Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Akhir Perjalanan Sebuah Angkatan

Peringatan HUT ABRI ditandai dengan peralihan generasi kurang dari 10 perwira tinggi ABRI angkatan 45 yang masih aktif. Sejarah berdirinya ABRI, warisan yang ditinggalkan generasi penerus & Dwifungsi Abri.

5 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA ratus orang itu bergerak menari. Mereka terpilah dua: separuh mengenakan seragam Akabri, setengahnya lagi memakai pakaian gerilya. Sebuah buku besar berwarna hijau, setinggi sekitar empat meter, yang melambangkan Saptamarga, mereka panggul bersama. Di depan mereka, sebuah obor raksasa - melukiskan "api perjuangan ABRI" - juga dijunjung bersama. Ketika iringan itu sampai di depan panggung utama, kelompok gerilya menyerahkan kedua lambang itu kepada para taruna Akabri yang terdiri dari ketiga angkatan dan Polri. Dan wuushh .... api obor berkobar. Dentuman meriam terdengar berkali-kali. Lalu para penari menyanyikan lagu Maju tak Gentar seraya mengibarkan ratusan bendera merah putih. Adegan itu: menggambarkan peristiwa alih generasi dari Angkatan '45 ke generasi penerus, merupakan klimaks Pawai Lintasan Sejarah ABRI, yang merupakan bagian dari peringatan hari ulang tahun ABRI ke-40 yang diadakan di bekas lapangan udara Kemayoran pekan ini. "Alih generasi memang merupakan tema utama pawai lintasan sejarah itu," kata Bagong Kussudiardjo, sang koreografer. Dipilihnya tema alih generasi untuk pawai tersebut rasanya cocok. Dalam usianya yang 40 tahun ini, peralihan generasi dalam kepemimpinan ABRI memang sedang mendekati tahap terakhir. Saat ini, tinggal kurang dari sepuluh orang perwira tinggi ABRI Angkatan '45 yang masih aktif. Mereka, antara lain KSAD Jenderal Rudini dan komandan Seskoad Mayjen Theo Sumantri, dan Irjen AD Mayjen Sularso adalah jenderal aktif yang masih tersisa dari suatu generasi pertama yang melahirkan dan membentuk ABRI, yang kini lazim disebut "generasi pembebas". Proses regenerasi, seperti berkali-kali ditegaskan Presiden Soeharto, adalah proses yang wajar dan alamiah. Proses demikian dialami dalam segala zaman oleh setiap bangsa, dan terjadi di semua lapisan dan golongan masyarakat. Proses ini tidak berlangsung serentak. Dan kini setelah 40 tahun, tiba saatnya bagi generasi pertama TNI untuk mengakhiri tugas aktifnya. Empat puluh tahun yang silam, 5 Oktober 1945, Tentara Nasional Indonesia dilahirkan. Yang sebetulnya terjadi hari itu adalah ditandatanganinya sebuah maklumat pemerintah oleh Presiden Soekarno, yang isinya sangat pendek: "Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat". Beberapa hari kemudian, pemerintah mengeluarkan beberapa pengumuman dan penjelasan lebih lanjut mengenai TKR tersebut, termasuk pembentukan Kementerian Keamanan Rakyat. TKR tidak seperti badan-badan pemerintah iainnya, lahir dari sebuah proses panjang perbenturan antara pemerintah dan pemuda yang telah lama mempersenjatai diri. Hampir dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan, barulah pemerintah setuju untuk membentuk tentara. Ada dua alasan utama mengapa pemerintah enggan segera membentuk tentara segera setelah proklamasi kemerdekaan. Yang pertama, pada dasarnya sebagian besar pemimpin Indonesia saat itu - seperti Bung Karno dan Bung Hatta - lebih percaya pada cara diplomasi dibandingkan dengan perjuangan bersenjata. Keengganan itu juga diakibatkan oleh kekhawatiran sebagian pemimpin waktu itu, yang tidak ingin dituduh sebagai antek Jepang, hingga bisa diadili sebagai penjahat perang oleh pasukan Sekutu yang akan mendarat. Dengan menghindari pembentukan tentara, para pemimpin itu ingin menunjukkan bahwa mereka bukan kolaborator Jepang dan ingin mencapai kemerdekaan secara damai. Tapi para pemuda punya pandangan lain. Mereka, yang sebagian telah mendapat latihan militer oleh Jepang, merasa tidak pada tempatnya jika kemerdekaan Indonesia ditegakkan atas dasar kepercayaan Sekutu terhadap niat baik para pemimpin itu. Mereka juga yakin, di belakang Sekutu ada Belanda yang berniat menjajah kembali Indonesia. Para pemuda yang tidak sabar inilah yang segera mempersenjatai diri dengan merampas senjata milik Jepang yang telah jatuh moril akibat kekalahan mereka dalam perang. Para pemuda ini terdiri dari berbagai kelompok. Ada yang berasal dari organisasi yang terbentuk di zaman pendudukan Jepang seperti Barisan Pelopor dan Hizbullah. Ada mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran yang lebih dikenal sebagai kelompok Prapatan 10, seperti Eri Soedewo dan Soejono Martosewojo. Kelompok lain adalah pemuda Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31, seperti Chaerul Saleh dan Sukarni. Ada juga pemuda-pemuda lain, misalnya Adam Malik dan B.M. Diah, yang semula bekerja pada kantor berita Domei atau harian Asia Raya. Di samping mereka, terdapat banyak pemuda yang mendapat lebih banyak pendidikan militer. Yang menonjol adalah bekas anggota Peta, yang pada akhir pendudukan Jepang berjumlah 69 batalyon yang terdiri dari sekitar 37 ribu orang. Lalu ada bekas Heiho yang jumlahnya sekitar 25 ribu orang. Kemerdekaan diproklamasikan atas desakan para pemuda. Laskar dan pasukan bersenjata pun tumbuh di mana-mana. Pada 22 Agustus, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang, yang di dalamnya terdapat Badan Keamanan Rakyat (BKR). Belakangan, BKR ini diubah menjadi TKR. Para pemuda diimbau bergabung ke dalamnya. Banyak sekali bekas anggota Peta yang bergabung, dan menduduki jabatan pimpinan. Di antaranya adalah Sudirman, guru HIS di Cilacap yang kemudian menjabat sebagai daidancho (komandan batalyon) Peta dengan pangkat setingkat kapten. Seorang bekas chudancho (komandan kompi), Soeharto, 24, langsung bergabung ke dalam BKR di Yogyakarta setelah mendengar kemerdekaan diproklamasikan. Bekas anggota KNIL yang juga berpengalaman dalam Peta lainnya antara lain Achmad Yani, Gatot Subroto, dan Ibrahim Adjie. Bukan hanya bekas anggota Peta yang masuk ke dalam BKR dan kemudian TKR. Banyak sekali bekas anggota KNIL yang bergabung. Dari 15 perwira KNIL yang berkebangsaan Indonesia, 13 memutuskan untuk bergabung, termasuk perwira dengan pangkat tertinggi, Mayor Oerip Soemohardjo. Kemudian, para perwira bekas KNIL lulusan Akademi Militer Bandung inilah, di antaranya A.H. Nasution, Mokoginta, A. Kawilarang, dan T.B. Simatupang, yang berperan penting dalam menyusun organisasi TNI. Sebagian mereka, yang melanjutkan pendidikan di akademi militer di Breda, Belanda, juga bergabung, termasuk Didi Kartasasmita dan Suryadarma. Kedua kelompok inilah: bekas opsir Peta dan KNIL, yang kemudian menjadi pucuk pimpinan TNI yang pertama. Perbedaan tekanan latihan militer yang mereka terima, "semangat" dan "teknik" semula memang menimbulkan kesenjangan, tapi belakangan saling mengisi dalam tahun-tahun perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di samping dua kelompok besar tadi, sejumlah perwira berasal dari kesatuan tentara pelajar atau laskar yang tumbuh di mana-mana. Misalnya Mas Isman (Ja-Tim), Achmadi dan Suwarto (Ja-Teng), dan Solihin Gautama (Ja-Bar). Mereka inilah - yang ikut dalam revolusi fisik - yang kemudian dikenal sebagai generasi '45. Usia mereka umumnya sangat muda. Sudirman berusia 33 tahun tatkala ia dipilih sebagai panglima besar TKR pada 1946. A.H. Nasution berumur 27 tahun waktu ia terpilih sebagai panglima Divisi Siliwangi. Sedangkan T.B. Simatupang berusia 29 tahun tatkala ditunjuk sebagai Kepala Staf Angkatan Perang pada 1949. Soeharto sendiri berusia 29 tahun waktu ia, dengan pangkat letnan kolonel, diangkat sebagai komandan brigade, dan berumur 37 tahun ketika menjadi panglima Teritorium IV/Diponegoro. Dibanding para pemimpin tentara waktu itu, para pemimpin pemerintahan usianya jauh lebih tua. Presiden Soekarno, waktu 1945 berusia 44 tahun, sedangkan Hatta 43 tahun. Sjahrir, yang dianggap golongan muda, waktu itu berumur 36 tahun. Mungkin faktor umur juga turut berperan dalam menimbulkan perbedaan sikap dan pandangan tentara dengan politisi sipil. Tapi sejak semula TNI memang bersikap tidak terikat pada pemerintah sipil. Sikap bebas ini tecermin tatkala pada 12 November 1945 tentara se-Jawa dan Sumatera mengadakan pertemuan di Yogyakarta. Mereka bukan hanya memilih Sudirman sebagai panglima besar, tapi juga memilih Sultan Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan, suatu keputusan yang seharusnya diambil pemerintah. Perlu waktu lama sebelum Kabinet Sjahrir menerima pengangkatan Sudirman, tapi menolak penunjukan Hamengkubuwono IX dan kemudian menunjuk Amir Sjarifuddin sebagai menteri pertahanan. Hubungan antara tentara dan sipil, yang telah "rusak" akibat Peristiwa 3 Juli 1946 makin renggang setelah, pada 1948, Belanda menyerang Yogyakarta. Presiden Soekarno, Wapres Hatta, dan sejumlah menteri saat itu memilih "menyerah" pada Belanda ketimbang bergerilya di gunung seperti pernah dijanjikan Bung Karno. Ini, menurut pihak tentara, sangat bertentangan dengan amanat Sudirman yang kemudian menjadi pegangan TNI: "Percaya kepada kekuatan sendiri dan tidak mengenal menyerah". Tentara makin kesal tatkala mereka merasa bahwa pimpinan sipil terus berusaha menempatkan tentara di bawah kekuasaan sipil. Kurangnya peralatan militer memaksa TNI memilih taktik perang gerilya. Untuk itu tentara harus hidup dan menyatu bersama rakyat dan terlibat dalam pemerintahan sehari-hari. Di saat inilah lahir sistem pertahanan rakyat semesta dengan cara pembinaan wilayah, yang kemudian dijadikan salah satu doktrin TNI. Dalam periode inilah makin tumbuh keyakinan TNI: bahwa tentara bukan sekadar alat saja, tapi juga ikut bertanggung jawab terhadap percapaian tujuan-tujuan nasional, dan untuk itu tentara harus "ikut serta". Kelak keyakinan inilah yang melahirkan konsep dwifungsi. Periode perjuangan fisik ini, antara 1945 dan 1950, memang sangat mempengaruhi sikap dan doktrin TNI dikemudian hari. Pemerintahan gerilya selama delapan bulan ini merupakan "sekolah" bagi tentara untuk mengurus pemerintahan sambil bertempur. Bisa dikatakan, pengalaman memerintah inilah yang meyakinkan tentara bahwa mereka bisa mengatur negara setelah ditinggalkan politisi sipil. Seperti yang dikatakan Jenderal (pur.) A.H. Nasution, "Kami tidak punya satu konsep militer tertentu sejak semula. Tapi tantangan perjuangan di lapangan mendorong kami melahirkan dan mengembangkan, konsep tertentu dengan menghayati prinsip-prinsip dalam UUD 1945. Jadi, secara bertahap, sejak 1945 telah kami kembangkan sifat militer dan peran politik TNI." Perbedaan pandangan antara tentara dan sipil, antara siasat perjuangan fisik dan diplomasi, hingga kini masih membekas dan tecermin dalam pandangan militer terhadap sipil. Hingga ada yang menganggap saat ini keberhasilan perjuangan fisik lebih ditonjolkan dan menyepelekan siasat diplomasi. "Yang menentukan kemerdekaan bangsa Indonesia, di samping diplomasi, juga kekuatan fisik. Malah, menurut saya, kekuatan fisik itu lebih dominan, dan bukan kekuatan diplomasi," kata Letjen (pur.) Sayidiman, bekas dubes RI di Jepang. Dasar dan doktrin inilah yang kini diwariskan ABRI generasi '45 kepada penerusnya. Menurut Sayidiman, tugas Angkatan '45 adalah mengamankan proklamasi, menegakkan kemerdekaan, dan meletakkan landasan bagi kelanjutan negara Pancasila. "Untuk yang pertama dan kedua, Angkatan '45 telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Untuk yang ketiga, bagi Angkatan '45 yang ABRI - termasuk generasi penerus sudah bisa diandalkan, tapi Angkatan '45 yang sipil, yang nomor tiga itu belum kukuh," katanya. T.B. Simatupang juga menilai Angkatan '45 cukup berhasil dalam pengabdiannya. "Bagaimanapun negara ini sudah merdeka dan bersatu. Itu prestasi yang sangat besar: memerdekakan dan mempersatukan negara yang begini besar". Ia memilih istilah permobilan untuk membagi periode pengabdian angkatannya. "Kita sudah mempertahankan Pancasila dari 1945 hingga 1965, dan itu kita sebut persneling pertama. Persneling kedua: 20 tahun antara 1965 dan 1985 kita masuk pembangunan yang pertama. Dan sekarang kita menghadapi persneling ketiga. Dan di situlah terjadi alih generasi", ujarnya. Alih generasi ini, menurut Simatupang, tidak hanya soal alih kekuasaan dan tanggung jawab antara satu generasi ke generasi berikutnya. "Tapi sebenarnya mempersiapkan diri rnenghadapi persneling baru. Ini harus benar-benar disadari, sebab kalau tidak kita akan mengulangi persneling satu atau dua." Apakah dalam persneling baru ini peran tentara tetap sentral seperti sekarang? "Ya, tetap sentral untuk mendorong. Tapi semakin berhasil pembangunan itu, masyarakat semakin kuat dan tidak perlu lagi peran tentara itu dalam volumenya yang sekarang". Menyuarakan suara generasi penerus, Try Sutrisno menilai, selain sebagai pendobrak dan pembebas, Angkatan '45 juga telah berhasil meletakkan landasan ideologi dan politik. Diakuinya, kekurangan Angkatan '45 ada, tapi dimintanya agar tidak dilihat sebagai hal yang prinsipiil. "Apa pun jeleknya, itu orangtua kita. Bagaimanapun kita 'kan anaknya. Orangtua itu harus dibanggakan: mikul duwur, mendhem jero. Kita ini 'kan hasil mereka". Menurut Try, dwifungsi itu identitas ABRI, dan tidak akan berubah sepanjang masa. Tampaknya alih generasi ke generasi penerus ini akan berjalan mulus karena persiapannya tampaknya cukup matang. "Saya merasa mantap menyerahkan tugas ini kepada generasi berikut. Dan bila itu terjadi saya akan merasa lega. Kita sudah berhasii dengan aman, dan dengan mantap mengalihkan. Ini seperti perasaan seorang bapak ketika melihat anaknya menjadi orang", kata Jenderal Rudini. Susanto Pudjomartono Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus