Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Amnesty International Indonesia Desak Pemerintah Akhiri Pelanggaran HAM di Papua

Mahkamah Rakyat Permanen menyatakan, bahwa Indonesia telah secara paksa mengambil tanah adat Papua.

1 Juli 2024 | 06.46 WIB

Aktivis pro demokrasi Usman Hamid saat berorasi dalam Aksi Sejagad yang diikuti elemen gerakan Gejayan Memanggil hingga Forum Cik Ditiro di halaman Kantor KPU DIY Rabu, 24 April 2024. Tempo/Pribadi Wicaksono
Perbesar
Aktivis pro demokrasi Usman Hamid saat berorasi dalam Aksi Sejagad yang diikuti elemen gerakan Gejayan Memanggil hingga Forum Cik Ditiro di halaman Kantor KPU DIY Rabu, 24 April 2024. Tempo/Pribadi Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menilai, pemerintah Indonesia terus-menerus gagal mengakhiri konflik di Papua yang menyebabkan kematian pada warga sipil. Pernyataan itu merespons hasil peradilan Mahkamah Rakyat Permanen di London yang membahas pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan di Tanah Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sudah saatnya komunitas internasional untuk kian mendesak pihak berwenang Indonesia agar mengakhiri kekerasan yang telah berlangsung lama di sana (Papua)," kata Usman dalam keterangannya, dikutip Senin, 1 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Usman mengatakan pernyataan Mahkamah Rakyat Permanen itu telah mencerminkan perkembangan situasi buruk di Papua. Dia menyebut, semestinya pemerintah mengevaluasi operasi militer dan kegiatan bisnis yang dilakukan aktor korporat, demi memastikan pemulihan dan perlindungan hak asasi manusia atau HAM di Papua.

Usman mengapresiasi adanya pengadilan Mahkamah Rakyat Permanen atas kekerasan dan kerusakan lingkungan di Papua. Ia mengungkapkan, Mahkamah ini menjadi awalan yang baik untuk membuka jalan menuju keadilan di Papua.

"Kami berharap ini menjadi kesempatan bagi komunitas internasional untuk berdiri dalam solidaritas dengan rakyat Papua, mengakui penderitaan, dan mendukung perjuangan mereka (masyarakat Papua) untuk hak asasi manusia," ucap Usman.

Menurut dia, adanya inisiatif untuk mengumpulkan dan mencatat informasi dari pelbagai sumber tentang pelanggaran HAM di Papua, serta menempatkan itu ke catatan publik dapat meningkatkan kesadaran publik ihwal dugaan pelanggaran HAM tersebut. Namun, ia menilai inisiatif tersebut sebenarnya tidak bisa menggantikan proses investigasi yang benar, dan proses akuntabilitas yang layak.

"Amnesty Internasional Indonesia tetap menyerukan agar Indonesia mematuhi kewajibannya untuk memastikan adanya investigasi yang independen, imparsial, menyeluruh, dan efektif," ujarnya. Ia mengatakan, bahwa investigasi itu diperlukan supaya para pelaku yang ditengarai melakukan pelanggaran HAM di Papua bisa dibawa ke pengadilan.

Sebelumnya, Mahkamah Rakyat Permanen menggelar pengadilan atas kekerasan negara dan lingkungan Papua pada 27 sampai 29 Juni 2024 di Queen Mary University of London, Inggris. Adapun panel ahli mahkamah rakyat ini berasal dari berbagai negara, di antaranya Almeida Cravo dari Portugal, Donna Andrews dari Afrika Selatan, Daniel Feirestein dari Argentina, Larry Lohmann asal Inggris, serta tiga orang lain.

Dalam sidang tersebut, para panel ahli telah mendengar dan melihat pernyataan maupun bukti dari sejumlah pihak seperti lembaga swadaya masyarakat internasional, organisasi masyarakat sipil lokal, hingga kesaksian dari individu yang melihat terjadinya pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan di Papua.

Mahkamah Rakyat Permanen menyatakan, bahwa Indonesia telah secara paksa mengambil tanah adat Papua. Perampasan itu dilakukan lewat diskriminasi rasial, yang mengarah kepada penghilangan budaya dan penindasan keras. Termasuk pembunuhan di luar hukum, penahanan sewenang-wenang, pengusiran, dan degradasi kualitas lingkungan. 

Lewat peradilan ini, Mahkamah Rakyat mendesak supaya Persatuan Bangsa-bangsa atau PBB dan komunitas internasional lainnya segera bertindak menanggapi situasi di Papua.

Adapun berdasarkan catatan Amnesty Internasional Indonesia, masyarakat adat Papua telah menderita akibat operasi militer yang mengakibatkan pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan pelanggaran HAM lain, yang dilakukan kelompok bersenjata. Baik dari pihak negara maupun non-negara.

Sejak Januari 2018 hingga Juni 2024, tercatat ada 128 kasus pembunuhan di luar hukum dengan jumlah korban sipil yang meninggal sebanyak 236 orang. Pembunuhan dilakukan oleh pasukan keamanan, sebanyak 81 kasus yang merenggut 131 nyawa sipil. Sementara dari kelompok bersenjata pro-kemerdekaan, tercatat ada 47 kasus pembunuhan terhadap 105 warga sipil.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus