SUNGGUH melelahkan sidang-sidang Badan Pekerja MPR. Untuk memutuskan kerangka acuan naskah GBHN saja, BP MPR butuh waktu 11 hari. Jumat pekan lalu barulah tercapai konsensus: semua fraksi sepakat memakai acuan buatan Fraksi ABRI. Fraksi Persatuan Pembangunan, yang sehari sebelumnya masih bertahan, akhirnya mengikuti jejak empat fraksi lain menerima acuan buatan Fraksi ABRI. Sebelumnya Fraksi PP bertahan memakai acuan GBHN milik Wanhankamnas. Masalahnya, dua pekan lalu, Fraksi PP dan Fraksi Karya sempat bertemu di Kantor Golkar Slipi, Jakarta Barat, menelurkan "Kesepakatan Slipi". Kedua fraksi setuju menerima naskah GBHN Wanhankamnas sebagai acuan. Namun sejak awal PDI bertahan dengan acuan yang dibuatnya sendiri. Bahkan versi PDI itu boleh dibilang sama sekali baru dibandingkan dengan milik Wanhankamnas. Dan PDI bertahan dengan acuannya. Maka ada kekhawatiran di kubu Golkar kalau soal kerangka acuan saja harus diselesaikan lewat voting. Kubu Slipi pun berubah haluan. Golkar menerima acuan susunan ABRI, dengan harapan sikap PDI "lumer". PDI akhirnya memang mau memakai acuan ABRI, namun ganti PPP yang bersikukuh memakai milik Wanhankamnas. Mengapa? "Pendirian kami sudah jelas. Sebagai konsekuensi mencalonkan kembali Presiden Soeharto, maka acuan GBHN yang diterima adalah yang dari beliau," kata Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum. Lebih dari itu, PPP berpegang kepada "Kesepakatan Slipi" yang tak dijalankan Golkar sendiri. "Mengapa setelah kesepakatan itu pengurus Fraksi Karya bilang bahwa bahan dari Presiden akan dipakai sebagai bahan saja. Saya berani bilang mereka itu bohong," kata Buya Ismail keras. Sebuah sumber TEMPO di Golkar memang menjelaskan bahwa kubu Slipi berubah haluan setelah ada isyarat soal naskah Wanhankamnas itu dari Dewan Pembina Golkar. Dewan Pembina konon setuju saja kalau bahan Wanhankamnas hanya dipakai sebagai referensi. Maka Golkar pun akhirnya memilih acuan milik ABRI. Sumber TEMPO ini menjelaskan bahwa sebenarnya bahan Wanhankamnas itu dianggap terlalu "ideal". Sebagai misal, soal pembangunan politik, rumusan Wanhankamnas itu berbunyi: "....Belum berkembangnya budaya politik Pancasila tercermin dari kurangnya sikap terbuka para penyelenggara negara, masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik, serta peran infrastruktur dan suprastruktur politik dalam mekanisme kehidupan politik belum mengarah pada terwujudnya sikap keterbukaan...." Rumusan tentang pembangunan ekonomi juga dinilai keras. "Pembangunan telah berhasil meningkatkan pendapatan nasional dan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Pendapatan nasional yang tinggi belum sepenuhnya dinikmati secara adil dan merata oleh masyarakat luas, karena sebagian kecil masyarakat berkedudukan ekonomi sangat kuat menguasai sebagian besar kehidupan ekonomi nasional.... Sebaliknya, masih nampak pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok ekonomi kuat dalam bentuk monopoli, oligopoli, dan monopsoni yang merugikan masyarakat." Kalau misalnya rumusan Wanhankamnas ini yang diterima oleh semua fraksi, barangkali kelak Fraksi Karya yang paling repot membuat rumusan yang lebih "halus", terutama untuk penjabarannya. Bisa jadi karena itulah kubu Slipi buru-buru putar haluan. Toriq Hadad, Iwan Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini