Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Antiklimaks yahya-probo

Yahya muhaimin minta maaf kepada probosutedjo, a- kan merevisi buku bisnis dan politik pada cetak u- lang berikutnya. beberapa orang yang ditulis mem- berikan koreksi. kalangan akademis menyayangkan.

18 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yahya Muhaimin akhirnya minta maaf kepada Probosutedjo. Beberapa orang yang disebut memberikan koreksi. Para ilmuwan menyayangkan. HARI-hari ini, Probosutedjo masih jadi berita. Paling tidak, Jumat 17 Mei ini, konglomerat itu akan tampil di layar RCTI. Adik Presiden Soeharto -- yang melancarkan somasi atas ketidakakuratan data mengenai dirinya dalam buku Bisnis dan Politik -- itu akan diwawancarai dalam acara Tatap Muka. Masalah somasi terhadap buku yang cukup ramai belakangan ini memang hahya disinggung sedikit dalam wawancara yang sengaja menampilkan sosok pengusaha ini. Dalam hal buku, sebagai bekas guru, ia punya perhatian terhadap masalah akademis. Somasi dimaksudkannya untuk mengoreksi data yang salah. Akan halnya dengan Dr. Yahya A. Muhaimin, ternyata sudah ada penyelesaian. Penulis buku Bisnis dan Politik itu Rabu pekan lalu sowan (menghadap) Probo di Jakarta. Dalam pertemuan empat mata itu, Yahya minta persoalannya diselesaikan secara kekeluargaan. "Dia datang dengan itikad baik dan menyatakan tidak ada maksud mencemarkan nama baik," ujar Probo usai rekaman di RCTI. Sudah diduga, Yahya akan menyerah. Sejak semula ia bermaksud minta maaf kepada Probo. Dua hari kemudian, Jumat petang pekan lalu, di kampus UGM ia mengumumkan upaya penyelesaian sengketa itu. "Kami sepakat menganggap persoalan tersebut telah selesai," katanya, lalu membacakan sembilan butir pokok-pokok penyelesaian. Pada butir kedua disebutkan bahwa bila dalam buku tersebut terdapat data yang kurang pas, Yahya berkewajiban menyempurnakannya. Karena itu, butir ketiga menyebutkan, Yahya akan merevisi buku itu pada cetak ulang berikutnya. Apakah revisi itu bisa diterima oleh LP3ES? Bahkan Dr. T. Mulya Lubis, pengacara LP3ES, tak bisa menjawabnya. Yang pasti, perdamaian Yahya-Probo tersebut tidak berarti bahwa sengketa antara LP3ES dan bos PT Garmak Motor itu juga selesai. Namun, menurut Mulya, kini tengah ditempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan tanpa merugikan semua pihak. Dalam upaya penyelesaian itu, LP3ES tak punya komitmen untuk menemui Probo. "Kalau penyelesaiannya secara kekeluargaan, saya ikut senang. Lebih cepat selesai, lebih baik. Tendensinya memang mau diselesaikan secara kekeluargaan, dan LP3ES tidak keberatan. Kalau sudah begitu, saya ikut senang," kata Mulya Lubis di sela-sela acara halal bihalal Forum Demokrasi di TIM, Senin malam. Upaya damai itu sendiri barulah langkah awal penyelesaian menyeluruh. Kalangan akademisi di UGM sendiri menyayangkan sikap Yahya. Aksi solidaritas Senat Mahasiswa dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fisipol UGM Sabtu lalu tetap berlangsung. "Ini bukan soal pribadi atau fakultas, tapi persoalan kebebasan akademis," ujar seorang aktivis. Puluhan poster dipajang. Namun, aksi mahasiswa itu oleh R.O. Tambunan, S.H., dinilai digerakkan oleh LP3ES -- maksudnya Mulya Lubis, pengacara LP3ES. Hal itu terungkap dalam somasi II (terakhir) tertanggal 13 Mei lalu yang ditujukan pengacara Probo itu kepada LP3ES. Somasi I, yang batas waktunya sampai 24 Mei mendatang, belum dijawab oleh Mulya Lubis. Menurut Tambunan, di depan pengadilan kebebasan akademis tidak terancam karena yang mempertimbangkan dan mengadilinya juga para akademisi seperti hakim. Justru di pengadilan kebebasan lebih dapat diperoleh, dan semua pihak bebas berargumentasi. Dalam kasus ini yang dicari pengadilan ialah unsur pencemaran nama baik, sedang karya ilmiahnya tidak diapa-apakan. Tambunan juga menyayangkan Mulya yang belum menjawab somasi I -- yang diajukan 24 April lalu. Sebelumnya Mulya menegaskan akan menjawab somasi sebelum deadline berakhir. Sementara itu, Probo Jumat pekan lalu menyatakan telah mempersiapkan sanggahan ilmiah untuk membuktikan ketidakbenaran data dalam disertasi Yahya. Sampai akhir minggu ini, berbagai reaksi terhadap somasi atas karya ilmiah tersebut masih terdengar, baik dari pengusaha yang namanya disebut dalam buku Yahya maupun dari kaum intelektual. B.M. Diah, misalnya, mengkritik beberapa data yang tidak akurat. Nama mertuanya, mestinya Raden Latip ditulis Latief sementara Harry Diah, kemenakannya, ditulis sebagai anaknya. Pemilik koran Merdeka dan Hotel Hyatt Aryaduta itu juga mengoreksi data mengenai hubungannya dengan Jenderal Ali Moertopo dan CSIS. Dalam disertasi Yahya, Diah dinyatakan sebagai anggota Yayasan Proklamasi. Menurut Diah, ia tidak tahu bahwa namanya dimasukkan oleh Ali sebagai anggota yayasan yang menjadi sponsor CSIS tersebut. Pengusaha hotel lainnya, Sukamdani Sahid Gitosardjono, juga melontarkan koreksi, bahkan membantah bahwa kemajuannya sebagai pengusaha karena mendapat fasilitas dari pemerintah. Pemilik Hotel Sahid Jaya itu hanya tertawa ketika diberi tahu oleh Probo bahwa namanya disebut-sebut dalam buku Yahya. Kalaupun ia memperoleh kredit, itu bukan fasilitas khusus. "Dan alhamdulillah kredit itu sudah lunas Desember 1987," ujarnya. Bahwa ia ikut menangani proyek bimas, ia mengaku. Namun, katanya, hal itu merupakan pengabdian, bukan semata-mata bisnis. Sebab, dalam proyek yang digarap pada 1967-1972 dan membutuhkan dana besar itu -- ia mengaku sampai menjual beberapa perusahaan percetakannya -- ia malah rugi Rp 65 juta. Pengusaha lainnya, Dr. H. Hasjim Ning, merasa jengkel data mengenai dirinya ditulis tidak benar dalam Bisnis dan Politik. Sang "raja mobil" yang kini menjadi komisaris sekitar 20 perusahaan ini tak habis pikir membaca beberapa kesalahan data dalam disertasi Yahya. "Tapi saya tak akan memperkarakannya," katanya. Ia membantah ISC (Indonesian Service Company) sebagai milik Bank Indonesia. Yang benar milik Bank Negara dan Bank Industri. Ia juga heran bisnisnya di bidang permobilan, yang mengageni Dodge dan Willys, disebut ada hubungannya dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). "Tak ada hubungan antara bisnis saya dan partai politik," katanya. Koreksi juga datang dari ekonom senior seperti Prof. Sarbini Sumawinata karena data mengenai dirinya, walaupun tak begitu penting, tidak akurat. Dalam buku itu disebut bahwa Sarbini dan Soedjatmoko, dalam kasus Malari 1974, dikenai karantina rumah. Untuk Soedjatmoko memang benar, tapi Sarbini bahkan ditahan di RTM sampai 88 hari. Juga ditulis bahwa Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan Sarbini tak pernah belajar di AS. Untuk Sumitro memang benar. Tapi Sarbini, setelah tamat ITB lalu melanjutkan di Universitas Harvard, AS, dan menggondol kesarjanaan bidang ekonomi pada 1954. Tapi Sarbini tak keberatan konfliknya dengan Prof. Widjojo Nitisastro ditulis dalam buku itu. Itu bukanlah konflik pribadi tapi perbedaan pendapat dalam kebijaksanaan ekonomi, yang bermula ketika Sarbini menjadi pemrasaran politik, sedang Widjojo pemrasaran ekonomi dalam Seminar Angkatan Darat II. Kedudukan mereka sama-sama sebagai wakil ketua di bidangnya, yang berlanjut setelah Jenderal Soeharto jadi Ketua Presidium Kabinet Ampera. Ketika itu Sarbini jadi ketua tim teknis politik, sedang Widjojo ketua tim teknis ekonomi. Masing-masing punya penghubung, melalui staf pribadi, ke Soeharto. Yakni Alamsyah Ratu Perwiranegara sebagai penghubung tim politik, dan Sudjono Humardani sebagai penghubung tim ekonomi. Sejak itu tampak perbedaan pendapat di antara mereka. Widjojo merupakan teknokrat ekonomi yang semata-mata melihat persoalan dari segi ekonomi teknis, sementara Sarbini -- yang mengaku mengamati proses pembangunan sejak 1952 -- berpendapat, pembangunan tidak bisa dilihat dari segi ekonomi semata. Dan setiap kebijaksanaan ekonomi tidak boleh mengorbankan rakyat kecil. Kritik Sarbini mengenai buku Yahya antara lain analisanya yang hanya di permukaan saja. Ia juga mengkritik pengumpulan bahan disertasi yang tanpa wawancara dengan sumber-sumber yang masih bisa ditemui, di samping riset kepustakaan. Ia juga mengkritik para sarjana yang menulis mengenai Indonesia tapi mengacu pendapat para ahli Barat. Menteri Habibie, yang namanya juga disebut-sebut dalam buku itu, menyatakan tidak keberatan ditulis cerita mengenai para teknokrat yang dahulu tidak sepaham dengan pendapatnya. "Ilmu pengetahuan sudah mendarah-daging dalam diri saya. Dan semua pihak, dengan caranya sendiri, punya keinginan untuk memajukan bangsa," katanya. Pengusaha muda seperti Fahmi Idris, yang juga disinggung oleh Yahya sebagai "pengusaha klien", memang menilai bahwa keadaan para pengusaha yang digambarkan telah mewakili sebagian keadaan dan konstelasi pada saat itu. Tinjauan Yahya dari berbagai sumber kepustakaan juga baik, tingkat kebenarannya pun tinggi. "Salah nama atau salah waktu memang ada. Itu bisa dimaklumi, tapi esensinya benar," komentar pimpinan PT Kodel ini. Kalaupun ada beberapa pengusaha, termasuk Fahmi sendiri, disebut sebagai "pengusaha klien", orang harus berbesar jiwa. "Itu bukan hal yang keliru meski barangkali sebagian orang menafsirkannya secara berbeda," tambahnya. Bagi ekonom seperti Dr. Sjahrir, secara ilmiah karya Yahya -- sebagai ilmuwan yang sangat berhati-hati -- tidak patut diragukan. Ia bahkan tidak melihat perlunya penyusun disertasi mewawancarai sumber. Katanya selalu ada beberapa pilihan dalam metodologi penelitian. "Dengan kendala yang ada, Yahya sudah mencapai hasil optimum," katanya. Seorang ekonom senior lainnya juga menilai karya Yahya cukup baik. Ia adalah Prof. M. Sadli, yang dalam Bisnis dan Politik disebut sebagai "anggota tim penasihat ekonomi Soeharto antara 1966 dan 1971". Ia menyatakan, sebagai disertasi, metodologi serta kualitas risetnya sudah diuji oleh sebuah tim penguji. "Saya sendiri senang membaca ikhtisar masa 1950-1966, banyak di antaranya yang saya sendiri sudah lupa. Mengenai periode 1966-1980, umumnya cukup representatif. Mereka yang terlibat pasti merasakan kekurangannya. Tapi Yahya hanya berusaha membuat disertasi yang merupakan pembuktian suatu teori. Dan sebagai intellectual exercise sudah memadai," katanya. Sadli memastikan ada beberapa orang yang disebut deskripsinya dalam buku itu yang keberatan. Tapi Yahya cukup aman karena mengutip sumber yang sudah diterbitkan, sudah dimuat di majalah atau publikasi lain di luar negeri. "Saya mengerti bila analisanya sangat sensitif karena ditulis dalam bahasa Indonesia," katanya. Agaknya diperlukan "penyesuaian" bila disertasi hendak diterbitkan sebagai bacaan umum. Contoh yang menarik ialah Clifford Geertz yang melakukan penelitian mengenai agama di Yogya. Ia mengganti nama desa Pare jadi Mojokuto. "Janganlah sasaran penelitian dirugikan, bila disertasi akan dijadikan bacaan umum," kata Prof. Harsya W. Bachtiar. Mengenai data yang kurang akurat, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P dan K itu menyatakan, "Disertasi itu bukanlah karya yang sempurna. Wajar saja kalau ada kelemahan-kelemahan di dalamnya. Tapi itu tak berarti gelar doktor si ilmuwan menjadi lemah. Yang dinilai mutu ilmiahnya, kerangka berpikir yang ilmiah, bukan datanya." Batas waktu 24 Mei yang diajukan somasi Probosutedjo tinggal seminggu lagi. Dan somasi II sudah dilontarkan pula oleh R.O. Tambunan. Namun, bagi Ketua Umum Ikadin, Harjono Tjitrosoebono, buku yang diangkat dari sebuah disertasi -- yang sudah diuji kebenarannya di depan sebuah tim penguji -- tidak dapat dijadikan dasar gugatan di pengadilan. Apalagi, disertasi itu sudah diumumkan sejak 1982, ketika Yahya diuji dan dinyatakan lulus, walau baru diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada 1991. Jadi, secara pidana, karena kasus ini merupakan penghinaan, menurut Harjono, seharusnya gugatan itu kedaluwarsa. Apa yang digugat sudah diumumkan sembilan tahun lalu. Bagi Yahya, mungkin persoalan yang mengganjalnya sudah bisa disingkirkan setelah meminta maaf kepada Probo. Ia juga meminta maaf kepada semua pihak yang tersinggung karena tertulis dalam disertasinya yang diterbitkan itu. Namun, beberapa kalangan akademisi menyayangkan Yahya terlalu cepat menyerah. Beberapa usaha dari kalangan ilmuwan dan mahasiswa terpaksa dibatalkan setelah Yahya menyudahi sebelum mencapai klimaks. Budiman S. Hartoyo, laporan Biro Jakarta dan Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus