Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setahun yang lalu, pada 11 Februari 2024, film dokumenter Dirty Vote dirilis di YouTube dan menarik perhatian publik menjelang Pemilu dan Piklpres 2024. Diproduksi oleh WatchDoc, film ini menyajikan analisis mendalam mengenai dugaan kecurangan Pemilu yang terjadi secara sistematis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Disutradarai oleh Dandhy Laksono, Dirty Vote bertujuan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024. Dokumenter ini menghadirkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar, yang mengulas berbagai indikasi kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu. Berikut adalah profil singkat para tokoh di balik film ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bivitri Susanti
Bivitri Susanti adalah pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera yang aktif dalam kajian hukum dan kebijakan. Bivitri meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia (1999) dan Master of Laws dari Universitas Warwick, Inggris (2002), dengan predikat with distinction melalui beasiswa The British Chevening Award.
Dikutip dari laman Jentera, sebagai akademisi dan praktisi, Bivitri berperan aktif dalam pembaruan hukum melalui perumusan kebijakan dan advokasi. Ia terlibat dalam Koalisi Konstitusi Baru (1999–2002), penyusunan Cetak Biru Pembaruan Peradilan, serta menjadi Tenaga Ahli untuk Tim Pembaruan Kejaksaan (2005–2007) dan Dewan Perwakilan Daerah (2007–2009). Selain itu, ia turut serta dalam advokasi berbagai undang-undang serta bekerja sebagai konsultan bagi berbagai organisasi internasional.
Feri Amsari
Feri Amsari dikenal sebagai aktivis hukum sekaligus akademisi di Indonesia. Saat ini, ia mengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, serta menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) di fakultas yang sama. Selain sebagai pengamat hukum tata negara, ia juga aktif menulis tentang berbagai topik, termasuk korupsi, hukum, politik, dan pemerintahan.
Dikutip dari laman jurnal.kpk.go.id, perjalanan akademiknya dimulai di Fakultas Hukum Universitas Andalas, di mana ia meraih gelar sarjana pada 2008, kemudian melanjutkan pendidikan magister di universitas yang sama dengan predikat cumlaude.
Ia juga menempuh studi magister di bidang perbandingan hukum Amerika dan Asia di William and Mary Law School, Virginia. Selain itu, Feri aktif dalam berbagai kompetisi, baik sebagai peserta maupun pelatih, dalam lomba karya tulis ilmiah, debat konstitusi, dan peradilan semu, dengan beberapa kali meraih juara, baik secara individu maupun tim.
Zainal Arifin Mochtar
Zainal Arifin Mochtar lahir di Makassar pada 8 Desember 1978. Ia meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2003, kemudian melanjutkan studi magister di Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat, dan memperoleh gelar Master of Law pada 2006. Pendidikan doktoralnya di bidang Ilmu Hukum diselesaikan di UGM pada 2012.
Zainal aktif dalam berbagai inisiatif antikorupsi, termasuk sebagai anggota Tim Task Force Penyusunan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (2007), Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM (2008–2017), serta anggota Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
Pada 2022, ia ditunjuk sebagai anggota Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan pada 2023, dipercaya sebagai Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan untuk periode 2023–2026.
Dandhy Laksono
Dandhy Dwi Laksono adalah seorang jurnalis yang telah bekerja di berbagai media cetak, radio, media daring, dan televisi. Ia juga menulis beberapa buku, seperti Indonesia for Sale dan Jurnalisme Investigasi. Namanya lebih dikenal sebagai pendiri Watchdoc, sebuah rumah produksi audiovisual yang ia dirikan bersama Andhy Panca Kurniawan pada 2011.
Dalam karya-karyanya bersama Watchdoc, Dandhy sering mengangkat isu lingkungan, salah satunya melalui film Sexy Killers. Seperti Dirty Vote, film ini dirilis pada masa tenang Pemilu 2019 dan mengungkap keterlibatan elite politik serta jenderal TNI dalam industri batu bara dan PLTU di Indonesia.
Selain sebagai jurnalis dan produser, ia juga dikenal sebagai aktivis vokal yang kerap menyuarakan isu sosial, termasuk melalui akun X pribadinya (@Dandy_Laksono). Ia aktif mengkritisi lambannya penyelesaian kasus aktivis HAM Munir serta sikap pemerintah Jokowi yang dinilainya kurang responsif terhadap perjuangan petani Kendeng, Jawa Timur.
Kakak Indra Purnama berkontribusi dalam penulisan artikel ini.