ALI Sadikin kembali dicalonkan menjadi presiden Indonesia. Bukan oleh fraksi-fraksi di MPR, tapi oleh sekelompok anak muda dari Institute for Society and Economic Studies (ISES). Jumat pekan lalu, usulan nama bekas gubernur DKI Jaya dan tokoh Petisi 50 ini disampaikan sekitar 20 orang anggota ISES kepada Fraksi PDI. Selain Ali sebagai presiden, ISES juga mencalonkan Deliar Noer, doktor ilmu politik dari Cornell University, AS, sebagai wakil presiden. "Ini aspirasi kawula muda yang tak tertampung sistem yang ada sekarang. Budaya calon tunggal jelas menutup timbulnya aspirasi untuk memunculkan calon terbaik," kata Eggi, direktur ISES yang membacakan pernyataan. Menurut dosen hukum tata negara Universitas Ibnu Khaldun Bogor ini, kalau Sadikin terpilih, setidaknya akan ada enam undang-undang yang diperbaiki, misalnya UU Subversi -- produk Orde Lama. Alasan ISES meneruskan usulannya ke Fraksi PDI, selain PDI sampai sekarang belum memunculkan nama calon presiden, adalah juga untuk menagih janji kampanye. Tema perubahan ditafsirkan banyak pihak sebagai tanda bahwa PDI akan punya nama lain untuk calon presiden. Empat fraksi di MPR sudah mencalonkan nama Soeharto sebagai calon presiden. "Kalau nanti PDI mencalonkan orang yang sama, itu namanya penipuan politik," kata Eggi. Dimmy Haryanto, Wakil Ketua Fraksi PDI di MPR, menjawab, "Janji politik adalah janji perjuangan. PDI sudah melakukan banyak hal. Selain rancangan GBHN versi PDI, kami juga menyiapkan empat rancangan ketetapan. Ini juga realisasi perjuangan." Soal usulan nama Sadikin, kata Dimmy, akan dibicarakan rapat pimpinan PDI nanti. Ali Sadikin, 65 tahun, memuji ISES. "Keberanian untuk mencalonkan lebih dari satu calon presiden itu sudah lama saya tunggu-tunggu. Tiga, empat, atau tujuh, silakan. Kalau tak begitu, kita akan menjadi bangsa penganut neo-feodalis," katanya. Bersedia dicalonkan? "Itu tergantung PDI, partai yang saya nilai paling simpatik selama kampanye. Kita tunggu apakah PDI tetap konsisten dengan sikapnya," kata Ali. Ini bukan pertama kali Ali dicalonkan. Pada 1977, dua mahasiswa UI, Bambang Sulistomo dan Dipo Alam, juga mencalonkannya. Tapi, pencalonan itu dianggap main-main. Bagaimana kali ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini