Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Abdullahi Ahmed An-Na’im: ”Tak Ada yang Bisa Memonopoli Tafsir”

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA jubah, tanpa kopiah, penampilan Prof. Abdullahi Ahmed AnNa’im, 56 tahun, seperti bintang Hollywood berkulit hitam. Rambutnya yang keriting kecil dipotong pendek. Baju berwarna biru dengan motif kotak-kotak membungkus tubuhnya. Padahal guru besar hukum di Universitas Emory, Atlanta, Amerika Serikat, ini juga seorang pemikir Islam. Ia rajin menggeluti syariat Islam. Dan bukunya, Dekonstruksi Syariah, terbitan LKiS Yogyakarta, cukup populer di Indonesia. Selama dua pekan lalu, cendekiawan asal Sudan itu berkunjung ke Indonesia atas undangan Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Berceramah di berbagai lembaga dan kampus secara maraton, penggemar musik jazz itu menyedot minat ratusan penggemarnya. Tokoh Partai Republik di Sudan ini tak menyukai kategorisasi pemikiran, misalnya fundamentalis atau liberal. ”Saya tidak mau dimasukkan dalam suatu kotak,” kata perombak syariat versi kaum literalis ini. Lewat Dekonstruksi Syariah, ia berupaya memperbarui pemahaman hukum Islam untuk konteks kekinian. Bagi Abdullahi, syariat merupakan penafsiran manusia terhadap kitab suci yang terbuka untuk direformasi. Selasa pekan lalu ia juga hadir di Teater Utan Kayu, Jakarta. Bersama Ulil Abshar-Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal, Abdullahi menjadi pembicara dalam diskusi ”Islam dan Sekularisme”. Wartawan TEMPO, Kelik M. Nugroho, mewawancarainya di tengah kesibukannya di Jakarta. Berikut ini petikannya. Bagaimana Anda memandang Islam radikal ala Imam Samudra, tersangka peledakan bom Bali? Yang problematik itu kekerasannya, bukan soal pendekatan radikal dalam pengertian konservatif. Itu soal cara pandang, dan setiap orang berhak mempunyai cara pandangnya. Yang penting, kita harus memberikan jaminan ruang untuk berdebat secara demokratis. Kalau ada pihak yang memaksakan pendapatnya pada pihak lain dengan cara kekerasan, itu yang jadi masalah. Imam Samudra memandang perbuatannya merupakan jihad. Apa yang salah dalam cara dia memahami Islam? Saya menolak perbuatan itu disebut jihad. Jihad dalam Islam menuntut beberapa hal, menyangkut siapa yang berhak menyatakannya, siapa yang menjadi obyek jihad, apa tujuannya, dan kepentingan apa yang bisa menjadi pembenar. Memerangi masyarakat yang tak berdosa, di luar kondisi perang, berseberangan dengan prinsip jihad seperti yang dirumuskan syariat Islam. Dalam konteks sejarah, jihad itu problematik karena ia mengandaikan suatu kondisi tanpa hukum. Saya kira kehidupan manusia seharusnya meninggalkan prinsip hukum rimba dan menuju rezim tertib hukum dan berperadaban. Apakah ada salah tafsir dalam hal ini? Ya. Penafsiran itu (jihad ala Imam Samudra) di luar konteks sejarah. Kalau kita menengok sejarah awal Islam, ayat tentang jihad itu muncul dalam masa dan lingkungan yang sangat dipenuhi kekerasan. Menerapkan konsep jihad pada masa awal Islam dalam kondisi sekarang jelas salah konteks. Bisakah penafsiran ala Imam Samudra dikategorikan pendekatan literal? Itu pendekatan literal yang sudah dipengaruhi gaya hidup dan pandangan hidupnya. Seperti Usamah bin Ladin, dia datang dari lingkungan otoritarian dan penuh kekerasan di Arab Saudi. Pandangan hidupnya terasah oleh pengalamannya. Itu tidak konstruktif, karena pandangannya didorong oleh rasa marah. Juga sikap arogansi, karena ia merasa ditunjuk Tuhan untuk menyelamatkan Islam dan umat muslim. Apakah kematangan pribadi seseorang mempengaruhi cara memahami Islam? Tentu. Penafsiran kita adalah proses keseluruhan diri kita. Semakin matang kita, semakin kita bisa lebih memahami suatu permasalahan secara lebih kompleks dan dengan cara yang lebih canggih. Di Indonesia, sedang ramai soal fatwa sebagian ulama yang menjatuhkan hukuman mati bagi Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal karena artikelnya di koran. Ada bolong metodologi dalam perbedaan pendapat mereka. Apa tanggapan Anda? Saya tidak cukup mengikuti perdebatan mereka. Yang penting, saya tekankan bahwa tak ada seorang pun yang bisa memonopoli tafsir. Tak ada orang yang mempunyai otoritas untuk menyatakan kekufuran orang lain. Ulil bisa salah atau benar. Juga ulama yang menyerangnya. Namun, yang pasti salah adalah bila seseorang mengeluarkan fatwa hukuman mati karena orang berbeda pendapat. Itu sangat berbahaya karena bisa mengundang orang, siapa pun, untuk membunuhnya. Saya kira itu bentuk kriminalitas yang layak dihukum. Saya kira pemerintah mesti menindak ulama itu secara tegas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus