HARI-HARI ini, para ahli bahasa kita memperoleh "pekerjaan rumah" dari Menko Polkam Sudomo. Bekas Pangkopkamtib ini menegaskan, ia lebih suka memakai istilah dissident daripada "pembangkang" untuk menyebut orang-orang yang tergabung dalam Petisi 50. Istilah pembangkang, katanya, "Bukan istilah saya." Sejak zaman menjabat Pangkopkamtib ia selalu meng- gunakan istilah dissident yang dianggapnya lebih pas. Para ahli bahasa -- yang biasanya kurang suka istilah asing -- tentu bisa mempersoalkannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, istilah pembangkang memang punya arti lebih luas daripada dissident menurut Oxford American Dictionary yang dipakai Sudomo. Menurut Pusat Bahasa, pembangkang juga punya arti "orang yang merintangi kemajuan, reaksioner". Apa pun, yang lebih menarik perhatian orang sekarang ini memang bukan istilah mana yang paling benar, tapi soal-soal seperti: kapan seseorang "resmi" dianggap atau dinyatakan sebagai dissident atau pembangkang? Siapa pihak yang berwenang memberi "cap" itu? Akibat pengategorian itu, misalnya, apakah sebagian hak-hak mereka sebagai warga negara bisa "hilang" atau dibekukan? Misalnya, mereka dimasukkan dalam daftar cegah-tangkal (cekal) -- mereka yang dilarang ke luar negeri atau masuk ke Indonesia. Sejauh mana berbeda pendapat dengan pemerintah dianggap membahayakan? Berbagai pertanyaan tadi -- yang umumnya dilontarkan secara terbuka lewat media massa -- menggembirakan karena itu suatu pertanda makin adanya keterbukaan. Orang tidak waswas untuk meminta kejelasan -- dan kalau perlu meluruskan apa yang dirasa kurang pas atau malah bertentangan dengan hukum. Bahwa kebetulan yang terutama tersangkut dalam masalah ini adalah kelompok Petisi 50 (atau pentolan-pentolan LSM), tidaklah berarti bahwa mempersoalkan masalah ini berarti membela mereka. Karena akar dari masalah ini adalah hak-hak dasar dari warga negara yang dijamin oleh konstitusi, dan yang bisa menyangkut kita semua, sekarang atau nanti. Mungkin ini juga pengaruh keterbukaan. Kini tak semua penjelasan pejabat juga diterima begitu saja. Tatkala Menko Polkam Sudomo mengatakan bahwa orang-orang Petisi 50 dicekal karena mereka memfitnah Presiden, banyak yang langsung menanyakan, mengapa mereka tidak diadili saja hingga ada dasar hukum yang jelas buat menindak mereka -- sesuai dengan prinsip bahwa Indonesia adalah negara hukum. Ketika dikatakan bahwa pencekalan itu karena dikhawatirkan bahwa mereka akan bicara jelek tentang Indonesia di luar negeri, orang pun mempersoalkan, karena di zaman globalisasi informasi seperti saat ini, ngomong jelek seperti itu bisa saja dilakukan di dalam negeri. Tatkala disebutkan bahwa larangan ke luar negeri itu karena dikhawatirkan bantuan luar negeri akan berkurang, beramai-ramai orang membantah dengan menunjukkan: selama belasan tahun ini tak pernah terbukti bantuan asing berkurang karena omongan para pembangkang itu. Maka, tak terelakkan lagi, orang pun bisa saja tiba pada kesimpulan: ucapan sebagian pejabat kita membingungkan dan simpang-siur. Apakah kesimpang-siuran itu karena tak adanya beleid yang jelas dan tegas, ataukah karena perbedaan persepsi? Ketidakjelasan itu jelas bisa menimbulkan kebingungan dan ekses. Misalnya, pejabat bawahan bisa saja cenderung mengambil sikap yang paling aman dengan melarang saja dahulu, daripada mereka sendiri yang kelak disalahkan. Yang menarik, kesimpang-siuran ini belakangan terasa makin sering terjadi. Dalam kasus Forum Demokrasi, misalnya, jelas tampak adanya pandangan yang berbeda di antara sejumlah pejabat. Dalam kasus Ikadin, hal yang sama juga tampak. Maka kita pun bertanya: Mengapa semua ini terjadi? Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini