka". "Policy Indonesia kita hanya bisa berbicara dengan yang non-diehards. Bagi mereka yang telah begitu keras kepala, tidak perlu kita ajak bicara lagi". Tambah Sutopo: "Kalau mau masuk ke pihak Indonesia silakan. Tapi harus diperhatikan bahwa Indonesia sudah berjalan 30 tahun lamanya. Sudah tidak ada lagi perasaan kedaerahan seperti tahun 1950. Kami sudah berjalan cukup jauh". Dari suku Maluku yang sekitar 40.000 berada di Belanda, ada sekitar 6.000 yang masuk warganegara RI. "Dan perlu diperhatikan bahwa UU Kewarganegaraan RI pasal 1 menyatakan bahwa mereka yang telah kehilangan kewarganegaraannya, tidak bisa masuk jadi WNI lagi. Dan, ini berlaku bagi siapa saja, bukan hanya bagi orang-orang yang pernah turut RMS". Sutopo Yuwono yang cukup tenang menghadapi masalah konsulat Amsterdam ini ("karena saya kan sudah biasa soal beginian ketika di BAKIN") berkata lagi: "Sekali katakan pada den Uyl bahwa ini masalah Belanda. Indonesia yang ikut sangkut-pautnya. Jadi tergantung dari policy pemerintah Belanda bagaimana mengatasi masalah ini. Sebab tujuan orang-orang RMS adalah pegang Belanda dulu baru Indonesia. Tapi inipun bukan hasil final 'RMS'. Kalau toh Belanda akan memberikan komitmen politik, bagi Indonesia paling banter ya hubungan dengan Belanda akan retak. Kita bisa saja tarik diri dan tidak ada hubungan apa-apa dengan Belanda. Belanda tentu akan menimbang masalah berat mana. RMS atau Indonesia. Kalau sikap Belanda belum juga berubah, masalah RMS tidak akan pernah selesai. Akan terus jadi gangguan. Bagi pemerintah Belanda terutama dan juga bagi masyarakat Indonesia di Belanda. Sudah pasti kita akan diganggu terus. Tapi yaah, itu kan risiko". Perpecahan "Aksi memang telah selesai, tapi perjoangan kami belum", ujar Manusama. Biarpun dia berkali-kali mengatakan bahwa dia menentang kekerasan (demikian pula Ds. Metiary, juga W. de Vries Ketua dari Yayasan door de Eeuwen Trouw), tapi Manusama ada menambahkan pula: "Tapi semangat muda, well, ya, hebat". Dan kalau nantinya Belanda sekali lagi membuat mereka (RMS) kecewa, lantas? "Jangan sangka bahwa generasi di bawah saya akan lemah semangatnya", ujar Frederik Johamles Aponno, (biasa dipanggil Etti Aponno) bujangan 36 tahun. Di kantornya di Den Haag dan tidak jauh dari KBRI ketua Pemuda Maluku Selatan Merdeka ini duduk dalam grup Manusama-Metiary. Ayahnya, F.J. Aponno, sersan mayor. Etti tidak pernah merasakan hidup dalaun barak. 'Tapi saya selalu pergi bermain ke barak", katanya. Ia lulusan seni pahat dari Koninklijke Academie di Den Haag. Tidak cacat sama sekali tapi tangan dan kakinya yang kiri sedikit lumpuh akibat lemparan batu yang tidak sengaja dari rekan-rekannya ketika ada demonstrasi RMS di Scheveningen. "Organisasi kami ini masih berantakan," katanya, karena baru saja didirikan sekitar 3 tahun. Mempunyai anggota sekitar 5.000 orang, siapa saja boleh masuk asal m1urnya sudah 18 tahun sampai 36. "Saya ini sebetulnya sudah hampir tidak jadi anggota lagi", katanya dengan mesem. Etti mempunyai jiwa kepemimpinan, tapi dalam gerakannya dia masih mencari bentuk. Pada suatu hari dia berkata: "Kalau Jerman Timur akan membantu gerakan kami, itu sebetulnya merugikan kami. Karena kami ini lebih berpaling ke kanan". Waktu itu ada berita dari DPA bahwa RDD akan membantu secara moril dan materiil gerakan RMS. Sehari setelah itu, Etti berkata lagi: "Yaah, pada pokoknya siapa saja yang akan membantu kami, kami akan terima". "Etti ini cara berpikirnya mengikuti Manusama", kata Eliza P. Rinsampessy, ketua dari Gerakan Pattimura. Menurut Eli, lahir di Timor, umur 2 tahun ke Belanda, kini usianya 8 tahun, ayah dari 2 orang anak dan beristeri Belanda grup-grup orang Maluku di Belanda ada 4 Bolongan Grup Manusama, di mana Ds. Metiary duduk sebagai ketua dari Badan Persatuan (merger beberapa partai orang Maluku di Belanda), masih mempunyai pengikut terbesar. Kemudian ada grup Tamaela yang mengangkat dirinya Presiden RMS dan menaikkan pangkatnya jadi jenderal. Menurut Manusama: "Pengikut Tamaela kian menipis. Karena dia terlalu banyak omong kosong. Dia bilang dalam tempo 2,3 bulan kita akan merdeka. Itu kan omong kosong". Sedangkan Ds. Metiary ada berkata: "Dia hanya pelesir saja ke New York. Lantas berpose di depan gedung PBB dan dia bilang lagi membawa masalah ini ke PBB. Tapi kalau dia mau kembali pada kita orang dan kita orang tidak tahu dia ada di mana, kita orang akan terima". Kemudian ada grup Evelyn Pasanea dengan pengikutnya sekitar 500 orang. Evelyn menamakan dirinya Front Pembebasan Maluku Selatan. Grup keempat adalah grup latent. Anara lain ada grup Brenda Risamenapatty, sekretaris Hendrik Owel, yang beberapa minggu yang lalu telah dipecat oleh Manusama ("karena dia bertindak atas nama RMS dengan caranya sendiri", menurut Manusama). Akan Eliza Rinsampessy sendiri "Gerakan Pattimura belum merupakan organisasi, baru movement saja". Jangan Berilusi Eli adalah mahasiswa yang kini menekuni persoalan inter-etnis dan interrasial pada Universitas Nijmegen. Katanya: "Ideologi RMS pada mulanya adalah gerakan menentang revolusi Indonesia, suatu kejadian kolonial yang mau mencoba policy cerai berai. Jadi janganlah berilusi tentang RMS ini". Pattimura mempunyai anggota sekitar 1000 orang. 80% terdiri dari kaum muda dan 10% adalah mereka yang mempunyai pendidikan universitas. Seminggu sekali mereka mengadakan diskusi dan menalnakan grupnya ini "kami lepas dari grup siapapun") sebagai "penelaah politik". "Saya ingin mereka ini belajar dulu baru berjoang. Segala sesuatunya harus dipikirkan secara procesmatig. Semuanya harus dilihat dari situasi dan posisi diri sendiri, dari pihak Belanda dan dari pihak Indonesia". Menurut pendapatnya, masalah Beilen dan Amsterdam mempunyai 2 hasil: "Pertama RMS mendapat publisitas luas. Kedua, ini adalah kegagalan Manusama untuk mengendalikan anak buahnya. Soal-soal begini tidak perlu terjadi kalau saja mereka ini memiliki kesadaran polilik. Dan RMS ini terlalu racist dan terlalu Kristen. Padahal mereka lupa bahwa di Maluku sendiri, pemeluk agama Islam lebih dari 50%". Jangan anda menyangka bahwa Eli pro-RI. Katanya lagi: "Tapi ada satu hal. Saya menentang pemerintahan Soeharto. Dia terlalu otoriter dan pemerintahannya adalah kemenangan dari neo-kolonialisme Soeharto sendiri". Golongan Eli adalah golongan muda yang tidak begitu memperhatikan keluarga Oranye. Biarpun mereka tidak merasakan peristiwa RMS, dongeng RMS ini dibawakan oleh orangtua mereka, sebagai latar belakang kulturil. Cita-cita "RMS" itu telah dibuang oleh Eli, dan ditukar dengan gagasan mendirikan federasi "Republik Indonesia Serikat" yang beraliran sosialistis. "Menurut saya perpecahan adalah biasa", kata Manusama, "tapi kalau seperti Rinsampessy itu bagaimana. Berjoang tapi tidak mau adanya suatu negara". Dan perpecahan bukan saja terjadi di antara individu-individu tersebut. Juga dalam gereja. Pengikut Gereja Protestan Maluku diperkirakan sekarang tinggal 12% saja, dibawah pimpinan Ds. Nohatu. Ketika para eks-KNlL tiba di negeri Belanda, ada sekitar 2% beragama Islam dan orang-orang yang berasal dari kepulauan Kei dan Tanimbar beragama Katolik. Kini hampir 75% turut dalam Gereja Injil Maluku, dengan ketuanya Ds. Pessulima. Metiary sendiri, walaupun kini tidak aktif lagi, adalah anggota GIM. "Dan GIM harus membiayai dirinya sendiri, karena subsidi Belanda sudah habis tahun 1974". Apakah perpecahan akan membawa mereka ke kemusnahan? Metiary menjawab: "Tujuan kami semua sama, hanya caranya lain". Seorang pengamat masalah RMS bahkan berkata: "Orang Ambon ini kalau terdesak mereka jadi bersatu". Seperti kata Paul Thenu (yang ikut dalam peristiwa Wassenaar), kini menjabat kepala Keamanan (KPK) "Aksi kami yang terakhir justru membakar semangat kami". Kacamata Indonesia Seperti juga kata editorial harian NRC 20 Desember: aksi RMS telah selesai, tapi harus ada episode baru bagi orang Maluku di negeri Belanda. Sekali ini hendaknya Parlemen jangan menganggap enteng masalah 'RMS'. Van Thijn dari Vrije Nederlands bahkan mencela BVD, itu James Bond-nya Belanda. Tulis van Thijn: "Sepuluh tahun yang lalu memang ada digantung gambar Yuliana di atas tempat perapian. Tapi sekarang yang mereka gantung adalah senjata uzi". "Repotnya informasi dari pihak mereka banyak sekali. Semua literatur yang ada di negeri Belanda terlalu menguntungkan RMS", kata Sutopo Yuwono lagi. "Juga harus diperhatikan soal pembangunan di Indonesia sendiri. Saya selalu menganjurkan agar daerah-daerah yang kritis politis (Irian Jaya, Maluku, Timor) -- bukan dikhususkan atau diistimewakan -- tapi harus mendapat perhatian lebih. Dalam segala hal, baik pembangunan maupun personilnya. Jadi kita ampuh untuk mendapat tantangan dari luar. RMS memang bukan soal nasional buat RI. Tapi jadi gangguan buat kita yang ada di luar negeri. Juga sikap kita yang ada di tanah air. Janganlah hendaknya orang-orang Maluku yang ada di negeri Belanda kalau datang ke daerah lantas dicap 'RMS'! Mereka memang RMS-achtig, tapi kita harus betulkan dengan cara yang baik. Jangan lantas dicurigai atau dituduh yang bukan-bukan. Indonesia ini dianggap hebat di luar negeri. Bisa mempersatukan sekian banyak ras. Tapi jangan lupa pandangan orang di luar negeri itu cukup skeptis dan selalu berkata: nanti pada suatu hari kan akan mreteli. Kembali ke soal RMS. Saya yakin pada suatu waktu nanti, antara Indonesia dan orang Maluku di sini bisa berdialog. Tapi tidak dalam konsesi atau tekanan apapun. Van der Stoel (Menteri Luarnegeri Belanda) sendiri berkali-kali bilang akan menjamin keselamatan kami di sini. Lha kita ini yang ada di sini. Terus disuruh mendelik dan meringis. Kan lama-lama cape".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus