Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Apakah Ia Masih Haram?

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKAN adakah voting dalam Sidang Istimewa MPR pekan ini? Sementara di era Soeharto voting atawa pemungutan suara seolah menjadi barang haram yang tidak boleh dilakukan, mungkinkah peristiwa yang sebenarnya wajar dalam demokrasi itu terwujud di era reformasi ini?

Bukan tidak mungkin voting akan terjadi. Sinyal ke arah itu telah dibunyikan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP). Melalui ketuanya, Faisal Baasir, FPP mengancam akan melakukan voting terhadap materi SI yang dianggap tidak sesuai dengan aspirasi FPP. Bahkan tidak tertutup kemungkinan FPP juga akan melakukan walkout. "Walkout itu kan tidak melanggar sistem. Meninggalkan rapat itu hal yang wajar saja," kata Faisal seperti dikutip Kompas.

Ancaman Faisal itu bukan tidak beralasan. Soalnya, SI kali ini bisa dipastikan hanya akan menjadi ajang ketok palu. Beberapa rancangan ketetapan (rantap) yang dihasilkan Badan Pekerja MPR jelas-jelas memihak dan hanya akan menguntungkan status quo. Dengan demikian, "perlawanan" hanya dapat dilakukan melalui voting.

Persoalannya, mungkinkah voting dilakukan? Sekretaris Jenderal DPR/MPR Afif Ma’roef tidak menutup kemungkinan cara yang satu itu dilakukan dalam mencari suara terbanyak. Secara teknis, menurut Ma’roef, ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama dengan tunjuk tangan atau berdiri, kedua dengan mengisi kertas suara yang kemudian dimasukkan ke dalam kotak. Khusus yang terakhir itu bisa dilakukan untuk pemilihan yang menyangkut nama orang. Ia bahkan mengaku sudah mempersiapkan setidaknya seribu kertas suara atau kelipatannya, tergantung jumlah rapat yang akan diadakan di SI.

Tapi cara itu tidak menjamin voting bisa dilakukan dengan bebas. Pasalnya, dengan tunjuk tangan, bisa saja dalam isu-isu yang sensitif, orang jadi tidak berani melakukan voting karena takut dikenali identitasnya. Misalnya dalam isu kursi ABRI di DPR. FPP curiga banyak anggota fraksi lain tidak berani mendukung gagasan "parlemen tanpa militer", yang dengan keras diteriakkan FPP, dengan alasan takut dikenali tadi.

Karena itu, pada 2 November lalu FPP mengirim surat resmi kepada pimpinan MPR. Intinya, mereka meminta agar mekanisme voting dilengkapi dengan peralatan elektronik seperti yang sering digunakan di negara maju. Dengan demikian, kerahasiaan voting dapat terjamin. Sayang, dalam rapat konsultasi antarpimpinan MPR Sabtu lalu, diputuskan bahwa usul itu tidak dapat diterima dengan alasan MPR tidak memiliki dana untuk mewujudkan usul itu. Artinya, ya, kandas.

Tapi, di luar soal teknis tersebut, voting--yang bukan cuma basa-basi, tentu--tampaknya tetap barang haram dalam SI kali ini. Anggota-anggota MPR yang masih warisan Orde Baru itu tetap sulit menerima perbedaan pendapat. Maka suara individu tidak akan terdengar dalam SI yang menelan biaya Rp 20 miliar tersebut dan keputusan fraksi adalah mutlak. FKP, misalnya, jauh-jauh hari telah membicarakan materi SI dalam fraksi. Sedangkan FPDI, dengan jumlah personel yang sangat kecil, juga tidak bisa berbuat banyak. Belum lagi suasana SI sendiri telah diset untuk tidak mendukung voting. Mikrofon, misalnya, hanya akan ada di podium dan itu hanya bisa "dimainkan" oleh juru bicara fraksi.

Di luar soal itu, perdebatan soal voting ini sesungguhnya bukan barang baru. Berdemokrasi melalui voting sesungguhnya telah dimulai para pendiri negeri ini. Pada 10 Juli 1945, stem (voting) telah digunakan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia untuk menentukan bentuk negara Indonesia. Hasilnya, republik mendapat 55 suara, kerajaan 6, lain-lain 2, dan blangko 1. Selain itu, voting pernah dipraktekkan dalam penentuan batas negara dan sumpah presiden.

Dalam UUD 1945 sendiri, perkara voting ini bukan tidak pernah dibicarakan. Dalam pasal 2 ayat 3 disebutkan, "Segala Ketetapan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak." Lalu pasal 6 ayat 2 berbunyi, "Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak." Artinya, ada landasan konstitusi untuk melakukan voting.

Nah, kalau sejarah dan konstitusi saja telah memberikan contoh, lalu mengapa sekarang voting haram untuk dilaksanakan?

Arif Zulkifli, Ardi Bramantyo, Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus