DWIFUIGSI ABRI, seperti dikatakan T.B. Simatupang, "bukan
sesuatu yang jatuh dari langit dalam bentuk yang jadi". Ia
lahir, tumbuh dan berkembang. Riwayat kelahirannya tidak bisa
dilepaskan dari sejarah Republik Indonesia, dan akarnya diawali
jauh sebelum 1945.
Mungkin karena latar belakang pendidikan yang membentuk persepsi
mereka, para pemlmpm pergerakan nasional saat itu seperti
Soekarno dan Hatta, tak pernah merencanakan perjuangan
kemerdekaan lewat suatu perjuangan bersenjata. Perjuangan
mencapai Indonesia Merdeka, menurut Bung Karno, bukan dilakukan
dengan bom dan dinamit, tapi melalui suatu aksi-massa yang
radikal.
Cara berpikir ini ternyata bertentangan dengan pandangan para
pemuda.yang tampil menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan.
Para tokoh seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir cenderung memilih
siasat "perundingan", sedang para pemuda memilih "perjuangan".
Perbedaan pandangan inilah yang kemudian menumbuhkan
pertentangan antara "sipil" dan "militer" yang ternyata
berkepanjangan.
Hubungan antara kedua sayap ini setelah kemerdekaan, diawali
dengan start yang kurang baik. Pemerintah pusat dalam hal ini
Presiden Soekarno dan Wapres Hatta, tidak memandang perlu untuk
segera membentuk suatu tentara nasional karena meragukan
kegunaannya. Mereka percaya lewat jalan perundingan kemerdekaan
akan bisa dipertahankan.
Pada 22 Agustus 1945 dibentuk Badan Penolong Keluarga Korban
Perang, yang juga meliputi suatu Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Statusnya di bawah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sedang
tugasnya menjaga keamanan bersama rakyat dan badan negara
lainnya.
Pemerintah pusat berkali-kali menunjukkan kekurang mengertiannya
pada bidang militer. Misalnya pada 20 Oktober pemerintah
mengangkat Mohamad Suljoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan
adinterim, seseorang yang kurang dikenal dan dihargai hingga
ia pernah ditahan TIR Surabaya.
Ketiadaan pimpinan mendorong TKR menyelenggarakan suatu
pertemuan di Yogyakarta pada 12 November guna memilih panglima
dan Menteri Pertahanan. Lewat pemungutan suara, Soedirman
terpilih sebagai Panglima Besar sedang Sultan Hamengku Buwono IX
sebagai Menteri Pertahanan. Dua hari setelah itu PM Sjahrir
menunjuk Amir Sjarifudin sebagai Menteri Pertahanan dalam
kabinetnya yang baru terbentuk.
Ini makin merenggangkan hubungan pihak militer dan pemerintah.
Puncak kekecewaan tentara pada pemerintah terjadi pada 19
Desember 1948 tatkala Belanda menyerbu Yogyakarta. Walau
sebelumnya Presiden Soekarno berkali-kali menyatakan akan
bergerilya jika Belanda menyerang, dia bersama banyak pemimpin
lain termasuk Hatta, Sjahrir dan Surjadarma memilih untuk
mengibarkan bendera putih dan menyerah. Dalam Memoirnya, Bung
Hatta menjelaskan, keputusan Presiden dan Wapres tetap tinggal
dalam kota diambil melalui pemungutan suara di antara anggota
kabinet yang hadir. Alasannya antara lain karena tidak adanya
satu batalion tentara untuk mengawal para pemimpin itu ke luar
kota.
Mungkin buat para pemimpin sipil menyerah serta tertawan bukan
sesuatu yang memalukan. Buat pihak tentara hal ini dianggap noda
hitam. Nasution malah menganggap peristiwa itu "puncak
kehinaan".
PERISTIWA 17 Oktober 1952 bisa dianggap sebagai ledakan
ketidakpuasan militer pada pemerintah dan sistem politik yang
berlaku. Pihak tentara sudah lama memendam kekecewaan pada
partai politik yang dianggap selalu berusaha menjatuhkan
kabinet. Diterimanya mosi Manai Sophian pada 14 Oktober 1952
yang menuntut peninjauan kembali kepemimpinan dan organisasi
Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang, menggusarkan pihak
tentara.
Rapat panglima di Jakarta memutuskan untuk membuat pernyataan
yang akan disampaikan kepada Presiden. Pada 17 Oktober pagi itu
terjadi demonstrasi ribuan orang, yang didukung tentara,
menuntut dibubarkannya DPR Sementara dan agar segera
diselenggarakan pemilihan umum. Para demonstran itu merusak
ruang sidang DPRS dan kemudian mendatangi Istana Merdeka.
Sementara itu di depan Istana muncul pasukan dengan meriam yang
diarahkan ke Istana. Di depan demonstran, Presiden Soekarno
menegaskan penolakannya menjadi diktator. Pendirian yang sama
diulangi Soekarno pada rombongan perwira TNI yang kemudian
menghadapnya.
Sikap tentara dalam peristiwa ini menunjukkan makin kuatnya
ketidakpercayaan pihak militer pada pemerintahan sipil dan
sistem politik yang berlaku yang dianggap tidak menjamin adanya
stabilitas.
Silih bergantinya kabinet dalam sistem liberal waktu itu, pihak
sipil yang dianggap tentara berusaha mencampuri urusan mtern
mereka, berbagai pertentangan dalam tubuh TNI sendiri seperti
tercermin dalam Peristiwa Bambang Utoyo, serta hasil Pemilu 1955
yang ternyata tetap mempertahankan sistem multi-partai, makin
menghilangkan kepercayaan tentara pada kepemimpinan sipil.
Sewaktu Nasution diangkat kembali sebagai KSAD, diusahakan untuk
membuat pedoman bagi konsep dwifungsi yang mulai tumbuh ini
melalui suatu panitia yang diketuai Kolonel Mokoginta dan Letkol
Suwarto. Waktu itu telah mulai dikenal "operasi karya" dan
"kekaryaan". Secara lebih jelas konsep itu kemudian diungkapkan
KSAD Nasution dalam pidatonya di Akademi Militer Magelang pada
11 November 1958.
Di situ Nasution antara lain menegaskan "Posisi TNI bukanlah
sekedar alat sipil di negara-negara Barat dan bukan pula sebagai
rezim militer yang memegang kekuasaan negara. Ia adalah suatu
kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan
kekuatan rakyat lainnya."
Prof. Djojosutono, sarjana hukum ketatanegaraan yang terkemuka
pada waktu itu, kemudian menyebut rumusan tersebut "Jalan Tengah
TNI".
Diberlakukannya kembali UUD 1945 makin memperkuat posisi
Angkatan Darat yang segera menyatakan diri sebagai golongan
fungsional dan diwakili dalam Front Nasional.
Gagalnya Gerakan 30 September 1965 menghancurkan PKI, disusul
jatuhnya Bung Karno, hingga tiada lagi "saingan" bagi Angkatan
Darat. Muncullah sebagai satu-satunya kekuatan yang dominan
dalam konstelasi politik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini