Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang meluncur tanpa saingan

Dwifungsi ABRI dianggap lahir karena kekecewaan militer pada kepemimpinan sipil. peristiwa 17 oktober 1952 merupakan puncak ketidakpuasan abri pada pemerintah & sistem politik yang berlaku.

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DWIFUIGSI ABRI, seperti dikatakan T.B. Simatupang, "bukan sesuatu yang jatuh dari langit dalam bentuk yang jadi". Ia lahir, tumbuh dan berkembang. Riwayat kelahirannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah Republik Indonesia, dan akarnya diawali jauh sebelum 1945. Mungkin karena latar belakang pendidikan yang membentuk persepsi mereka, para pemlmpm pergerakan nasional saat itu seperti Soekarno dan Hatta, tak pernah merencanakan perjuangan kemerdekaan lewat suatu perjuangan bersenjata. Perjuangan mencapai Indonesia Merdeka, menurut Bung Karno, bukan dilakukan dengan bom dan dinamit, tapi melalui suatu aksi-massa yang radikal. Cara berpikir ini ternyata bertentangan dengan pandangan para pemuda.yang tampil menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan. Para tokoh seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir cenderung memilih siasat "perundingan", sedang para pemuda memilih "perjuangan". Perbedaan pandangan inilah yang kemudian menumbuhkan pertentangan antara "sipil" dan "militer" yang ternyata berkepanjangan. Hubungan antara kedua sayap ini setelah kemerdekaan, diawali dengan start yang kurang baik. Pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Soekarno dan Wapres Hatta, tidak memandang perlu untuk segera membentuk suatu tentara nasional karena meragukan kegunaannya. Mereka percaya lewat jalan perundingan kemerdekaan akan bisa dipertahankan. Pada 22 Agustus 1945 dibentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang, yang juga meliputi suatu Badan Keamanan Rakyat (BKR). Statusnya di bawah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sedang tugasnya menjaga keamanan bersama rakyat dan badan negara lainnya. Pemerintah pusat berkali-kali menunjukkan kekurang mengertiannya pada bidang militer. Misalnya pada 20 Oktober pemerintah mengangkat Mohamad Suljoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan adinterim, seseorang yang kurang dikenal dan dihargai hingga ia pernah ditahan TIR Surabaya. Ketiadaan pimpinan mendorong TKR menyelenggarakan suatu pertemuan di Yogyakarta pada 12 November guna memilih panglima dan Menteri Pertahanan. Lewat pemungutan suara, Soedirman terpilih sebagai Panglima Besar sedang Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan. Dua hari setelah itu PM Sjahrir menunjuk Amir Sjarifudin sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinetnya yang baru terbentuk. Ini makin merenggangkan hubungan pihak militer dan pemerintah. Puncak kekecewaan tentara pada pemerintah terjadi pada 19 Desember 1948 tatkala Belanda menyerbu Yogyakarta. Walau sebelumnya Presiden Soekarno berkali-kali menyatakan akan bergerilya jika Belanda menyerang, dia bersama banyak pemimpin lain termasuk Hatta, Sjahrir dan Surjadarma memilih untuk mengibarkan bendera putih dan menyerah. Dalam Memoirnya, Bung Hatta menjelaskan, keputusan Presiden dan Wapres tetap tinggal dalam kota diambil melalui pemungutan suara di antara anggota kabinet yang hadir. Alasannya antara lain karena tidak adanya satu batalion tentara untuk mengawal para pemimpin itu ke luar kota. Mungkin buat para pemimpin sipil menyerah serta tertawan bukan sesuatu yang memalukan. Buat pihak tentara hal ini dianggap noda hitam. Nasution malah menganggap peristiwa itu "puncak kehinaan". PERISTIWA 17 Oktober 1952 bisa dianggap sebagai ledakan ketidakpuasan militer pada pemerintah dan sistem politik yang berlaku. Pihak tentara sudah lama memendam kekecewaan pada partai politik yang dianggap selalu berusaha menjatuhkan kabinet. Diterimanya mosi Manai Sophian pada 14 Oktober 1952 yang menuntut peninjauan kembali kepemimpinan dan organisasi Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang, menggusarkan pihak tentara. Rapat panglima di Jakarta memutuskan untuk membuat pernyataan yang akan disampaikan kepada Presiden. Pada 17 Oktober pagi itu terjadi demonstrasi ribuan orang, yang didukung tentara, menuntut dibubarkannya DPR Sementara dan agar segera diselenggarakan pemilihan umum. Para demonstran itu merusak ruang sidang DPRS dan kemudian mendatangi Istana Merdeka. Sementara itu di depan Istana muncul pasukan dengan meriam yang diarahkan ke Istana. Di depan demonstran, Presiden Soekarno menegaskan penolakannya menjadi diktator. Pendirian yang sama diulangi Soekarno pada rombongan perwira TNI yang kemudian menghadapnya. Sikap tentara dalam peristiwa ini menunjukkan makin kuatnya ketidakpercayaan pihak militer pada pemerintahan sipil dan sistem politik yang berlaku yang dianggap tidak menjamin adanya stabilitas. Silih bergantinya kabinet dalam sistem liberal waktu itu, pihak sipil yang dianggap tentara berusaha mencampuri urusan mtern mereka, berbagai pertentangan dalam tubuh TNI sendiri seperti tercermin dalam Peristiwa Bambang Utoyo, serta hasil Pemilu 1955 yang ternyata tetap mempertahankan sistem multi-partai, makin menghilangkan kepercayaan tentara pada kepemimpinan sipil. Sewaktu Nasution diangkat kembali sebagai KSAD, diusahakan untuk membuat pedoman bagi konsep dwifungsi yang mulai tumbuh ini melalui suatu panitia yang diketuai Kolonel Mokoginta dan Letkol Suwarto. Waktu itu telah mulai dikenal "operasi karya" dan "kekaryaan". Secara lebih jelas konsep itu kemudian diungkapkan KSAD Nasution dalam pidatonya di Akademi Militer Magelang pada 11 November 1958. Di situ Nasution antara lain menegaskan "Posisi TNI bukanlah sekedar alat sipil di negara-negara Barat dan bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan negara. Ia adalah suatu kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya." Prof. Djojosutono, sarjana hukum ketatanegaraan yang terkemuka pada waktu itu, kemudian menyebut rumusan tersebut "Jalan Tengah TNI". Diberlakukannya kembali UUD 1945 makin memperkuat posisi Angkatan Darat yang segera menyatakan diri sebagai golongan fungsional dan diwakili dalam Front Nasional. Gagalnya Gerakan 30 September 1965 menghancurkan PKI, disusul jatuhnya Bung Karno, hingga tiada lagi "saingan" bagi Angkatan Darat. Muncullah sebagai satu-satunya kekuatan yang dominan dalam konstelasi politik Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus