SEORANG pria berjaket loreng dan pet tentara di kepalanya, naik
podium. Abdurrachman, mahasiswa tingkat doktoral Fakultas
Tarbiyah itu, bukan mau pidato. Tapi nyerobot di tengah suasana
pelantikan Rektor IAIN Sunan Kalijaga, 15 Juli, empat tahun yang
lalu, dia sempat berteriak: "Atas nama para mahasiswa, kami
minta pelantikan ini ditunda. Kalau tidak akan terjadi
pertumpahan darah dan air mata".
Darah memang tidak jadi tumpah. Namun pipi Kolonel (sekarang
Laksamana Pertama) drs. Bachrum Rangkuti, Sekjen Departemen
Agama, yang mewakili Menteri melantik drs. Haji Bakri Syahid
sebagai rekor di IAIN itu, basah juga oleh air mata. Sedih.
Suasana menjadi rusuh. Pelantikan batal. Mahasiswa memang ingin
agar pelantikan itu ditunda sampai selesainya sidang MPR 1973.
Tapi tak sampai sebulan sesudah peristiwa itu, 11 Agustus 1972,
pelantikan rektor untuk menggantikan Prof RHA. Sunarjo SH,
pejabat lama, berlangsung juga di Gedung Negara, bukan di kampus
IAIN Sunan Kalijaga.
Kerusuhan yang serupa, pernah juga terjadi di IAIN yang satu
ini, 13 tahun yang lalu. Para mahasiswa melakukan protes
terhadap pengangkatan Prof RHA. Sunarjo SH menjadi rektor baru
pada peristiwa 10 Oktober 1963 itu.
Dan 31 Juli kemarin, ketika Mukti Ali, Menteri Agama, melantik
Haji Zaini Dahlan MA menjadi rektor menggantikan Bakri Syahid,
peristiwa yang sama hampir berulang. Tidak sampai meletus
menjadi kerusuhan memang. Namun susasana upacara sempat tegang
juga. Tak kurang dari dua regu polisi berkeliaran di sekitar
Wisma Sejahtera, Kampus Barat IAIN, tempat berlangsungnya
pelantikan. Mahasiswa hanya diwakili oleh beberapa orang anggota
Dewan Mahasiswa. Sedangkan mahasiswa yang lainnya, nonton jauh
dari seberang, di balik pagar kawat berduri. Diam, tenang. Hanya
sesekali bertepuk riuh bila dianggap ada yang menarik. Misalnya
ketika iring-iringan mobil Menteri lewat.
Pelantikan itu akhirnya berjalan lancar. Corat-coret di
tembok-tembok seperti kejadian awal Juli kemarin, tidak ada
(TEMPO, 24 Juli). Tapi, plakat-plakat gelap pada hari pelantikan
nyaris tersebar bila fihak polisi Yogyakarta tidak cepat turun
tangan. Bahkan selebaran gelap, sempat beredar di kampus itu dua
hari sebelum pelantikan. Selebaran gelap itu menuduh tiga
pejabat teras Departemen Agama, termasuk Haji Zaini Dahlan MA,
sebagai orang yang menjadi sponsor terjadinya peristiwa 10
Oktober 1963. "Tiga belas tahun yang lalu mereka berontak atas
nama perkembangan dan pembinaan mutu IAIN, berontak atas nama
keadilan, atas nama aspirasi warga kampus dan umat Islam, atas
nama moral dan entah seribu satu atas nama lagi. Tetapi sekarang
mereka pula yang menteror keadilan. Mereka pula yang sekarang
sedang menata dominasi golongan dan birokrasi secara total dan
integral, mereka mengebiri demokrasi", tulis selebaran gelap
itu. Selanjutnya selebaran tertanggal 29 Juli 1976 dan mengatas
namakan Lembaga Penertiban IAIN Sunan Kalijaga itu sempat
mengancam: "Tuan-tuan di Departemen Agama, gara-gara tangan
kalian, segalanya selalu goncang dan memalukan. Nah, sekarang,
apakah perlu kami goncangkan secara total?"
Goncangan tidak terjadi. Bahkan Mukti Ali yakin, Haji Zaini
Dahlan MA, bisa membawa IAIN ke arah kemajuan. Karir Zaini
Dahlan memang mengajar, di samping saat ini masih menjabat
Kepala Kantor Wilayah Depag Jawa Barat. "Penugasan di IAIN ini",
kata Mukti Ali, "merupakan pengembalian beliau ke jalur karirnya
semula". Menteri Agama nampaknya memang tidak punya pilihan lain
untuk pejabat Rektor di IAIN yang mengidap dendam antar
golongan" yang turun temurun itu. "Haji Zaini Dahlan MA, adalah
orang yang tepat untuk memangku jabatan rektor ini" ujar Menteri
menegaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini