Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Aturan baru dwi fungsi ? menengok kembali buku ABRI

Rapim abri 1982 di bandung merumuskan dwifungsi abri, kekaryaan. pemilu 1982 dan sidang umum mpr 1983. peranan abri kini & masa datang merupakan masalah terpenting dalam rapim.(nas)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DWIBUNGSI ABRI dibicarakan lagi. Kali ini forumnya resmi: rapat pimpinan (rapim ABRI 8-13 Maret lalu di Bandung. Sekitar 150 perwira dan pejabat teras Hankam mengikuti rapim ini. Di tempat yang sama pada saat itu juga, 900 wanita anggota Dharma Pertiwi menyelenggarakan rapat kera nasional. Salah satu masalah pokok yang dibicarakan dalam rapim yang dipimpin oleh Menhankam Jenderal M. Jusuf adalah penyesuaian berbagai ketentuan dan ketetapan yang dibuat pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an. Menurut Jenderal usuf, banyak keputusan yang perlu ditingkatkan dan diperbarui karena sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata dasawarsa 1980-an. Dwifungsi dan kekaryaan ABRI termasuk salah satu di antaranya. Alasannya menurut Jusuf: selama ini masalah itu masih banyak mendapat tanggapan kurang baik dari masyarakat. "Karena itu akan dikeluarkan keputusan untuk meniadakan pandangan-pandangan yang tidak baik ini," ujar Menhankam tatkala membuka rapim. Soal dwifungsi, kekaryaan Pemilu 1982 dan Sidang Umum MPR i983 ternyata kemudian digabung dalam satu bagian dalam laporan Menhankam kepada Presiden Soeharto Sabtu lalu di Istana Negara. "Ini adalah masalah utama yang telah dirumuskan dalam rapim ABRl 1982," ujar Jusuf. Keempat masalah yang telah dirumuskan dalam 3 buku (keputusan rapim seluruhnya dituangkan dalam 13 buku) akan dijadikan pedoman dasar bagi para anggota ABRI. Peranan ABRI kini dan di masa mendatang--termasuk dwifungsi--tampaknya memang merupakan masalah terpenting dalam rapim Bandung itu. Yang banyak menjadi pertanyaan: mengapa kini dipandang perlu untuk merumuskan kembali masalah dwifungsi dan kekaryaan ABRI ini? Ada perkiraan, perumusan ini dipandang perlu menjelang pengalihan kepemlmpinan ABRI dari generasi 45 ke generasi muda. Banyak tokoh ABRI dari angkatan 45 yang khawatir ABRI akan bisa kehilangan orientasi kerakyatannya bila kepemimpinannya dialihkan kepada generasi muda, yang tak mengalami peruangan bersenjata bersama rakyat mempertahankan kemerdekaan. Namun rupanya ada alasan lain lagi. Perumusan kembali dwifungsi itu ternyata juga merupakan penegasan untuk menjawab kecaman yang dilontarkan berbagai pihak. Dwifungsi ABRI selama ini memang terus dipersoalkan, termasuk oleh sementara purnawirawan ABRI. Pandangan mereka ini rupanya tidak berkenan di mata pimpinan ABRI hingga digolongkan "pandangan yang tidak baik." Pendapat ini beraneka ragam, dari anggapan bahwa ABRI "serakah" sampai dakwaan dwifungsi akan mengarah ke militerisme dan totaliterisme. "ABRI baru sempat menjabarkan dwifungsi sejak 1965. Itu pun masih belum jelas pegangannya, masih mencari-cari. Baru setelah 1975 mulai konkrit apa yang disebut dwifungsi ABRI. Dari itu kalau ada perwira ABRI yang pensiun sebelum 1975, persepsinya mengenai dwifungsi asti agak lain dari yang sekarang," kata seorang perwira tinggi Hankam. Ia menyebut contoh pandangan Jenderal (Purn.) A.H. Nasution. Menurut sumber TEM PO ini, berbeda dengan Pak Nas--yang mengaitkan dwifungsi dengan keadaan darurat dan tujuan menang perang -- perumusan yang "baru" menekankan tujuan dwifungsi "untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat". "Sudah kami putuskan dwifungsi tidak akan lagi dikaitkan dengan masalah hankam saja. Ini untuk kesejahteraan, walau tidak melupakan keamanan," ujar pejabat teras tersebut. Perbedaan pandangan ini agak ironis, karena:A.H. Nasution dikenal sebagai salah satu pemrakarsa dwifungsi ABRI. Malahan istilah dwifungsi pertama kali dipakai Nasution pada 1960 di depan suatu rapat Polri di Porong (Jawa Timur) tatkala ia tanpa teks menjelaskan tentang kedua fungsi ABRI itu. Dalam wawancaranya dengan TEMPO, Jenderal Nasution menegaskan, esensi dwifungsi ialah pengamalan Identitas TNI, pertama sebagai pejuang dankedua sebagai prajurit. Identitas ini lahir dari sejarah perjuangan, dalam arti TNI dituntut memberi jawaban atas tantangan tugasnya pada tahap perjuangan. Di samping itu identitas ini juga ditumbuhkan dengan berpegang pada komitmen TNI pada UUD 1945. Sampai sejauh ini tampaknya tak ada perbedaan mendasar antara pandangan Nasution dan rumusan yang berlaku sekarang: TNI sebagai pejuang dan prajurit wajib berjuang untuk kepentingan rakyat. Namun dalam penafsiran mengenai wujud dan pelaksanaannya rupanya terdapat perbedaan (lihat Gallery). Dirubung puluhan wartawan di ruang kerjanya seusai memimpin para peserta rapim bersilaturahmi dengan Presiden, Menhankam juga menekankan hal yang sama. "Barangkali ada yang menduga ABRI dengan dwifungsi dan kekaryaannya seolah-olah nanti bisa mematikan demokrasi dan pertumbuhan masyarakat di bidang politik dan ekonomi. Itu sama sekali tidak benar," katanya. "Kami bahkan mendorong pertumbuhan pelaksanaan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi," tambahnya. Jusuf kemudian menghimbau "Saya minta jangan sampai ada pengertian bahwa dwifungsi dan kekaryaan ini mau menduduki jabatan ini, mau menguasai ini dan mau mengeksploatasiitu. Semua itu tidak ada. Di sini jelas," katanya sembari menuding buku berisi hasil rapim. "Sejak semula dwifungsi dan kekaryaan itu disebabkan oleh rasa tanggungjawab dalam melaksanakan keselamatan kehidupan ban,,sa. Dasarnya: ABRI lahir bersama rakyat, berjuang bersama rakyat. Rakyat tidak diminta untuk membantu," tegasnya. Tatkala Menhankam Jenderal Jusuf pada 1979 melancarkan proram peningkatan modernisasi dan profesionalisme ABRI--termasuk melarang anggota ABRI berdagang --,harapan bahwa intensitas dwifungsi akan dikurangi meninggi. Malah ada yang mengharap peranan sospol TNI ini bisa dikubur. Harapan ini tampaknya lebih merupakan impian. Dwifungsi ABRI telah berkembang dan menjadikan posisi ABRI dominan dalam konstelasi politik Indonesia saat ini. Keabsahan dwifungsi dicantumkan dalam GBHN dan berbagai ketetapan MPR. Lagipula sistem politik sekarang ini tidak mendukung suatu situasi di mana peran ABRI begitu saja bisa dikurangi. Toh harapan bahwa volume dwifungsi akan berkurang agaknya beralasan. Menhankam Jusuf pada 1979 menginstruksikan: ABRI tidak akan mengkaryakan anggotanya tanpa permintaan menteri atau diperintahkan Presiden. MASALAHNYA, menurut suatu sumber, banyak menteri yang cenderung meminta perwira ABRI untuk menjabat posisi kunci di departemen. Alasan yang biasa dikemukakan umumnya: perwira ABRI mampu untuk memimpin--suatu hal yang agaknya belum bisa diimbangi sipil sampai sekarang. Toh menurut suatu sumber militer yang mengetahui, jumlah anggota ABRI yang dikaryakan saat ini baru sekitar 13.000 orang, dari sekitar 350.000 orang. Suatu jumlah yang cukup kecil, cuma 3,7%. Kebanyakan dari mereka, demikian sumber tadi, memegang jabatan kunci, mulai dari lurah, bupati anggota DPR sampai inspektur jenderal departemen. Boleh jadi jumlah ABRI yang dikaryakan itu lebih besar, kalau saja dihitung mereka yang sudah dipensiun alias sudah purnawirawan. Operasionil dwifungsi, seperti kata Ketua DPR enderal (Purn.) Daryatmo, tak selalu berbentuk personil. "Tapi bisa saja berupa konsepsi," katanya. Dan Ketua DPR yang pernah menjabat Kepala Staf Hankam itu juga mengakui, "kalau ditinjau dari statusnya, anggota ABRI yang masih aktif yang berkarya, jauh lebih sedikit daripada dulu." Sebagai contoh, Daryatmo menunjuk tokoh seperti Mendagri Amirmachmud, Menteri Penerangan Ali Moertopo dan juga Presiden Soeharto, yang pada waktu menjadi Presiden masih ABRI. "Tapi sekarang beliau-beliau itu semuanya sudah putnawirawan," katanya. "Tapi berkurangnya status tadi tak berarti dwifungsi menjadi berkurang," katanya. Bicara tentang purnawirawan ABRI yang memegang jabatan di luar Hankam, memang bisa mengasyikkan. Mulai dari yang menjabat menteri, dirjen, irjen, irjenbang, gubernur, dutabesar sampai yang memimpin dunia usaha. Berapa jumlahnya, belum diketahui dengan pasti. Pihak Departemen Dalam Negeri dan Hankam, ketika ditanya, juga mengatakan tak memiliki data penting tersebut. Tapi yang pasti, jumlahnya cukup besar. Dalam kabinet yang sekarang, tercatat 12 menteri dari ABRI, beberapa masih berstatus aktif. Di antara gubernur, tak kurang dari 21 orang dari ABRI. Pos pejabat tinggi yang dipegangnya antara lain sekjen sebanyak 11 orang, dirjen sekitar 25 orang dan irjen 6 orang. Di DPR, di samping yang duduk dalam fraksi ABRI sebanyak 75 orang, juga ada sekitar 15 orang (umumnya sudah purnawirawan) yang duduk dalam F-KP. Mahkamah ,gung dan Kejaksaan Agung yang biasa disebut lembaga yudikatif, juga dipimpin oleh ABRI yang masih aktif. Bebcrapa perusahaan negara yang termasuk vital sebagian besar dipimpin oleh ABRI. Dan sekitar 25 orang dari ABRI menduduki pos dutabesar, termasuk untuk pos-pos yang penting. Lalu puluhan jenderal purnawirawan kini mcmimpin perusahaan swasta terkemuka. Lis di atas tentu masih bisa ditambah. Dan, seperti kata seorang perwira tinggi purnawirawan, "makin disempurnakan". Organisasi ABRI memang jauh lebih sempurna dari organisasi sipil apa pun. Termasuk pergantian kepemimpinan. "Bukan untuk membesar-besarkan tapi sebaiknya sistem yang dipergunakan oleh ABRI ini ditiru oleh lembaga-lembaga lain yang memerlukan suksesi kepemimpinan," kata Ketua DPR Daryatmo. Dan Daryatmo melanjutkan: "Dalam ABRI, segalanya lebih terencana, berencana, bertahap dan seterusnya. Dari bawah naik ke atas misalnya: ada pendidikan, kemudian disaring, dan kaau dianggap mampu baru dinaikkan jabatannya." Dia mulai melihat sistem itu dijalankan untuk pegawai negeri sipil. Apakah secara lahiriyah kedudukan ABRI bisa berkurang? Ada yang bilang itu mustahil, karena hakikat dwifungsi sudah "lestari". Tapi seorang pejabat Hankam berpendapat itu bisa saja terjadi. "Namun ABRI tidak akan mengurangi bobot dwifungsi," katanya. Dan dwifungsi itu, menurut sumber tersebut, "bisa kami laksanakan dengan cara lain, kalau penderitaan rakyat sudah berkurang." Bicara berkurangnya penderitaan rakyat, sama saja dengan usaha menegakkan keadilan. Dan dalam mengemban jalan yang panjang serta penuh liku-liku itu, masih ada tugas besar lain yang harus mereka laksanakan ABRI, seperti kata Presiden, "akan terus mendorong berkembangnya demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusionil berdasar UUD 1945." Tentu saja dua hal itu bukan sekedar basa-basi. Sekalipun, tentunya, masih perlu dirumuskan secara lebih jelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus