Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kantor Perwakilan Papua, Frits Ramandey, menyambut baik rencana Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti atau pengampunan terhadap tahanan politik di Papua. Tahanan politik itu adalah mereka yang diduga terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau kelompok bersenjata di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frits berpendapat, secara prinsip langkah pemerintah tersebut cukup baik untuk membangun dialog dengan kelompok bersenjata. Pemberian amnesti itu dapat menjadi modala untuk menjajakan usulan dialog kemanusiaan di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya melihat ini sebagai sebuah metode membangun dialog dengan masyarakat Papua secara berjenjang,” kata Frits, Senin, 27 Januari 2025.
Ia mengatakan Komnas HAM Papua belum berkomunikasi lagi dengan kelompok bersenjata mengenai rencana dialog tersebut. Namun Komnas HAM Papua pernah membahas agenda dialog kemanusiaan itu dengan kelompok bersenjata di Papua. “Ini bagian dari dialog kemanusiaan yang terus kami mau bangun,” kata dia.
Frits juga mengakui adanya perbedaan pendapat di antara berbagai faksi kelompok bersenjata di Papua mengenai usulan dialog kemanusiaan tersebut. Tapi ia menegaskan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk mengupayakan proses dialog yang lebih konstruktif. “Sebuah proses dialog untuk mengakhiri konflik,” katanya.
Komnas HAM Papua tidak menjamin kelompok bersenjata di Papua akan bersedia berdialog dengan adanya pemberian amnesti tersebut. Tapi Frits menilai langkah pemerintah ini menjadi landasan untuk menjajaki agenda dialog kemanusiaan di sana.
“Karena itu kami memberi dukungan dan bersedia membantu Presiden Prabowo untuk memitigasi proses ini,” kata Frits.
Agenda pemerintahan Prabowo memberi amnesti kepada narapida politik yang terlibat kelompok bersenjata di Papua disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra. Yusril menyampaikannya dalam pertemuan dengan delegasi pemerintah Kerajaan Inggris yang dipimpin oleh Catherine West MP (Parliamentary Under-Secretary of State at the Foreign, Commonwealth and Development Office) dan Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Dominic Jermey di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Jakarta Selatan pada 20 Januari 2025. Yusril mengatakan pemerintah Indonesia akan menggunakan pendekatan berbeda dalam menyelesaian konflik di Papua, di antaranya pemberian amnesti.
Dalam diskusi tersebut, Dominic Jermey menanyakan keputusan pemerintah Prabowo terhadap penyelesaian konflik di Papua. Sebab, pertanyaan tersebut kerap muncul di Parlemen Inggris. Mereka menanyakan apakah kasus-kasus kekerasan di Papua diselesaikan lewat pengadilan umum atau pengadilan HAM.
Yusril menjelaskan, selama ini penyelesaian kasus-kasus kekerasan di Papua melalui pengadilan umum. Ia mengatakan lembaganya masih mendiskusikan dengan Presiden Prabowo ihwal pendekatan baru dalam menangani konflik Papua.
"Yang jelas Pemerintah Presiden Prabowo akan lebih mengedepankan hukum dan HAM dalam menyelesaikan setiap permasalahan di Papua,” kata Yusril.
Yusril menambahkan, Presiden Prabowo juga sedang mempertimbangkan untuk memberikan amnesti kepada orang-orang yang terlibat kelompok kekerasan bersenjata di Papua. Kementerian Hukum sedang mendata orang-orang yang dapat diberikan amnesti tersebut.
"Pada dasarnya Presiden Prabowo sudah setuju untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dalam konflik di Papua dan menyelesaikan masalah di sana secara damai dengan mengedepankan hukum dan HAM," kata Yusril.
Aktivis perdamaian asal Finlandia, Juha Christensen, sudah menawarkan diri menjadi mediator dialog antara pemerintah Indonesia dan kelompok-kelompok di Papua. Tapi Yusril menegaskan bahwa pemerintah belum membutuhkan mediator perundingan damai di Papua.
Pilihan Editor : Bara di Papua Makin Membara