Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Moral Untuk Menjembatani Lawan

Dick Nixon tokoh politik AS, berasal dari keluarga miskin. Setelah jadi presiden, tetap memusuhi orang yang mengkritiknya. Dia tidak memasang moral untuk menjembatani lawannya, selalu dirundung syak wasangka.

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RICHARD Nixon mungkin tipe orang yang tak banyak berbahagia. Dia tak dikenal bijak bicara dengan humor, pandai bersantai berbukan-bukan. Ia begitu serius. Agak pemalu. Mungkin juga "udik". Dia memang kelahiran pedalaman, 45 km dari Los Angeles, di sebuah dusun pertanian yang bernama Yorba Linda. Keluarganya miskin. "Bila kota kecil itu dingin," tulis seorang penyusun biografi Nixon, "rumah keluarga Nixon sangat, sangat dingin". Bapak, ibu dan anak-anak pun berpakaian tebal berdesak-desak di dapur, dekat kompor tempat masak. "Peluit kereta api adalah musik paling merdu yang waktu itu saya dengar," demikian Nixon mengenang. Ketika ia berumur 11 ia sudah bekerja sebagai buruh tani sambilan. Ia juga penunggu kedai kelontong bapaknya - ketika si bapak gagal jadi petani limau. Atau ia jadi tukang pompa bensin, pengantar barang dan entah apa lagi. Pendcknya sejak umur 16 tahun, Nixon sudah terbiasa bekerja 16 jam sehari, buat cari nafkah seraya sekolah. Di sekolah dia anak yang bersungguh-sungguh. Dia selalu ingin menang bertanding, baik dalam debat ataupun bola. Dan dengan ketegangan hati. Kawan masa remajanya bisa mengingat bagaimana Dick Nixon biasa hilang selera untuk makan sebelum pertandingan -hingga mereka berebutan duduk dekat anak dari dusun Yorba Linda itu, buat menyikat porsinya. Nasib kemudian meletakkannya sebagai tokoh politik yang harus bertarung dengan John Kennedy. Sebu ah kontras yang hampir lengkap: bila Nixon berasal dari rumah kecil yang kena dingin, Kennedy adalah anak kalangan atas yang penuh buku-pesta-dan-cinta. Bila Nixon seorang yang --dengan kepahitan masa muda --nampak masam di muka orang banyak, Kennedy dengan tawa dan kata-kata bisa jadi magnet orang sekitar. Dan dalam persaingan untuk kursi kepresidenan 1960 itu, Nixon kalah. Ia tak bisa melupakan pukulan ini. Ia merasa, dan selalu merasa, bahwa ia telah dipermak oleh pers. Para pelukis kartun (terutama Herblock dari Washington Post), memang melontarkan gambaran tentang Nixon yang nyaris seram, dan tak mudah dilupakan: bulu mukana membayang gelap, hidungnya mencocor, dagunya menggerowal. Tak heran bila Nixon bukan saja berhenti berlangganan Washington Post, (dengan alasan ia tak ingin putri-putrinya melihat kartun Herblock). Ia juga memusuhi koran terkemuka itu sampai ke ulu hati. "Musuh selalu merupakan hal yang pokok bagi dirinya," tulis David Halberstam dalam The Pouers That Be, yang melukiskan secara mengasyikkan konflik Nixon dengan pers. Nixon bahkan seakan membutuhkan musuh-musuh itu, "seperti sebagian orang perlu menggigit untuk melawan rasa gigi yang sakit." Dan ketika ia jadi Presiden, di tahun 1968, permusuhannya tak ia hentikan. Ia tak mengulurkan tangan. Ia ingin membalas, "memo tong mereka, melumatkan mereka", untuk memakai kata-kata David Halberstam. Adapun "mereka" yang dimaksud itu termasuk juga kalangan cendekiawan umumnya, terutama dari universitas-universitas tersohor. Mereka inilah kaum Establishment, yang pintar, berpengaruh, terpandang, punya glamor, tapi angkuh--kaum "ningrat " yang memandang enteng anak miskin yang naik dari udik. Kadang memang orang-orang pintar yang gemar mengkritik itu menjengkelkan. Bahkan tak adil. Nixon toh bukannya tanpa prestasi. Tapi patutkah sebenarnya Nixon, dalam posisinya ketika itu, tetap merasa tak aman dan menganggap perdebatan politik sebagai pergulatan hidup-mati? Henry Kissinger, di bagian lanjutan memoirsnya yang dimuat Time 8 Maret yang lalu, memahami sikap bekas Presidennya itu. Tapi ia juga menyesalinya: "Seorang Presiden tak dapat menghalalkan tindakannya yang menyeleweng dengan alasan bahwa lawan-lawannya juga berlebih-lebihan. Merupakan tugasnyalah untuk memasang ukuran moral, untuk membangun jembatan ke arah lawan-lawannya". Tapi itulah yang tak dilakukan Nixon, yang dirundung syakwasangka, yang tak bisa tenteram dan tak berbahagia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus