Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Oom Anes, Kenapa Kau ?

Ir Manusama menuduh RI menahan dan mengadili pendu kungnya di maluku selatan, termasuk Johannes Souissa. surat dari Ambon dipakai sebagai bukti. Tapol di pulau buru dianggap tapol RMS di Ambon. (nas)

10 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA berita penyanderaan oleh pemuda-pemuda "RMS" masih merampas headline koran Belanda, ir. Manusama kembali melansir berita tentang penahanan "lebih dari 100 orang Maluku Selatan" di Indonesia. Seperti yang disiarkan oleh NRC-Handelsblad Nopember 1974 sampai kabar ke Belanda bahwa 16 orang ditahan di Maluku Selatan (Maluku Tengah). Sebagian kemudian dikenakan tahanar rumah saja. Kata Manusama, mereka dituduh "PKI" dan "RMS". Dengan tambahan bahwa tuduhan "komunis" itu tidak kena. "Tapi Jakarta memang punya kecenderungan mencap setiap orang yang dianggap subversif sebagai komunis", katanya lagi. Itu bukan berita satu-satunya tentang tuduhan Manusama itu. Sebab beberapa bulan sebelumnya, dalam mingguan Elsevier, 26 April 1975, sang "presiden" juga menunjukkan surat yang baru dikirim dari Ambon, tertanggal 8 Maret 1975. Isinya membeberkan 11 nama mereka yang ditahan di Ambon, dan ditandatangani oleh 2 orang pemimpin dari apa yang menamakan dirinya underground Forces of Republic of South Molluccas. Namanama yang disebutkan itu adalah Nurimarna, bekas "Menteri Kesra" RMS J. Souisa, pensiunan Mayor TNI/AU RI, Izaac Mahakena, "Kolonel RMS", Disera (pegawai negeri), Pasane (Letnan Polisi), Noija (letnan Polisi), Manuhutu (pegawai kesehatan), Marten Talakuan (pegawai logistik), seorang uru Sekolah Lanjutan bernama Tuhuulury, dan seorang pengajar injil bernama Berhitu. Keotentikan surat itu masih dapat diragukan. Namun pemuda "RMS" tampaknya yakin betul bahwa ada pendukung mereka di Indonesia--dan ditangkapi. Makanya dalam tuntutan para teroris di konsulat RI paling atas dicantumkan "pembebasan semua tahanan politik Maluku Selatan di kepulauan Maluku Selatan dan di seluruh Indonesia, di bawah pengawasan Amnesty International". Selanjutnya mereka menuntut kebebasan bicara tentang "RMS" bagi rakyat Maluku Selatan "di tanah air". Apa persisnya yang mereka ketahui tentang "penangkapan di Ambon" masih kabur. Menulut laporan wartawan Sinar h'ara/)an, Jossi Katoppo, seorang pelnuda "RMS" dalam obrolan dengan seorag sanderanya sempat menitipkan tuntutan agar para tapol "RMS" di pulau Buru (yang dulunya juga termasuk Residensi Maluku Selatan) juga dibebaskan. Lalu oleh sandera itu dijelaskan bahwa yang disekap dipulau Buru bukan pendukung-pendukung "RMS", melainkan tapol PKI golongan B. Namun salah informasi macam itu tak menanggalkan cerita tentang penangkapan di Ambon. Yang paling sering disebut-sebut adalah Johannes Souissa, atau "Oom Anes", Mayor Purnawirawan TNI/AU. Dikabarkan malah sudah divonnis 4' tahun oleh Pengadilan Negeri di Ambon atas tuduhan "subversi" khususnya berkenaan dengan usaha menghidupkan "RMS" lagi di Ambon. Entah benar atau tidak, sebab kata sebuah sumber: "Oom Ane$ tidak pernah ikut RMS, dari dulu dia ikut AURI, malah pernah jadi Komandan PAU Pattimura di Ambon". Seorang Maluku warga negara Belanda yang baru pulang dari Ambon juga membenarkan cerita itu. Malahan bersama dengan Mayor Souissa, masih ada beberapa orang Maluku lagi yang diadili. Sebagian lagi masih ditahan, menanti prosesnya selesai diperiksa oleh yang berwajib. Cari Duit Tapi betulkah Oom Anes, kini hampir 60 tahun, mau menghidupkan kembali "RMS" di Ambon? "Tidak betul", kata sumber TEMPO itu. Yang betul adalah bahwa dia dan kawan-kawannya berusaha mencari dana ke Negeri Belanda dengan mencatut nama "RMS". "Di Belanda kalau you bilang mau menghidupkan RMS, mudah sekali memperoleh dana. Baik dari pendukung-pendukung RMS seperti stichting Door de eeuwen trouw itu, maupun dari pimpinan RMS sendiri. Mereka 'kan punya kas dari hasil iuran dan usaha-usaha lainnya", tuturnya pada TEMPO. Mungkin bahan surat-menyurat ini jadi bukti tentang keterlibatan Oom Anes dan kawan-kawannya dalam "RMS". "Sebenarnya itu kurang taktis", komentar sumber TEMPO itu lebih lanjut. Sebab penahanan dan pengadilan itu sendiri di Negeri Belanda justru memberikan kesan bahwa ada "pendukung-pendukung RMS" di Ambon, yang perlu dibela dari kejauhan sana. Pendapat ini agak sejalan dengan fikiran Dubes Sutopo Yuwono ketika berkunjung ke Jakarta awal tahun lalu, untuk mencek situasi di sini. Beberapa waktu yang lalu, bisik-bisik soal penangkapan "kader-kader RMS" di Ambon memang reda. Tapi kini timbul lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus