Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, Papua, Feki Wilson Mobalen mencatat sejumlah kasus perampasan atau peralihan wilayah adat yang proses perizinannya tak sesuai Undang-Undang. Ia menduga adanya tindakan koruptif dari korporasi untuk keperluan investasi yang tidak transparan, partisipatif, dan tak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia maupun lingkungan hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Feki mengimbau pemerintah perlu mengevaluasi perusahaan yang diduga terlibat melanggar izin. "Keberadaan izin-izin perusahaan tersebut harus dievaluasi melalui tindakan administratif oleh pemerintah, dan badan legislatif secara terukur untuk melindungi, memenuhi, dan memajukan HAM dan lingkungan," ujarnya saat dihubungi Tempo, Jumat, 7 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMAN mencatat terjadi kasus pelanggaran hak masyarakat adat yang dilakukan oleh korporasi di Papua, yakni terhadap Suku Moi di Sorong, Distrik Konda dan Marga Marga Woro dan Awe, Suku Awyu. Ada juga dugaan pelanggaran adat bagi Suku Malind di Papua Selatan, Kabupaten Merauke serta di Lembah Grime Nawa.
Berdasarkan catatan tersebut, AMAN mengimbau agar pemerintah mengevaluasi seluruh perizinan yang telah melanggar hukum, baik hukum adat maupun hukum formal. Pemerintah dapat melakukan tindakan administrasi berupa menghentikan dan atau mencabut seluruh tingkatan perizinan.
"Pemerintah juga harus menindaklanjuti melalui tindakan administratif terukur dan berkeadilan dengan mengeluarkan wilayah adat masyarakat adat Papua yang masuk dalam konsesi," kata Felki.
Ia berharap pemerintah dapat memberikan pengakuan hak kepada masyarakat adat atas tanah dan hutan adatnya sesuai undang-undang yang berlaku. Baik pemerintah pusat dan DPR, kata Felki, seharusnya mampu menjalankan amanah tersebut.
Selain itu, kementerian dan lembaga negara terkait dapat mempercapat penetapan atau pengukuhan wilayah masyarakat adat, baik tanah dan hutan adat mereka. "Percepatan penetapan ini merupakan tindakan konstitusional yang wajib dilakukan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial serta pemenuhan hak asasi manusia dan lingkungan," ucap Felki.