Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menghadapi Terorisme Baru ?

Akibat peristiwa pembajakan, solidaritas rms makin kuat. antipati masyarakat belanda menjalar kewarga kulit berwarna lain. oknum rms menjalin hubungan dengan fretilin dan opm. (nas)

10 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUNGLAH bagi rakyat Belanda. Peristiwa penyanderaan oleh "RMS" di kereta api dan konsulat RI, akhirnya selesai sebelum Natal. Maka Pangeran Bernhard bersyukur bahwa "perayaan Natal ini dapat terlaksana dalam suasana yang lebih baik dari pada yang kita cemaskan semula". "Tapi tidak berarti segala pekerjaan sudah selesai. Membereskan buntut peristiwa pembajakan itu berarti setumpuk pekerjaan rumah. Memenuhi janjinya pada ketiga mediator, sebagai syarat pembebasan 25 sandera di konsulat RI, pemerintah Belanda minggu-minggu ini akan kongko-kongko dngan para pimpinan "RMS". Tidak ketinggalan wakil pemuda yang tergabung dalam Vrije Zuidmolukse Jongeren (Pemuda Maluku Selatan Merdeka), yang mendalangi kedua aksi pembajakan itu. Sedang wakil-wakil rakyat Belanda, sehabis reses diduga akan mengipas-ngipas lagi bara perdebatan tentang penanggulangan aksi-aksi bersenjata "RMS" yang sejak dulu hanya panas-panas tahi ayam saja (lihat box: Dari Mana "RMS" Bersenjata?). Sebelum penyanderaan di konsulat RI berhasil diakhiri, jurubicara Kementerian Kehakiman Nyonya Toos Faber sudah membeberkan skenario komplotan itu selengkap-lengkapnya. Menurut sumber-sumber Kehakiman, para aktivis Vrije Zuidmolukse Jongeren itu sebelumnya sudah 3 kali mengadakan rapat rahasia. Tanggal 15 Nopember di Haalderen dekat Nijmegen, 22 Nopember di Capelle a/d IJssel, dan 29 Nopember di Moordrecht. Rapat-rapat itu kabarnya juga dihadiri oleh ketua organisasi pemuda itu, Etti Aponno, dan menantu pendeta Metiari yang bernama Pessereron. Skenario pembajakan, disusun dalam dua tahap. Mula-mula direncanakan penyerangan sebuah sasaran milik Belanda. Kemudian sementara kelompok pembajak itu akan diperantarai oleh ir. Manusama (sesuai dengan tuntutan mereka), disusun dengan penyerangan sebuah sasaran Indonesia. Lantas kedua kelompok itu akan sama-sama menuntut pertemuan segitiga antara Belanda, Indonesia, dan Badan Persatuan "RMS" yang diketuai Metiari. Selesai tahap pertama, direncanakan penyerbuan perkampungan Maluku Selatan yang pro Indonesia di sekitar jalan Van Oldenbarneveldt di Apeldoorn. Namun rencana tahap kedua ini rupanya berantakan, karena kuatnya penjagaan polisi dan militer Belanda. Juga pertemuan segitiga antara Belanda, Indonesia dan "RMS" tidak tercapai berkat ketegasan Dubes RI Sutopo Yuwono menolak tuntutan itu. Ada pun pemerintah Belanda sendiri, meskipun berjanji akan berbicara dengan para pimpinan "RMS" dan Pemuda Maluku Selatan "Merdeka." pagi-pagi sudah menyatakan tidak akan memberikan konsesi politik apa-apa pada "RMS". "Tentu saja kita tahu bahwa orang-orang Maluku itu punya cita-cita politik, dan bahwa fakta itu sendiri membawa banyak problim. Kami malah sudah bersedia berbicara tentang problim-problim itu", kata PM Joop Den Uyl di depan siaran televisi swasta Katholieke Radio Omrop (KRO), selesai pembebasan sandera-sandera di konsulat RI. Namun dia menegaskan lagi, bahwa "saat ini mustahil kita berbicara bagaimana Negeri Belanda dapat membantu realisasi cita-cita itu. Itu tidak dapat, dan tidak boleh dilakukan oleh Nederland". Lantas, mengapa teroris-teroris itu akhirnya menyerah? Menurut sementara diplomat Barat di Jakarta, karena taktik no deal (menolak berunding, menolak pemberian konsesi) yang dengan teguh dipertahankan pemerintah RI dan Belanda. Di Negeri Belanda orang, menamakannya taktik "bertanding, betah-betahan", uitputtingstactiek. Menurut ahli hukum mr. F. Kuitenbrouwer yang mengupas untung-ruginya taktik itu dalam harian NRC-Hadelsblad, 17 Desember 1975, taktik itu sudah berhasil 3 kali di Inggeris, baru-baru ini. Yakni dalam pendudukan restoran Spaghetti House di London yang berakhir setelah 122 jam, penyanderaan usahawan Belanda Herrema, oleh gerilyawan IRA di Monasterevin yang dibebaskan setelah ditahan selama 36 hari (mengalahkan 'rekor' KJRI Amsterdam), dan penyanderaan orang-orang di jalan Balcombe, London selama 6 malam. Dengan taktik no-deal itu para teroris "RMS" di Beilen pun akhirnya menyerah, setelah kakus kereta api bumpet kehabisan air dan suhu musim dingin melorot ke bawah titik nol, tanpa alat pemanas di dalam kerea api. Kemudian ini diikuti pula oleh teroris-teroris di konsulat -- meskipun di sini jauh lebih nyaman kondisinya -- setelah Belanda menolak memberikan konsesi. Kendati demikian, para teroris tak berarti tanpa hasil. Tindakan teror adalah "ibarat pemain sulap, dia memancing anda memelototi tangan kanannya, sementara tangan kirinya yang luput dari perhatian -- sesungguhnya yang memainkan peranan". Begitu tulis David Fromkin, jaksa yang telah mendalami strategi para teroris dalam majalah Foreign Affairs, New York, Juli 1975. Jadi dalam perkara pembajakan kereta api dan konsulat Indonesia itu, mungkin saja ada tujuan lain yang terselip di balik tuntutan pemberian konsesi politik pada "RMS" yang tidak terkabul itu. Sebagaimana dicatat oleh wartawan Vry Nederland, 20 Desember yang lalu, sesudah peristiwa Beilen dan Amsterdam itu Manusama, yang dulunya lemah-lembut dan membenci kekerasan, tampak berubah 180 derajat. Dia jadi lebih ekstrim. Hal ini tentu saja satu langkah maju bagi Eti Aponno dkk, yang sebelumnya sulit sekali mendapat simpati dari sang "presiden". Dengan kata lain, akibat-peristiwa pembajakan itu, solidaritas dalam barisan "RMS" itu berhasil diperkental. Solidaritas ini juga sudah kelihatan, ketika ke-150 anggota Badan Persatuan yang mengadakan sidang darurat di Moordrecht tanggal 10 Desember yang lalu sepakat mendukung aksi pemuda-pemuda Maluku Selatan itu. Dan gara-gara pembunuhan 4 orang Belanda oleh teroris-teroris di Beilen itu, antipati masyarakat Belanda terhadap orang-orang Maluku di sana jadi berkobar. Meskipun ada seruan Kabinet Belanda, agar "tindakan beberapa oknum tidak melahirkan kebencian terhadap seluruh masyarakat Maluku Selatan", antipati itu sudah tidak dapat disembunyikan. Polisi Belanda makin sering menahan dan menggeledah orang-orang Ambon di tengah jalan. Penumpang kereta api semuanya pada diam kalau ada orang Ambon masuk, sebagai pertanda rasa curiga. Dan berabenya lagi, antipati itu menjalar pula ke masyarakat kulit berwarna lainnya, yang belakangan ini makin berjubel di Negeri Belanda dengan membanjirnya 125 ribu orang Suriname. Sampai-sampai satu orang kulit berwarna saking kesalnya berdemonstrasi seorang diri di depan hopbiro polisi di Rotterdam dengan poster di atas dadanya. Tertulis di situ: "Saya memang berwarna, tapi tidak berbahaya" (Wel gekleurd maar niet gevaarlijk). Antipati masyarakat Belanda terhadap orang-orang Maluku di sana mengenai juga pendukung-pendukung RI yang terhimpun dalam "Rukun Maluku". Ini mungkin pula memang dikehendaki oleh "RMS". Koalisi RMS-Fretilin? Masih untung pemerintah Belanda tidak mengabulkan permintaan pembajak kereta api yang minta pesawat terbang. Sebab menurut sinyalemen wartawan Antara di Negeri Belanda, pesawat yang diminta itu adalah untuk terbang ke Timor Timur, guna bergabung dengan Fretilin di sana. Sampai di mana kebenaran info itu, masih perlu diselidiki. Indonesia tidak mau mengambil risiko. Buru-buru ditandaskan pada pemerintah Belanda bahwa AURI akan menembak jatuh setiap pesawat terbang yang melintasi angkasa Indonesia dengan membawa teroris-teroris "RMS" itu. Berita Antara itu mungkin ada benarnya, sebab kontak antara "RMS" dengan Fretilin kabarnya memang sedang dibina. Menurut koran sosialis Vrij Nederland, kontak itu tadinya berusaha dibina oleh usahawan Belanda, yang berdwifungsi sebagai "duta keliling" RMS, Hendrik J. Owel dengan "menkeu" Fretilin Abilio Akayo di Lisabon. Namun Manusama kabarnya marah besar atas tindakan itu. Owel langsung dipecat di tempat dari jabatan "duta" itu. "Saya tidak mau bekerjasama dengan golongan kiri", begitu alasan Manusama. Meskipun sudah dipecat oleh Manusama, saudagar yang baru saja di-persona-non-grata-kan oleh pemerintah Belgia karena mengibarkan bendera "RMS" di sana itu masih punya simpatisan di lingkungan pemuda Maluku Selatan. Khususnya dari kelompok Pattimura, yang kabarnya juga mendukung perjuangan orang-orang Timor dan Papua yang anti-RI. Kelompok mahasiswa ini jadi terkenal karena publikasi mereka, Majalah Pattimura. Tapi jumlahnya kecil sekali -- maklumlah, kebanyakan anak Maluku di Belanda tidak mampu sekolali tinggi -- dan kurang populer dalam kelompok Aponno. Sementara itu, aksi "RMS" di Beilen dan Amsterdam itu telah memancing dukungan pula dari pelarian-pelarian "OPM" yang sebagian juga bermukim di Negeri, Belanda (TEMPO, 27 Desember 1975). Pada saat hangat-hangatnya berita pembajakan itu, "menlu/wakil presiden" Republik Papua Barat, Herman Womsiwor, meminta perantaraan Jamaica untuk membawa soal Maluku Selatan dan Papua Barat ke forum PBB. Langkah Womsiwor itu dikatakannya sebagai tagihan terhadap janji Jamaica, yan pernah menawarkan jasa-jasa baik mereka untuk mengadukan "nasib" orang-orang Maluku Selatan dan Papua Barat -- dan juga orang-orang Timor Timur, kalau perlu -- ke PBB. Seperti diketahui, negara Amerika Latin itu juga bersimpati dengan gerakan-gerakan kiri MPLA (Angola) dan Fretilin (Timor). Selain dukungan dari Jamaica, sayap OPM di Belanda itu juga punya wakil tetap di Dakar, ibukota Senegal dan memperoleh simpati pula dari sejumlah negara Afrika berbahasa Perancis, OCAM (Organisaion commune africaine et malgache). Hubungan itu dibina berkat perantara presiden Senegal, Sedar Senghor, yang menganggap pelarian-pelarian Irian yang hitam dan keriting itu serumpun dengan Negro Afrika. Memang mudah-mudahan tidak. Tapi akan berabe juga kalau ketiga kelompok yang anti-RI itu bersatu di luar negeri, kemudian bersama-sarna melancarkan aksi bersenjata yang ditujukan pada warga dan milik RI di luar negeri. Sementara Belanda belum juga menemukan pemecahan soal "RMS", Australia di masa mendatang bisa jadi ajang pelarian-pelarian Timor yang tidak mau masuk Indonesia. Akhir bulan lalu kantor berita Reuter baru saja menyiarkan rencana pengungsian besar-besaran orang-orang Timor, yang digagaskan oleh Australia-East Timor Association. Rencana itu, menurut Bill Roberts, ketua cabang Melbourne, dicetuskan menanggapi S.O.S dari tokoh Fretilin Alarico Fernandes di pedalaman Timor Timur. "Sudah 15 sampai 20 orang menyedialan kapalnya untuk membantu penungsian ala Dunkirk ini", ujarnya lagi. Dia sendiri belum begitu yakin ide itu bisa berhasil, menyadari ketatnya penjagaan kapal-kapal ALRI di perairan Timor. Tapi Fretilin mungkin akan tetap menggunakan Australia sebagai batu loncatannya dalam berkampanye mencari bantuan asing. Sementara tokoh mereka Alkatiri masih melobi Kremlin, panglima militer Fretilin Rogerio de Fatitna Lohato minggu lalu dijamu oleh Menlu RRT Chiao Kuan-hla di gedung Tien An Mien, Peking. Negara-negara sosialis kalau benar apa yang diberitakan oleh koran Vry Nederland memang sudah jadi tempat lobbying pendukung "RMS". Tahun lalu misalnya, delegasi "RMS" ada yang menghadiri pertemuan Himpunan-Himpunan PBB sedunia di Moskow. Delegasi itu dipimpin sendiri oleh Hendrik Owel, itu orang yang juga punya saham dalam pendekatan "RMS"-Fretilin. Apa hasil kunjungan itu, tidak dijelaskan oleh Owel. Hanya saja dia menyebutkan bahwa aktivis-aktivis "RMS' ada yang sedang "dilatih teknik sabotase di satu negara sosialis". Khusus berbicara tentang sepak terjang "RMS" di Negeri Belanda, ketua Rumpun Maluku Cornelis Wairata yang pro-RI berpendapat bahwa "pengaruh mereka sering terlalu dibesar-besarkan". Menurut guru bahasa Inggeris yang sudah 60 tahun umurnya itu, pendukung "RMS" yang potensiil paling barter hanya "5000 orang". Jadi hanya 15% dari seluruh masyarakat Maluku di Belanda yang berjumlah 34 ribu. Pendukung-pendukung "RMS" itu umumnya berasal dari kepulauan Ambon (Ambon, Haruku, Saparua, Nusa Laut). Orang-orang Maluku lainnya umumnya tidak mau tahu tentang "RMS". Malah tidak mau disebut "Zuidmolukker" (orang Maluku Selatan). "Celakanya", kata Wairata yang sudah 30 tahun di Negeri Belanda, "orang Belanda yang tidak tahu sejarah Maluku mengira bahwa semua orang Maluku di sana mendukung RMS". Lantas, bagaimana sebaiknya pemecahan soal Maluku Selatan di Belanda, menurut Wairata? "Pemerintah Belanda harus melaksanakan wibawanya sebagaimana layaknya pemerintah yang berdaulat", katanya pada TEMPO, di kamar hotelnya di Jakarta yang penuh buku-buku Repelita dan Pembangunan Maluku. Apa yang dimaksudkannya, boleh tebak sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus