Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Agung Laksono: Spesialis Dualisme Kepengurusan Organisasi

Agung Laksono berkali-kali berseteru dalam memperebutkan posisi ketua umum organisasi, baik di Golkar, Kosgoro, maupun PMI.

11 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jusuf Kalla (kiri) dan Agung Laksono (kanan) mengikuti penutupan Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, 20 Desember 2017. Dok.TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Agung Laksono pernah berseteru dengan Aburizal Bakrie memperebutkan Ketua Umum Partai Golkar.

  • Agung Laksono dan Aziz Syamsuddin juga berebut posisi Ketua Kosgoro 1957.

  • Jusuf Kalla dan Agung Laksono saling mengklaim kepengurusan PMI.

JUSUF KALLA tak terkejut oleh langkah Agung Laksono yang hendak merebut pucuk pimpinan Palang Merah Indonesia (PMI) dari tangannya. Mantan wakil presiden itu mengatakan Agung sudah terbiasa memecah belah lembaga. Ia menyebutkan dua lembaga yang pernah dipecah belah oleh Agung, yaitu Partai Golkar dan Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957—organisasi pendiri Partai Golkar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Itu kebiasaan Bapak Agung Laksono,” kata Kalla dalam acara musyawarah nasional ke-22 PMI di Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Senin, 9 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalla cukup mengenal Agung. Keduanya merupakan politikus senior Partai Golkar. Saat Jusuf Kalla menjabat Ketua Umum Partai Golkar periode 2004-2009, Agung menjadi wakil ketua umum partai berlambang pohon beringin tersebut.

Kedua sahabat di Partai Golkar tersebut kini berseteru dalam memperebutkan posisi Ketua Umum PMI periode 2024-2029. Dalam musyawarah nasional ke-22 PMI di Hotel Grand Sahid Jaya pada Ahad-Senin, 8-9 Desember 2024, peserta musyawarah secara aklamasi memilih Kalla sebagai Ketua Umum PMI periode mendatang. Hasil munas itu membuat Kalla empat kali menjabat pemimpin tertinggi di organisasi kemanusiaan tersebut.

Proses terpilihnya Kalla tidak berjalan mulus. Kubu Agung bermanuver lebih dulu dengan mengumpulkan pengurus PMI di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, pada akhir November 2024. Beberapa hari menjelang munas, Agung mendeklarasikan diri sebagai calon Ketua Umum PMI.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat periode 2009-2014 atau saat Kalla menjabat wakil presiden itu mengklaim sudah memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PMI, yaitu mendapat dukungan minimal 20 persen dari total peserta munas.

Agung mengklaim sudah mengantongi dukungan sebanyak 250 dari total 476 peserta munas yang memiliki hak suara. "Sudah lebih dari 50 persen," ujarnya.

Namun kubu Jusuf Kalla menghalau manuver Agung tersebut. Kalla, yang menjabat Ketua Umum PMI periode 2019-2024, memecat sejumlah pengurus PMI yang membelok ke Agung beberapa hari sebelum munas. Saat munas berlangsung, Ketua Panitia Munas Ke-22 PMI Fachmi Idris mengatakan Kalla menjadi calon tunggal Ketua Umum PMI periode 2024-2029. Fachmi menyebutkan dukungan peserta munas untuk Agung tidak mencapai 20 persen dari total pemilik hak suara atau tidak memenuhi syarat sebagai calon ketua umum. Peserta munas lantas menetapkan Kalla sebagai Ketua Umum PMI periode mendatang.

Kubu Agung Laksono melawan. Mereka menggelar munas tandingan di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Ahad, 8 Desember 2024. Munas tandingan itu menetapkan Agung sebagai Ketua Umum PMI periode 2024-2029. Dualisme kepengurusan PMI ini berlanjut ke Kementerian Hukum. Keduanya menyampaikan hasil munas dan komposisi kepengurusan untuk mendapat penetapan dari Kementerian Hukum.

Ulla Nuchrawaty, pengurus PMI pro Agung, mengatakan sebagian pengurus PMI menggelar munas tandingan karena kecewa terhadap langkah arogan pengurus pusat organisasi kemanusiaan tersebut. “Ini tanggung jawab kami terhadap pengurus yang telah memberikan suara kepada Mas Agung,” ucapnya. Ulla menjabat Sekretaris Jenderal PMI periode 2024-2029 sesuai dengan hasil munas tandingan.

Agung Laksono dalam musyawarah nasional luar biasa Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, 17 Mei 2016. TEMPO/Johannes P. Christo

Manuver Agung untuk mengambil alih PMI hampir serupa ketika anggota Dewan Pertimbangan Presiden periode 2019-2024 atau pada masa pemerintahan Joko Widodo itu merebut Partai Golkar dari Aburizal Bakrie pada 2014. Awalnya Golkar menggelar musyawarah nasional ke-IX di Bali pada 29 November-3 Desember 2014. Hasil munas ini menetapkan Aburizal sebagai Ketua Umum Golkar periode 2014-2019.

Namun Agung menentang hasil munas partainya tersebut. Lalu ia membentuk Tim Penyelamat Partai Golkar (TPPG). Tiga hari setelah munas Bali, TPPG menggelar munas tandingan di Ancol, Jakarta Utara. Hasil munas tandingan ini menetapkan Agung sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2014-2019.

Benih perseteruan kedua kubu sesungguhnya sudah terasa ketika pemilihan presiden 2014. Saat itu Partai Golkar yang dipimpin Aburizal bergabung dengan Koalisi Merah Putih untuk mendukung Prabowo Subianto-Hatta Radjasa dalam pemilihan umum. Sedangkan Agung dan sejumlah elite Golkar mendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Dukungan Agung makin terang benderang setelah Jokowi-Kalla memenangi pemilihan presiden 2014.

Dualisme kepengurusan Partai Golkar ini berlanjut ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun Kementerian Hukum menolak menetapkan kepengurusan keduanya dan meminta kedua kubu menyelesaikan kisruh kepengurusan melalui mekanisme internal partai. Selanjutnya, kedua kubu saling menggugat ke pengadilan.

Di tengah jalan, Kementerian Hukum mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kubu Agung pada Maret 2015. Alasannya, Mahkamah Partai Golkar telah menerima kepengurusan partai versi Agung. Putusan Mahkamah Partai itu bersifat final dan mengikat.

Kubu Aburizal tetap melawan, di antaranya lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Putusan PTUN Jakarta meminta kubu Agung menunda pelaksanaan putusan Kementerian Hukum. Sebab, kubu Aburizal tengah mengajukan gugatan atas putusan Kementerian Hukum itu ke pengadilan.

Setelah gugatan kubu Aburizal ditolak PTUN Jakarta pada 10 Juli 2015, mereka mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Lantas Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi kubu Aburizal pada Oktober 2015 dan menyatakan kepengurusannya sah.

Saling gugat ke pengadilan ini berakhir setelah kedua kubu berdamai dan bersepakat menggelar munas luar biasa pada Mei 2016. Munas luar biasa itu memilih Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2014-2019. Ia mengalahkan Ade Komaruddin dalam munas luar biasa tersebut. 

Munas luar biasa ini juga memutuskan Partai Golkar keluar dari Koalisi Merah Putih, koalisi pendukung Prabowo-Hatta. Golkar lantas menyatakan mendukung pemerintahan Jokowi-Kalla.

Ketua Umum Kosgoro 1957 Agung Laksono (kanan) bersalaman dengan Airlangga Hartarto seusai rapat pleno PPK Kosgoro 1957 di kantor PPK Kosgoro 1957, Kebayoran Baru, Jakarta, Desember 2017. Dok.TEMPO/Ilham Fikri

Ketika terlibat perseteruan di lingkup internal partai, pada saat yang sama Agung Laksono juga berseteru dengan sesama pengurus Golkar lain, yaitu Aziz Syamsuddin. Agung dan Aziz memperebutkan posisi Ketua Umum Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro 1957.

Aziz terpilih menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro 1957 lewat munas luar biasa pada Januari 2016. Sekretaris Penyelenggara Munas Luar Biasa Kosgoro saat itu, Bowo Sidik Pangarso, mengatakan Aziz terpilih secara aklamasi dan memenuhi syarat AD/ART organisasinya.

Agung melawan manuver kubu Aziz tersebut. Ia melaporkan Aziz ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dengan perkara dugaan pemalsuan nama dan logo Kosgoro 1957. “Harus diberi pelajaran dengan hukum, tapi bisa juga kalau dengan komunikasi,” kata Agung di kantor PPK Kosgoro 1957, Rabu, 3 Februari 2016. 

Dualisme kepengurusan Kosgoro berakhir setelah kedua kubu berdamai. Keduanya islah setelah Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Agung dan Aziz menandatangani nota kesepakatan islah di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, pada 19 Januari 2017. Nota islah itu berisi keputusan bahwa Agung tetap menjabat Ketua Umum PPK Kosgoro dan Aziz sebagai wakilnya.

Saat dimintai konfirmasi, Agung Laksono enggan menanggapi soal dia yang disebut pernah memecah belah Partai Golkar dan Kosgoro. “Biarlah masyarakat yang menilainya,” katanya lewat keterangan tertulis, Senin, 9 Desember 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Eka Yudha Saputra dan Anastasya Lavenia berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Andi Adam Faturahman

Andi Adam Faturahman

Berkarier di Tempo sejak 2022. Alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mpu Tantular, Jakarta, ini menulis laporan-laporan isu hukum, politik dan kesejahteraan rakyat. Aktif menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus