RICHARD Nixon mungkin tipe orang yang tak banyak berbahagia. Dia
tak dikenal bijak bicara dengan humor, pandai bersantai
berbukan-bukan. Ia begitu serius. Agak pemalu. Mungkin juga
"udik".
Dia memang kelahiran pedalaman, 45 km dari Los Angeles, di
sebuah dusun pertanian yang bernama Yorba Linda. Keluarganya
miskin. "Bila kota kecil itu dingin," tulis seorang penyusun
biografi Nixon, "rumah keluarga Nixon sangat, sangat dingin".
Bapak, ibu dan anak-anak pun berpakaian tebal berdesak-desak di
dapur, dekat kompor tempat masak. "Peluit kereta api adalah
musik paling merdu yang waktu itu saya dengar," demikian Nixon
mengenang.
Ketika ia berumur 11 ia sudah bekerja sebagai buruh tani
sambilan. Ia juga penunggu kedai kelontong bapaknya - ketika si
bapak gagal jadi petani limau. Atau ia jadi tukang pompa bensin,
pengantar barang dan entah apa lagi. Pendcknya sejak umur 16
tahun, Nixon sudah terbiasa bekerja 16 jam sehari, buat cari
nafkah seraya sekolah.
Di sekolah dia anak yang bersungguh-sungguh. Dia selalu ingin
menang bertanding, baik dalam debat ataupun bola. Dan dengan
ketegangan hati. Kawan masa remajanya bisa mengingat bagaimana
Dick Nixon biasa hilang selera untuk makan sebelum pertandingan
-hingga mereka berebutan duduk dekat anak dari dusun Yorba Linda
itu, buat menyikat porsinya.
Nasib kemudian meletakkannya sebagai tokoh politik yang harus
bertarung dengan John Kennedy. Sebu ah kontras yang hampir
lengkap: bila Nixon berasal dari rumah kecil yang kena dingin,
Kennedy adalah anak kalangan atas yang penuh
buku-pesta-dan-cinta. Bila Nixon seorang yang --dengan kepahitan
masa muda --nampak masam di muka orang banyak, Kennedy dengan
tawa dan kata-kata bisa jadi magnet orang sekitar.
Dan dalam persaingan untuk kursi kepresidenan 1960 itu, Nixon
kalah.
Ia tak bisa melupakan pukulan ini. Ia merasa, dan selalu merasa,
bahwa ia telah dipermak oleh pers. Para pelukis kartun (terutama
Herblock dari Washington Post), memang melontarkan gambaran
tentang Nixon yang nyaris seram, dan tak mudah dilupakan: bulu
mukana membayang gelap, hidungnya mencocor, dagunya
menggerowal.
Tak heran bila Nixon bukan saja berhenti berlangganan Washington
Post, (dengan alasan ia tak ingin putri-putrinya melihat kartun
Herblock). Ia juga memusuhi koran terkemuka itu sampai ke ulu
hati.
"Musuh selalu merupakan hal yang pokok bagi dirinya," tulis
David Halberstam dalam The Pouers That Be, yang melukiskan
secara mengasyikkan konflik Nixon dengan pers. Nixon bahkan
seakan membutuhkan musuh-musuh itu, "seperti sebagian orang
perlu menggigit untuk melawan rasa gigi yang sakit."
Dan ketika ia jadi Presiden, di tahun 1968, permusuhannya tak ia
hentikan. Ia tak mengulurkan tangan. Ia ingin membalas, "memo
tong mereka, melumatkan mereka", untuk memakai kata-kata David
Halberstam.
Adapun "mereka" yang dimaksud itu termasuk juga kalangan
cendekiawan umumnya, terutama dari universitas-universitas
tersohor. Mereka inilah kaum Establishment, yang pintar,
berpengaruh, terpandang, punya glamor, tapi angkuh--kaum
"ningrat " yang memandang enteng anak miskin yang naik dari
udik.
Kadang memang orang-orang pintar yang gemar mengkritik itu
menjengkelkan. Bahkan tak adil. Nixon toh bukannya tanpa
prestasi. Tapi patutkah sebenarnya Nixon, dalam posisinya ketika
itu, tetap merasa tak aman dan menganggap perdebatan politik
sebagai pergulatan hidup-mati?
Henry Kissinger, di bagian lanjutan memoirsnya yang dimuat Time
8 Maret yang lalu, memahami sikap bekas Presidennya itu. Tapi ia
juga menyesalinya: "Seorang Presiden tak dapat menghalalkan
tindakannya yang menyeleweng dengan alasan bahwa lawan-lawannya
juga berlebih-lebihan. Merupakan tugasnyalah untuk memasang
ukuran moral, untuk membangun jembatan ke arah lawan-lawannya".
Tapi itulah yang tak dilakukan Nixon, yang dirundung
syakwasangka, yang tak bisa tenteram dan tak berbahagia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini