BAGAI jaring laba-laba tertiup angin, jaringan terorisme antarnegara mulai terurai sedikit demi sedikit. Selain peran Fathur Rahman Al-Ghozi tergambar lebih jelas, lama-lama keterlibatan Hambali?tersangka kasus bom Natal di Bandung pada 2000?dalam aksi teroris di Asia Tenggara pun terkuak.
Angin yang merobek jaringan teroris itu bertiup dari Singapura dan Manila. Aparat keamanan Singapura pekan lalu membeberkan adanya video yang kabarnya direkam oleh Jamaah Islamiyah, kelompok Islam yang dicurigai berkaitan dengan Al-Qaidah. Di dalam rekaman itu tampak gambar-gambar dermaga Sembawang, tempat armada angkatan laut Amerika Serikat parkir, pangkalan angkatan laut Changi, dan kapal-kapal perang yang parkir di tengah laut. Tempat-tempat ini di-sebut-sebut polisi sebagai sasaran serangan anggota Jamaah Islamiyah.
Dengan bukti rekaman itu, rencana serangan ke kedutaan Amerika Serikat di Singapura, Malaysia, dan Indonesia, seperti yang disebut dalam Dokumen Jibril tempo hari, seolah benar-benar ada. Dokumen ini berisi rencana peledakan tiga kedutaan Amerika oleh tiga tim anggota Jamaah Islamiyah dari Solo, Jawa Tengah, pada 4 Desember 2001. Kendati demikian, aparat Singapura tak menyebut sama se-kali soal Dokumen Jibril sewaktu mengumumkan penemuan video itu.
Jaringan terorisme juga mulai terlacak berkat pengakuan Fathur Rahman Al-Ghozi di depan penyidik Filipina. Pemuda asal Madiun, Jawa Timur, ini ditangkap polisi Manila karena memiliki tiga paspor Filipina dan dua paspor Indonesia pada 15 Januari silam. Polisi juga menyita barang bukti berupa satu ton bahan peledak dan 17 senapan M-16. Ghozi, yang telah empat kali diperiksa dan memberikan kesaksian di hadapan para penyelidik Manila, pada pemeriksaan terakhir pekan lalu membeberkan informasi baru dan penting.
Pemuda yang punya nama samaran "Mike" dan "Randy Ali" ini, kata polisi, mengaku mengenal dan bekerja sama dengan Hambali dan Faiz Abu Bakar Bafana. Mereka, menurut polisi, mengadakan pertemuan di Manila pada Desember 2000. Selain dicurigai polisi Indonesia terlibat dalam aksi peledakan bom Natal 2000, Hambali dicari-cari polisi Singapura dan Malaysia karena dituduh sebagai tokoh kunci Jamaah Islamiyah.
Di Malaysia, Hambali disebut-sebut se-bagai penyandang dana rencana pengeboman 12 pesawat terbang dan pembunuhan Paus John Paul II pada 1995. Masih menurut polisi, Hambali menjadi tuan rumah bagi dua orang pembajak dalam peristiwa 11 September dan seorang tersangka pengeboman kapal perusak Amerika, Cole, di Yaman. Sementara itu, di Singapura ia dituduh pernah mengirim anggota Jamaah Islamiyah yang direkrut untuk mengikuti pelatihan di kamp-kamp Al-Qaidah di Afganistan. Pekan lalu, polisi Indonesia meminta bantuan Interpol untuk menangkapnya karena ia diduga telah melarikan diri ke Pakistan.
Lalu, siapa Faiz Abu Bakar? Dia adalah tokoh Jamaah Islamiyah Singapura, sekaligus orang yang merekrut Ghozi ke dalam kelompok ini. Faiz ketahuan punya mata rantai di Singapura berdasarkan rekaman video dan sejumlah tulisan tangan yang berisi catatan tanya-jawab dalam bahasa Arab yang ditemukan di reruntuhan rumah pemimpin Al-Qaidah di Afganistan. Dia ditangkap setelah Amerika memberikan video tersebut kepada Singapura. Kini ia meringkuk di tahanan Singapura bersama 12 orang lainnya karena dituduh merencanakan pengeboman atas warga Amerika dan sejumlah instansi di negeri Goh Chok Tong itu.
Hambali dan Faiz telah diidentifikasi oleh intel-intel Asia Tenggara sebagai arsitek teror di sejumlah tempat. Keduanya dituduh terlibat dalam rencana pengeboman yang menewaskan belasan orang. Beberapa bentuk aktivitas mereka adalah pengeboman gereja dan perampokan bank untuk mendanai perang suci. Selain itu, mereka dituduh melakukan pembunuhan atas seorang politisi di Malaysia dan memobilisasi militan muslim untuk berjuang di pulau-pulau terpencil di Indonesia.
Pejabat Imigrasi Filipina, Andrea Domingo, mengungkapkan bahwa negaranya, Singapura, dan Malaysia sekarang telah mencium tujuan akhir terorisme di Asia Tenggara. Diduga mereka berencana mendirikan negara Islam bernama Darul Islamiyah Nusantara yang meliputi Malaysia, Indonesia, dan Filipina bagian selatan. Caranya adalah dengan menggoyang pemerintah di negara masing-masing lewat aksi teror. "Kami sedang memeriksa orang-orang yang terlibat dalam kelompok ini lewat pertukaran informasi intelijen dengan negara lain," kata Domingo.
Ghozi sendiri mengaku bahwa Hambali dan Faiz adalah penyandang dana serangan bom di stasiun kereta Metro Manila pada 30 Desember 2000, yang sering disebut Rizal Day Bombing. Ledakan ini menewaskan 14 orang dan melukai 100 orang yang tengah berkampanye menuntut mundur Presiden Joseph Estrada. Menurut polisi, pemuda Madiun ini bahkan mengakui bahwa dirinya sebetulnya mengetahui rencana pengeboman tersebut. Dia juga sempat berpesan kepada Mukhlis?tersangka utama kasus ini?agar tak meledakkan bom di tempat yang ramai demi mengurangi jumlah korban.
Selama ini, kata polisi Manila, Ghozi dan kawan-kawannya di Jamaah Islamiyah telah menjadikan Filipina sebagai tempat belanja bahan peledak yang murah dan aman. Bahan peledak itu lalu mereka kirim ke Singapura melalui Manado, Sulawesi Utara.
Pengakuan Ghozi terbaru itu berbeda dengan apa yang dinyatakan sebelumnya. Pada pemeriksaan terdahulu, ia memang mengakui tiga dakwaan yang ditudingkan kepada dirinya: pemalsuan paspor, pemilikan bahan peledak secara tidak sah, dan keterlibatan tak langsung dalam peristiwa pengeboman kereta api di Metro Manila. Ia mengaku tidak terlibat langsung karena hanya membantu memberikan uang untuk membeli bom. Mengenai waktu dan sasaran, ia mengaku tak tahu-menahu.
Mengapa Ghozi memberikan pengakuan baru? Rupanya, polisi menemukan bukti baru pula. Salah satunya hasil pembicaraan telepon genggam antara Ghozi dan Mukhlis. Dihadapkan dengan bukti semacam itu, ia tak bisa mengelak. Akhirnya, ia pun mengaku mengetahui bahwa bom yang dibeli dengan uang tersebut akan dipakai untuk melakukan pengeboman di Manila. Jadilah dakwaan terhadap Ghozi diralat lagi. Ia dianggap terlibat langsung. Jaksa penuntut di Manila merumuskannya sebagai mastermind atau perencana.
Bukti-bukti baru dari Imigrasi Filipina juga menunjukkan bahwa Faiz dan Hambali pernah ke Manila pada bulan Desember sebelum terjadi Rizal Day Bombing. Berdasarkan bukti-bukti baru, Ghozi kembali diinterogasi. Tak bisa mengelak, ia kemudian mengaku bahwa Hambali dan Faiz Abu Bakar memang benar datang ke Manila. Ia bahkan mengaku menjemput mereka di bandar udara. Padahal dulu Ghozi mengaku sama sekali tak kenal dengan Hambali. Bahkan, ketika Komisaris Besar Pranowo, anggota tim Markas Besar Kepolisian RI yang menemui Ghozi di Manila beberapa waktu silam, menunjukkan foto Hambali, Ghozi menggelengkan kepala. Dia juga mengaku tak pernah bertemu. Ternyata dia telah berbohong.
Tapi benarkah Ghozi, Hambali, dan Faiz terlibat dalam serangkaian teror di Asia Tenggara? Belum tentu. Apalagi sejauh ini pers belum bisa mewawancarai Ghozi dan Faiz secara langsung. Semua keterangan yang disebar ke media selalu berdasarkan penjelasan aparat di Manila ataupun Singapura. Peran mereka akan lebih tergambar secara obyektif setelah mereka digiring di meja hijau.
Mengaitkan aksi mereka dengan jaringan Al-Qaidah pun masih agak sulit. Soalnya, Hambali, yang dituduh pernah berhubungan dengan pembajak pesawat dalam peristiwa 11 September, belum tertangkap.
Hanya, tiupan angin dari Singapura dan Manila agaknya belum akan berhenti. Siapa tahu masih ada lagi simpul-simpul jaringan teroris yang segera terurai.
Wicaksono, Gita W. Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini