DWIBUNGSI ABRI dibicarakan lagi. Kali ini forumnya resmi: rapat
pimpinan (rapim ABRI 8-13 Maret lalu di Bandung. Sekitar 150
perwira dan pejabat teras Hankam mengikuti rapim ini. Di tempat
yang sama pada saat itu juga, 900 wanita anggota Dharma Pertiwi
menyelenggarakan rapat kera nasional.
Salah satu masalah pokok yang dibicarakan dalam rapim yang
dipimpin oleh Menhankam Jenderal M. Jusuf adalah penyesuaian
berbagai ketentuan dan ketetapan yang dibuat pada dasawarsa
1960-an dan 1970-an. Menurut Jenderal usuf, banyak keputusan
yang perlu ditingkatkan dan diperbarui karena sudah tidak sesuai
lagi dengan keadaan nyata dasawarsa 1980-an.
Dwifungsi dan kekaryaan ABRI termasuk salah satu di antaranya.
Alasannya menurut Jusuf: selama ini masalah itu masih banyak
mendapat tanggapan kurang baik dari masyarakat. "Karena itu akan
dikeluarkan keputusan untuk meniadakan pandangan-pandangan yang
tidak baik ini," ujar Menhankam tatkala membuka rapim.
Soal dwifungsi, kekaryaan Pemilu 1982 dan Sidang Umum MPR i983
ternyata kemudian digabung dalam satu bagian dalam laporan
Menhankam kepada Presiden Soeharto Sabtu lalu di Istana Negara.
"Ini adalah masalah utama yang telah dirumuskan dalam rapim ABRl
1982," ujar Jusuf. Keempat masalah yang telah dirumuskan dalam 3
buku (keputusan rapim seluruhnya dituangkan dalam 13 buku) akan
dijadikan pedoman dasar bagi para anggota ABRI.
Peranan ABRI kini dan di masa mendatang--termasuk
dwifungsi--tampaknya memang merupakan masalah terpenting dalam
rapim Bandung itu. Yang banyak menjadi pertanyaan: mengapa kini
dipandang perlu untuk merumuskan kembali masalah dwifungsi dan
kekaryaan ABRI ini?
Ada perkiraan, perumusan ini dipandang perlu menjelang
pengalihan kepemlmpinan ABRI dari generasi 45 ke generasi muda.
Banyak tokoh ABRI dari angkatan 45 yang khawatir ABRI akan bisa
kehilangan orientasi kerakyatannya bila kepemimpinannya
dialihkan kepada generasi muda, yang tak mengalami peruangan
bersenjata bersama rakyat mempertahankan kemerdekaan.
Namun rupanya ada alasan lain lagi. Perumusan kembali dwifungsi
itu ternyata juga merupakan penegasan untuk menjawab kecaman
yang dilontarkan berbagai pihak. Dwifungsi ABRI selama ini
memang terus dipersoalkan, termasuk oleh sementara purnawirawan
ABRI. Pandangan mereka ini rupanya tidak berkenan di mata
pimpinan ABRI hingga digolongkan "pandangan yang tidak baik."
Pendapat ini beraneka ragam, dari anggapan bahwa ABRI "serakah"
sampai dakwaan dwifungsi akan mengarah ke militerisme dan
totaliterisme.
"ABRI baru sempat menjabarkan dwifungsi sejak 1965. Itu pun
masih belum jelas pegangannya, masih mencari-cari. Baru setelah
1975 mulai konkrit apa yang disebut dwifungsi ABRI. Dari itu
kalau ada perwira ABRI yang pensiun sebelum 1975, persepsinya
mengenai dwifungsi asti agak lain dari yang sekarang," kata
seorang perwira tinggi Hankam. Ia menyebut contoh pandangan
Jenderal (Purn.) A.H. Nasution.
Menurut sumber TEM PO ini, berbeda dengan Pak Nas--yang
mengaitkan dwifungsi dengan keadaan darurat dan tujuan menang
perang -- perumusan yang "baru" menekankan tujuan dwifungsi
"untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat". "Sudah kami putuskan
dwifungsi tidak akan lagi dikaitkan dengan masalah hankam saja.
Ini untuk kesejahteraan, walau tidak melupakan keamanan," ujar
pejabat teras tersebut.
Perbedaan pandangan ini agak ironis, karena:A.H. Nasution
dikenal sebagai salah satu pemrakarsa dwifungsi ABRI. Malahan
istilah dwifungsi pertama kali dipakai Nasution pada 1960 di
depan suatu rapat Polri di Porong (Jawa Timur) tatkala ia tanpa
teks menjelaskan tentang kedua fungsi ABRI itu.
Dalam wawancaranya dengan TEMPO, Jenderal Nasution menegaskan,
esensi dwifungsi ialah pengamalan Identitas TNI, pertama sebagai
pejuang dankedua sebagai prajurit. Identitas ini lahir dari
sejarah perjuangan, dalam arti TNI dituntut memberi jawaban atas
tantangan tugasnya pada tahap perjuangan. Di samping itu
identitas ini juga ditumbuhkan dengan berpegang pada komitmen
TNI pada UUD 1945.
Sampai sejauh ini tampaknya tak ada perbedaan mendasar antara
pandangan Nasution dan rumusan yang berlaku sekarang: TNI
sebagai pejuang dan prajurit wajib berjuang untuk kepentingan
rakyat. Namun dalam penafsiran mengenai wujud dan pelaksanaannya
rupanya terdapat perbedaan (lihat Gallery).
Dirubung puluhan wartawan di ruang kerjanya seusai memimpin para
peserta rapim bersilaturahmi dengan Presiden, Menhankam juga
menekankan hal yang sama. "Barangkali ada yang menduga ABRI
dengan dwifungsi dan kekaryaannya seolah-olah nanti bisa
mematikan demokrasi dan pertumbuhan masyarakat di bidang politik
dan ekonomi. Itu sama sekali tidak benar," katanya. "Kami bahkan
mendorong pertumbuhan pelaksanaan demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi," tambahnya.
Jusuf kemudian menghimbau "Saya minta jangan sampai ada
pengertian bahwa dwifungsi dan kekaryaan ini mau menduduki
jabatan ini, mau menguasai ini dan mau mengeksploatasiitu. Semua
itu tidak ada. Di sini jelas," katanya sembari menuding buku
berisi hasil rapim. "Sejak semula dwifungsi dan kekaryaan itu
disebabkan oleh rasa tanggungjawab dalam melaksanakan
keselamatan kehidupan ban,,sa. Dasarnya: ABRI lahir bersama
rakyat, berjuang bersama rakyat. Rakyat tidak diminta untuk
membantu," tegasnya.
Tatkala Menhankam Jenderal Jusuf pada 1979 melancarkan proram
peningkatan modernisasi dan profesionalisme ABRI--termasuk
melarang anggota ABRI berdagang --,harapan bahwa intensitas
dwifungsi akan dikurangi meninggi. Malah ada yang mengharap
peranan sospol TNI ini bisa dikubur.
Harapan ini tampaknya lebih merupakan impian. Dwifungsi ABRI
telah berkembang dan menjadikan posisi ABRI dominan dalam
konstelasi politik Indonesia saat ini. Keabsahan dwifungsi
dicantumkan dalam GBHN dan berbagai ketetapan MPR. Lagipula
sistem politik sekarang ini tidak mendukung suatu situasi di
mana peran ABRI begitu saja bisa dikurangi.
Toh harapan bahwa volume dwifungsi akan berkurang agaknya
beralasan. Menhankam Jusuf pada 1979 menginstruksikan: ABRI
tidak akan mengkaryakan anggotanya tanpa permintaan menteri atau
diperintahkan Presiden.
MASALAHNYA, menurut suatu sumber, banyak menteri yang cenderung
meminta perwira ABRI untuk menjabat posisi kunci di departemen.
Alasan yang biasa dikemukakan umumnya: perwira ABRI mampu untuk
memimpin--suatu hal yang agaknya belum bisa diimbangi sipil
sampai sekarang. Toh menurut suatu sumber militer yang
mengetahui, jumlah anggota ABRI yang dikaryakan saat ini baru
sekitar 13.000 orang, dari sekitar 350.000 orang. Suatu jumlah
yang cukup kecil, cuma 3,7%. Kebanyakan dari mereka, demikian
sumber tadi, memegang jabatan kunci, mulai dari lurah, bupati
anggota DPR sampai inspektur jenderal departemen.
Boleh jadi jumlah ABRI yang dikaryakan itu lebih besar, kalau
saja dihitung mereka yang sudah dipensiun alias sudah
purnawirawan. Operasionil dwifungsi, seperti kata Ketua DPR
enderal (Purn.) Daryatmo, tak selalu berbentuk personil. "Tapi
bisa saja berupa konsepsi," katanya. Dan Ketua DPR yang pernah
menjabat Kepala Staf Hankam itu juga mengakui, "kalau ditinjau
dari statusnya, anggota ABRI yang masih aktif yang berkarya,
jauh lebih sedikit daripada dulu."
Sebagai contoh, Daryatmo menunjuk tokoh seperti Mendagri
Amirmachmud, Menteri Penerangan Ali Moertopo dan juga Presiden
Soeharto, yang pada waktu menjadi Presiden masih ABRI. "Tapi
sekarang beliau-beliau itu semuanya sudah putnawirawan,"
katanya. "Tapi berkurangnya status tadi tak berarti dwifungsi
menjadi berkurang," katanya.
Bicara tentang purnawirawan ABRI yang memegang jabatan di luar
Hankam, memang bisa mengasyikkan. Mulai dari yang menjabat
menteri, dirjen, irjen, irjenbang, gubernur, dutabesar sampai
yang memimpin dunia usaha. Berapa jumlahnya, belum diketahui
dengan pasti. Pihak Departemen Dalam Negeri dan Hankam, ketika
ditanya, juga mengatakan tak memiliki data penting tersebut.
Tapi yang pasti, jumlahnya cukup besar. Dalam kabinet yang
sekarang, tercatat 12 menteri dari ABRI, beberapa masih
berstatus aktif. Di antara gubernur, tak kurang dari 21 orang
dari ABRI. Pos pejabat tinggi yang dipegangnya antara lain
sekjen sebanyak 11 orang, dirjen sekitar 25 orang dan irjen 6
orang.
Di DPR, di samping yang duduk dalam fraksi ABRI sebanyak 75
orang, juga ada sekitar 15 orang (umumnya sudah purnawirawan)
yang duduk dalam F-KP. Mahkamah ,gung dan Kejaksaan Agung yang
biasa disebut lembaga yudikatif, juga dipimpin oleh ABRI yang
masih aktif. Bebcrapa perusahaan negara yang termasuk vital
sebagian besar dipimpin oleh ABRI. Dan sekitar 25 orang dari
ABRI menduduki pos dutabesar, termasuk untuk pos-pos yang
penting. Lalu puluhan jenderal purnawirawan kini mcmimpin
perusahaan swasta terkemuka.
Lis di atas tentu masih bisa ditambah. Dan, seperti kata seorang
perwira tinggi purnawirawan, "makin disempurnakan". Organisasi
ABRI memang jauh lebih sempurna dari organisasi sipil apa pun.
Termasuk pergantian kepemimpinan. "Bukan untuk membesar-besarkan
tapi sebaiknya sistem yang dipergunakan oleh ABRI ini ditiru
oleh lembaga-lembaga lain yang memerlukan suksesi kepemimpinan,"
kata Ketua DPR Daryatmo.
Dan Daryatmo melanjutkan: "Dalam ABRI, segalanya lebih
terencana, berencana, bertahap dan seterusnya. Dari bawah naik
ke atas misalnya: ada pendidikan, kemudian disaring, dan kaau
dianggap mampu baru dinaikkan jabatannya." Dia mulai melihat
sistem itu dijalankan untuk pegawai negeri sipil.
Apakah secara lahiriyah kedudukan ABRI bisa berkurang? Ada yang
bilang itu mustahil, karena hakikat dwifungsi sudah "lestari".
Tapi seorang pejabat Hankam berpendapat itu bisa saja terjadi.
"Namun ABRI tidak akan mengurangi bobot dwifungsi," katanya. Dan
dwifungsi itu, menurut sumber tersebut, "bisa kami laksanakan
dengan cara lain, kalau penderitaan rakyat sudah berkurang."
Bicara berkurangnya penderitaan rakyat, sama saja dengan usaha
menegakkan keadilan. Dan dalam mengemban jalan yang panjang
serta penuh liku-liku itu, masih ada tugas besar lain yang harus
mereka laksanakan ABRI, seperti kata Presiden, "akan terus
mendorong berkembangnya demokrasi Pancasila dan kehidupan
konstitusionil berdasar UUD 1945." Tentu saja dua hal itu bukan
sekedar basa-basi. Sekalipun, tentunya, masih perlu dirumuskan
secara lebih jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini