Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MURID-murid sekolah menengah kini sedang dihantui angka empat. Mereka berlomba menghabiskan waktu dan menguras uang untuk angka itu. Kok, angka empat jadi hantu?
Gara-garanya, Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fadjar, menetapkan angka 4,01 sebagai batas kelulusan dalam ujian akhir nasional (UAN). Batasan nilai itu untuk mata pelajaran matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. UAN untuk sekolah lanjutan tingkat atas akan berlangsung pekan depan, sedangkan buat sekolah menengah pertama dimulai dua pekan berikutnya. Surat keputusan yang diteken Oktober lalu itu berlaku untuk semua sekolah lanjutan dan kejuruan, baik negeri maupun swasta.
Nilai empat memang konservatif, tapi bukan berarti mudah. Bukti nyata terlihat pada hasil ujian nasional tahun lalu dengan nilai minimal hanya 3,01. Saat itu, dari sekitar 2 juta siswa, tingkat kegagalan secara nasional hampir mencapai 10 persen. Ah, kecil itu.
Nanti dulu. Soalnya, angka tersebut tidak merata di semua daerah. Dari enam provinsi di Pulau Jawa, tingkat kegagalan memang hanya 1-3 persen. Namun, di Sumatera Barat, angka ketidaklulusan untuk sekolah lanjutan umum mencapai 30 persen. Untuk sekolah menengah kejuruan, angka kegagalan tertinggi terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang mencapai 45 persen. Tidak kecil, bukan? Apalagi di daerah-daerah konflik.
Nah, jika tahun ini batas kelulusan didongkrak menjadi 4,01, tingkat kegagalan untuk tingkat nasional dari 3 juta siswa diyakini bakal membengkak hingga 25 persenbahkan lebih. Inilah yang membuat kalang-kabut sekolah, guru, murid, dan orang tua murid. Proses bel-ajar-mengajar akhirnya terganggu.
Seperti dialami Lisma, murid kelas 3 SLTA Karya Sejati di Palembang, Sumatera Selatan. Beberapa bulan terakhir, dia menghabiskan sebagian besar waktunya memelototi tiga mata pelajaran yang di-UAN-kan. Setiap hari dia membawa segepok fotokopi soal ujian sebagai bahan latihanbukan untuk dipelajari. Sore harinya, dia kembali ke sekolah mengikuti les tambahan tiga mata pelajaran tadi. Ia harus menjejalkan semua itu ke kepalanya.
Dua minggu sekali sekolah Lisma melakukan simulasi ujian. Namun dia masih ragu dengan kemampuannya. Bersama teman-temannya kini dia rutin memburu berbagai tryout atau uji coba ujian yang diadakan lembaga bimbingan belajar. "Mau ikut bimbingan belajar tidak punya uang," kata Lisma kecut.
Sebagian besar temannya di sekolah memang berasal dari keluarga pekerja kasar. Toh, mereka terpaksa mengeluarkan biaya ekstra agar masa belajarnya tiga tahun di SMA tidak sia-sia. Untuk biaya les saja, tiap bulannya ia harus mengeluarkan Rp 15 ribu, sementara ongkos sekali tryout sekitar Rp 20 ribu. Ini belum termasuk untuk membeli buku latihan soal dan biaya fotokopi.
Kerisauan ini bukan hanya milik Lisma. Buktinya, pasar buku bekas di bawah Jembatan Ampera, Palembang, dalam beberapa minggu terakhir kebanjiran pembeli. Darwin, satu dari puluhan pedagang di pasar itu, mengaku tiap hari bisa menjual 15 buku latihan soal, dari harga Rp 7.000 hingga Rp 20.000. "Tergantung tebal dan tahun terbitnya," katanya.
Para pejabat pendidikan di daerah juga ikut waswas. Shofwan, Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang, Jawa Timur, misalnya, khawatir tingkat kegagalan siswa dalam UAN tahun ini akan melonjak. Sejak Desember lalu, siswa kelas 3 di Kota Apel telah empat kali didril uji coba ujian nasional. "Hasilnya, dari sekitar 25 ribu siswa, 40 persen gagal melewati batas minimal 4,01," katanya.
Ketakutan serupa dirasakan pelaku pendidikan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Dari beberapa kali uji coba, sekitar 30 persen siswa gagal mencapai nilai minimal itu. Terpaksa dinas pendidikan mengucurkan Rp 1 miliar untuk menggenjot pemberian pelajaran tambahan di semua sekolah.
Melihat gejolak di masyarakat ini, sejumlah organisasi pendidikan berteriak menolak UAN. Dengar apa kata Koordinator Lembaga Advokasi Pendidikan, Suparman. Akibat menghadapi ujian ini, katanya, sekolah berubah fungsi menjadi lembaga bimbingan belajar atau malah menjadi agen bimbingan belajar. Fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan berubah menjadi tempat melatih siswa menyiasati soal.
Aneh memang. Selama ini, negara belum mampu memberikan pelayanan pendidikan yang merata di seluruh pelosok negeri, tapi pemerintah ngotot melakukan ujian dengan standar yang sama.
Dua tahun lalu, saat ujian akhir nasional masih bernama evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas), kelulusan siswa ditentukan sekolah masing-masing. Selain dari nilai, kelulusan itu diukur dari prestasi mereka selama tiga tahun. Nah, nilai ebtanas tadi bisa menjadi pegangan pemerintah untuk menakar mutu pendidikan di suatu wilayah. Bagi daerah yang rata-rata nilai ebtanasnya rendah, pemerintah harus memberikan perhatian lebih untuk mengejar daerah lain.
Jika standar pelayanan pendidikan di sekolah sudah atau hampir seragam, tentu UAN seperti saat ini tidak terlalu dipersoalkan. Namun, yang ada sekarang, sejumlah sekolah favorit di kota-kota besar telah memiliki fasilitas lengkap dengan laboratorium bahasa, kelas, dan bangku yang memadai, bahkan ruang kelas berpenyejuk udara. Sekolah jenis ini menjadi rebutan siswa dengan prestasi akademik (dan kantong) yang kinclong.
Kondisi itu jauh berbeda dengan sekolah-sekolah di pelosok pedesaan. Jangankan laboratorium, jumlah kelas saja masih kurangbocor dan doyong lagi. Mereka harus bergantian menggunakan ruang yang ada. Sebagian besar sekolah swasta dalam beberapa tahun terakhir sampai-sampai kekurangan murid.
Dua pekan lalu, sejumlah guru, orang tua murid, dan organisasi nonpemerintah mengajukan gugatan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung. Mereka meminta Mahkamah Agung menyatakan Keputusan Menteri Pendidikan soal UAN bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut mengakui adanya prinsip penyelenggaraan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan dengan menjunjung tinggi nilai kultural dan kemajemukan. Gugatan itu didaftarkan para penggugat didampingi pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Selain menyangkut persoalan hukum, ujian ini dianggap sebagai bentuk pemborosan. Biaya UAN berasal dari anggaran pusat, anggaran daerah, serta dana masyarakat. Pemerintah pusat menghabiskan Rp 260 miliar untuk itu.
Daerah juga harus menyiapkan dana buat membayar honor dan transpor pengawas, distribusi soal, serta penyiapan tempat ujian. Kabupaten Tangerang, misalnya, menyiapkan sekitar Rp 5,7 miliar untuk kira-kira 100 ribu siswa peserta ujian.
Belum lagi dana masyarakat yang tersedot untuk membeli buku latihan soal, mengikutkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar, dan untuk ongkos lainnya. Ketua Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki, memperkirakan uang yang terhambur mencapai Rp 1 triliun. "Semestinya anggaran tersebut dapat digunakan untuk masalah pendidikan yang lebih penting," ujarnya.
Penolakan juga datang dari Komisi VI DPR, Senin pekan lalu. Ketua komisi yang membidangi pendidikan ini, Taufikurrahman Saleh, sepakat kelulusan siswa ditentukan oleh sekolah dan pendidik. Rencananya, pekan ini DPR akan memanggil Menteri Malik Fadjar untuk membahas masalah ujian nasional.
Menghadapi tekanan dari berbagai pihak, Malik Fadjar melunak. Peserta ujian yang gagal dalam ujian pertama boleh mengulang. "Bisa dua atau tiga kali," kata sang Menteri. Namun UAN tetap akan diberlakukan dengan patokan nilai semula: 4,01. Bahkan pemerintah telah menyiapkan dana tambahan Rp 20 miliar untuk pelaksanaannya.
Agung Rulianto, Sita Planasari, Arif Ardiansyah (Palembang), Bibin Bintariadi (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo