DENGAN langkah ringan, Senin siang pekan lalu, Agus Budiman memasuki ruang 601 Pengadilan Distrik Wilayah Timur Alexandria. Banyak yang berubah dari dirinya. Dibungkus pakaian tahanan berwarna hijau, pria berkacamata ini terlihat lebih gemuk daripada ketika tampil di sidang-sidang sebelumnya. Kali ini ia juga tampak lebih tenang menghadapi sidang di wilayah Virginia, Amerika Serikat itu. Agus bahkan sempat melempar senyum ke sekitar 40 orang pengunjung, 15 di antaranya warga Indonesia yang terdiri dari wartawan, pegawai Kedutaan Besar Republik Indonesia, dan beberapa simpatisan.
Pemuda berusia 31 tahun itu adalah putra tertua dari lima bersaudara pasangan Abron Ishak A.A. dan Nyonya Fatimah Abron, warga Tanjungduren, Jakarta Barat. Peraih gelar diploma ing. dari Jurusan Arsitektur Fachhoschule, Hamburg, ini diciduk aparat keamanan Amerika pada November 2001. Ia lalu diadili dengan tuduhan pelanggaran masa tinggal (overstay) dan izin kerja.
Agus juga menghadapi tuduhan berat: terlibat terorisme. Ini gara-gara ia pernah meminjamkan alamat rumahnya di Virginia kepada Muhammad bin Nasser Belfas untuk pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) palsu. Belfas adalah orang yang disebut oleh pemerintah Amerika sebagai kaki tangan Usamah bin Ladin, tertuduh utama serangan teroris ke menara kembar World Trade Center dan Pentagon pada 11 September 2001. Kalau tuduhan itu terbukti, hukumannya amat berat. Bahkan sejumlah terdakwa kasus terorisme di Amerika pernah dihukum mati. Di sidang itulah, tuduhan yang kedua ini bakal dipertimbangkan lagi.
Sempat mundur dari rencana semula yang dijadwalkan pukul 09.00 waktu setempat, sidang akhirnya dibuka tepat pukul 14.00. Tak lama setelah sidang digelar, Hakim Gerald Bruce Lee menjelaskan bahwa hari itu terdakwa akan mengaku bersalah (plea guilty). Ia mengetahui hal ini dari plea agreement (surat perjanjian antara penuntut dan yang dituntut) yang diterimanya sebelum sidang.
Hakim Lee kemudian bertanya apakah Agus sudah yakin dan tidak dalam keadaan terpaksa untuk menyatakan bersalah membantu pembuatan KTP palsu. Ia juga mengulang beberapa bagian penting dari dokumen plea agreement dan memastikan terdakwa memahami semua konsekuensinya. "Apakah Anda sudah mendiskusikan keputusan mengaku bersalah ini dengan pembela?" tanyanya. Agus, yang didampingi penerjemah, mengangguk, mengiyakan bahwa keputusannya untuk plea guilty telah didiskusikan terlebih dahulu.
Barulah setelah itu Hakim Lee mengajukan pertanyaan kunci, apakah Agus menyatakan diri bersalah atau tidak. Agus langsung menjawab singkat, "Bersalah"! Jarum jam di dinding menunjuk angka 14.35 waktu setempat.
Dengan mengaku bersalah, ada kemungkinan Agus akan mendapat hukuman yang lebih ringan daripada ancaman ganjaran maksimal 15 tahun. Selain itu, ia terbebas dari tuntutan yang lebih berat: terlibat terorisme. Tapi konsekuensinya, Agus tidak bisa bersaksi dan menghadirkan saksi, sekaligus kehilangan haknya untuk diadili oleh juri.
Setelah membeberkan semua konsekuensi yang ditanggung Agus, Hakim Lee mengetukkan palu tanda sidang berakhir. Sidang akan dilanjutkan pada 26 April nanti. Pada sidang terakhir ini hakim akan memutuskan berapa lama hukuman yang diterima terdakwa.
Ada kemungkinan, Agus akan dihukum sesuai dengan masa penahanan. Sampai akhir April nanti, masa penahanan terdakwa mencapai enam bulan. Jadi, ia bisa dihukum cuma enam bulan penjara alias langsung bebas karena dipotong masa penahanan. Inilah yang diharapkan oleh William Moffit, pengacara Agus. Hanya, sejauh ini belum tercapai ke-sepakatan dengan jaksa penuntut. Menurut Moffit, jaksa tetap menginginkan agar terdakwa dijatuhi hukuman 6-12 bulan.
Yang jelas, jika nanti hakim menjatuhkan hukuman yang lebih lama dari yang diper-kirakan atau dari masa penahanan, Agus tidak bisa berbuat apa-apa. Selain tidak boleh mencabut pernyataan bersalah, ia juga tak punya hak naik banding.
Satu lagi kesepakatan yang sudah disetujui terdakwa. Setelah menjalani hukuman, ia harus rela dideportasi oleh INS (bagian imigrasi AS) karena pelanggaran masa tinggal. Jadi, orang tua Agus di Tanjungduren, Jakarta Barat, mesti bersiap-siap menyambutnya.
Wicaksono, Ahmad Fuadi (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini