Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada pendukung calon presiden di Kuala Lumpur yang mengarahkan pemilih.
Seorang caleg memakai atribut saat pencoblosan di Kuala Lumpur.
Partisipasi pemilih di Singapura turun.
JAKARTA – Siti Badriyah terus mengamati gerak-gerik seorang wanita yang berdiri di samping pagar pembatas antrean jalan menuju tempat pemungutan suara (TPS) di Gedung World Trade Center (WTC), Kuala Lumpur, Malaysia, Ahad kemarin. Anggota Migrant Care—lembaga non-pemerintah di bidang buruh migran—yang juga pemantau Pemilu 2024 di Kuala Lumpur itu curiga terhadap wanita berbaju cokelat tersebut. Sebab, wanita itu membujuk pemilih yang menuju ke TPS agar memilih calon presiden tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dia mengarahkan mendukung kandidat tertentu,” kata Siti Badriyah kepada Tempo, Ahad, 11 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siti merekam tindakan wanita berbaju cokelat tersebut. Ia juga melaporkannya ke Panitia Pengawas Pemilu Kuala Lumpur. Selanjutnya, Panitia Pengawas meminta perempuan itu pergi menjauh dari lokasi pemungutan suara. “Dia memanfaatkan membeludaknya jumlah pemilih di sini,” kata Siti.
Baca Juga:
Saat pencoblosan di Kuala Lumpur pada Ahad kemarin, ratusan ribu pekerja migran asal Indonesia mendatangi Gedung WTC. Pemungutan suara di Kuala Lumpur memang dipusatkan di gedung pusat konvensi dan pameran ini. Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur menyediakan 223 TPS di sini. TPS 01 hingga 139 berada di lantai empat WTC dan TPS 140 sampai 223 di lantai tiga gedung ini.
Total pemilih Pemilu 2024 di Kuala Lumpur mencapai 447.258 orang. Dari angka itu, separuhnya masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT). Lalu sekitar 200 ribu pemilih lainnya masuk Daftar Pemilih Khusus (DPK)—pemilih yang tak masuk DPT maupun Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) tapi memiliki identitas yang sah, seperti kartu tanda penduduk, surat keterangan penduduk, maupun paspor.
Tempat pemungutan suara (TPS) di World Trade Center (WTC), Kuala Lumpur, 11 Februari 2024. ANTARA/Virna Puspa Setyorini
Pemungutan suara calon presiden maupun calon anggota legislatif di luar negeri dimulai lebih dulu dibanding pencoblosan di dalam negeri. Sesuai dengan jadwal pemilihan, pemungutan suara di luar negeri sudah dimulai sejak 5 Februari lalu. Tapi sebagian besar Panitia Pemilihan Luar Negeri yang tersebar di 128 negara menjadwalkan pencoblosan pada Sabtu dan Ahad kemarin.
Total pemilih luar negeri sebanyak 1,75 juta, terbanyak berada di Malaysia. Pemilih di sini tersebar di Kuala Lumpur, Johor Baru, Kinabalu, Kuching, Penang, dan Tawau.
Di samping mencoblos di TPS, sebagian pemilih di luar negeri melakukan pemungutan suara lewat pos pemilu. Metode pencoblosan ini dimulai sejak 2 Januari lalu. Panitia pemilihan mengirim surat suara kepada pemilih lewat pos. Setelah surat suara dicoblos, pemilih memasukkan lagi surat suara itu ke dalam amplop tertutup. Lalu pemilih mengirimnya kembali ke panitia pemilihan.
Berdasarkan hasil pantauan Siti Badriyah di Kuala Lumpur, pemilih yang datang ke TPS lebih banyak yang berstatus DPK. Ratusan ribu pemilih yang terpusat di satu gedung ini juga mengakibatkan terjadinya antrean panjang ke lokasi pemungutan suara. Kerumunan ini tak seimbang dengan keberadaan panitia pemilihan dan pengawas pemilihan.
Kondisi itu membuat ada peserta pemilu yang leluasa berkampanye pada masa pencoblosan. Siti melihat seorang calon anggota DPR dengan menggunakan atribut kampanye berada di tengah kerumunan. Padahal tindakan calon legislator itu melanggar Undang-Undang Pemilu.
“Dia mengenakan baju kampanye dirinya yang juga ada gambar kandidat calon presiden dan calon wakil presiden pilihannya,” kata Siti.
Pemantau pemilu di Kuala Lumpur sekaligus Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan bahwa membeludaknya jumlah pemilih di Kuala Lumpur karena pemungutan suara dipusatkan di satu gedung. Kondisi ini berbeda dengan pencoblosan pada Pemilu 2019, yang disebar di empat lokasi. Akibatnya, “Panitia kewalahan mengaturnya,” kata Wahyu, kemarin.
Sesuai dengan pengamatan Wahyu, proses pencoblosan dimulai sejak pukul tujuh pagi waktu setempat. Pagi itu, pemilih sudah memadati area sekitar Gedung WTC. Tapi sebelum masuk ke dalam Gedung, pemilih harus mengecek namanya di DPT lebih dulu. Proses pengecekan dilakukan dengan cara mengakses QR Code yang terpasang di banyak tiang Gedung WTC. “Tapi masalahnya, banyak orang yang tak terdaftar di DPT,” kata Wahyu.
Ia mengatakan beberapa warga Indonesia yang datang ke Gedung WTC kebingungan karena tidak terdaftar di DPT. Padahal mereka terdaftar di DPT pada pemilu terdahulu. Ada juga warga Indonesia yang tak masuk DPT padahal sudah 10 tahun menetap di negeri jiran itu. Pemilih yang tak masuk DPT akhirnya menunjukkan KTP dan paspor yang dimiliki agar bisa masuk DPK.
Di samping itu, Wahyu juga melihat panitia menambah meja registrasi, dari 100 menjadi 400, untuk mengatasi membeludaknya jumlah pemilih. Panitia juga terhambat tidak stabilnya jaringan Internet di dalam gedung. Kondisi ini membuat proses registrasi pemilih terpaksa dilakukan secara manual, padahal panitia merencanakan pendaftaran lewat ponsel. “Saya ikut nyoblos juga jadi manual itu.”
Wahyu juga mendapati masih ada pemilih yang belum mencoblos hingga penutupan TPS pada pukul 18.00 waktu setempat. “Pemilih itu datang dan ingin mencoblos, tapi pintu gedung sudah ditutup,” kata dia.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, juga ikut memantau pemilu di Kuala Lumpur. Berdasarkan hasil pantauannya di sana, ia mendapati banyak WNI yang paspornya tidak terdaftar. Ada juga WNI yang terdaftar sebagai pemilih di TPS daerah asalnya di Indonesia. “Mereka belum mengubah tempat pemilihan,” kata Titi.
Menurut Titi, masalah data muncul karena penyelenggara kurang melakukan sosialisasi pemilu. Padahal urusan perbaruan data pemilih seharusnya tuntas sebelum pemungutan suara.
Titi juga mendapati sebagian pemilih tidak mendapat informasi yang memadai mengenai lokasi pencoblosan. Mereka sebenarnya sempat mengecek lokasi pencoblosan di Cek DPT Online, tapi tidak mendapat informasi di aplikasi pengecekan lokasi pemungutan suara milik KPU tersebut. Akibatnya, sebagian pemilih mendatangi gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan sekolah Indonesia di Kuala Lumpur, yang menjadi lokasi pencoblosan pada Pemilu 2019.
Sebagian panitia pemilihan, kata Titi, juga tak bisa menjelaskan alur registrasi kepada calon pemilih. Saat pemilih bertanya, panitia itu justru meminta pemilih bertanya kepada seniornya. “Pemilih itu batal menggunakan hak pilihnya.”
Ketua PPLN Kuala Lumpur, Umar Faruk, belum merespons upaya konfirmasi Tempo soal ini. Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengklaim proses pemilihan di luar negeri berjalan lancar.
“Alhamdulillah laporan menunjukkan pemungutan suara di luar negeri berjalan baik dan lancar, dan memang yang jadi concern itu Kuala Lumpur, kemudian Jeddah,” kata Hasyim, yang baru saja meninjau pemungutan suara di Kuala Lumpur, kemarin. Hasyim berjanji akan mengecek temuan pemantau pemilu tersebut.
Pencoblosan surat suara Pemilu 2024 bagi masyarakat Indonesia di Cape Town, Afrika Selatan, 4 Februari 2024. kemlu.go.id
Pencoblosan di Singapura
Suasana pemungutan suara di Kuala Lumpur berbeda dengan di Singapura. Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran, Savitri Wisnuwardhani, mengatakan partisipasi pemilih di Singapura cukup rendah dibanding pemilu terdahulu. Ia mendapati hanya 28 persen dari total 106.515 pemilih di Singapura yang mendatangi TPS hingga pukul 17.00 waktu setempat, Ahad kemarin.
“Partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 mencapai 40 persen,” kata Savitri.
Ia menduga partisipasi pemilih rendah karena jadwal pencoblosan bertepatan dengan tahun baru Imlek. Selain itu, sebagian pemilih baru mendapat undangan satu minggu sebelum pencoblosan.
Ketua PPLN Singapura Suryatmaning Hany Wijaya mengakui rendahnya partisipasi pemilih di sana karena bersamaan dengan perayaan Imlek. Sesuai dengan data PPLN, pemilih yang datang mencoblos ke TPS sebanyak 18.174 orang.
Manajer Pemantauan Seknas Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Aji Pangestu mengatakan proses pemilihan di luar negeri memang kompleks. Meski begitu, penyelenggara pemilu seharusnya mengantisipasi kendala itu sejak dini. “Kendala yang muncul itu akan menimbulkan banyak celah untuk melakukan kecurangan,” kata Aji.
HENDRIK YAPUTRA | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo