Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Misteri 14 Mei

Tim Gabungan Pencari Fakta merekomendasikan pemerintah menyelidiki pertemuan di Makostrad, 14 Mei lalu. Padahal, persoalan yang lebih menarik: mengapa para jenderal meninggalkan Jakarta pada hari itu?

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akankah peristiwa kerusuhan 13-15 Mei terungkap secara tuntas? Pertanyaan ini mencuat setelah laporan Tim Gabungan Pencari Fakta yang diumumkan Selasa, 3 November lalu, mendapatkan berbagai reaksi keras. Utamanya terhadap rekomendasi agar pemerintah menyelidiki pertemuan 14 Mei di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, sebagai upaya menyibak peranan Letjen Prabowo Subianto dan kelompoknya dalam kerusuhan yang mengharubirukan Jakarta itu.

Salvo pertama protes diutarakan oleh para peserta pertemuan yang dituding. Hashim S. Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo, menggelar konferensi pers keesokan harinya. Pengusaha beken ini ditemani oleh Fadli Zon dan Farid Prawiranegara, yang juga hadir dalam acara di depan Stasiun Gambir itu. Menurut Hashim, pertemuan itu sangat terbuka dan melibatkan banyak orang sehingga tak mungkin menyangkut rencana makar. Apalagi acara itu bukan prakarsa abangnya, melainkan Adnan Buyung Nasution.

"Saya ambil inisiatif untuk bertemu dengan kawan-kawan karena saya sudah muak dengan fitnahan, dan saya anggap ini fitnahan yang luar biasa," kata Hashim. Ia lantas membeberkan isi pembicaraan yang menyangkut perkembangan keadaan terakhir dan ajakan Prabowo untuk membantu pengendalian keadaan, kritik Adnan Buyung terhadap pemerintahan Soeharto, dan soal penembakan mahasiswa Trisakti, yang dijawab Prabowo dengan menyatakan berani bersumpah di atas Alquran bahwa ia tak pernah memerintahkan penembakan kepada mahasiswa.

Keterangan ini umumnya dibenarkan oleh Adnan Buyung Nasution dalam kesempatan yang terpisah. Namun, tokoh pembela hak asasi manusia ini menyatakan bahwa ia bukan pemrakarsa pertemuan, tapi hadir atas undangan telepon W.S. Rendra. Uniknya, peserta yang lain, Setiawan Djody, bersikeras pertemuan itu diadakan karena Adnan Buyung Nasution meneleponnya meminta bantuan untuk bertemu dengan Prabowo. Djody, setelah berembuk dengan Rendra, mengontak Fahmi Idris, yang kemudian mengontak balik dan menyatakan Prabowo bersedia bertemu dengan mereka di kantornya.

Lantas bagaimana sebenarnya hasil temuan TGPF yang kemudian, antara lain, merekomendasikan penyelidikan atas pertemuan ini? Untuk menguak misteri ini, TEMPO menelusuri laporan lengkap TGPF berdasarkan wawancara dengan sejumlah pejabat militer dan sipil. Berikut ini adalah rekapitulasi penelusuran itu:

Selasa, 12 Mei 1998

Terjadi insiden penembakan mahasiswa Trisakti. Panglima Komando Operasi langsung memerintahkan keadaan siaga satu ke seluruh jajaran keamanan. Menurut Komandan Jenderal Marinir Mayjen Suharto, perubahan keadaan dari siaga tiga menjadi siaga dua lalu ke siaga satu itu diterima pada pukul 21.25 WIB. Kekuatan pengamanan terdiri atas 17 ribu anggota Kepolisian RI dan 10.364 pasukan pendamping, yang terdiri atas 5.764 pasukan lain-lain (17 unsur) serta 4.600 pasukan Kodam Jaya.

Prabowo mengaku berada di rumah ketika ditelepon Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin tentang tertembaknya mahasiswa Trisakti sekitar pukul 20.00. Ia kemudian berangkat ke kantornya, Markas Kostrad, untuk menyiapkan pasukan tambahan.

Rabu, 13 Mei 1998

Upaya pengamanan keadaan yang semakin genting oleh polisi hanya berhasil sampai upacara pemakaman mahasiswa yang tewas selesai. Kerusuhan mulai terjadi di Jakarta Barat dan beberapa lokasi lainnya. Sementara itu, menurut Kasdam Jaya Brigjen Sudi Silalahi, atas perintah Pangkoops ia mengontak para panglima komando utama di Jakarta dan di luar Jakarta untuk meminta bantuan. "Saya langsung kendalikan bagaimana pemberangkatan Hercules ke Solo, Malang, Surabaya untuk angkut pasukan ke Jakarta hingga pada tanggal 14 sudah terkumpul 13.983 pasukan dan disusun dalam SSK-SSK," katanya kepada TGPF. Pada hari ini, Kapolda Hamami Nata melaporkan kepada Kapolri bahwa pihaknya sudah kewalahan menghadapi situasi amukan massa yang marah kepada aparat kepolisian karena peristiwa penembakan mahasiswa, dan sesuai dengan prosedur SK 658 Pangab maka Pangkoops mengambil alih kemudi pengamanan. "Apabila seorang Kapolda di dalam mengendalikan wilayah dia merasa sudah tidak mampu, dengan sudah minta backup dan sebagainya, dia melaporkan kepada Kapolri dan ini sudah saya lakukan. Dan ini saya lakukan. Kapolri, ini situasi sudah begini. Saya kira satuan kita sudah turun dan harus diambil alih Pangab. ?Apa memang betul?? dua kali beliau tanya begitu," tutur Mayjen Hamami Nata. Pihak kepolisian mengalami kesulitan mengendalikan massa di lapangan karena merasa pasukan pendamping tidak terlalu mendukung upaya polisi membubarkan massa. Bahkan markas polisi diserbu, hingga tercatat 22 markas polisi dibakar dan dirusak berat dan sejumlah besar lainnya mengalami kerusakan ringan akibat lemparan batu. Pengalihan kendali pengamanan dari Kapolda ke Pangkoops Jaya membuat Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin memutuskan memindahkan pos koordinasi ke Markas Garnisun yang terletak bersebelahan dengan Markas Kostrad di Jalan Merdeka Selatan.

Sementara itu, melihat keadaan yang semakin rusuh, Panglima Kostrad Letjen Prabowo Subianto mengambil inisiatif mengontak Markas Besar ABRI dan mengusulkan agar kunjungan Pangab dan rombongan ke acara gelar Pasukan Pemukul Reaksi Cepat Kostrad di Malang yang dijadwalkan pada 14 Mei ditunda. "Keputusan dari Mabes ABRI tidak ditunda dan Pangab berkenan hadir. Saya juga tanya apakah Pangkostrad juga akan hadir di Malang, apa tidak sebaiknya di Jakarta. Tetapi keputusan dari Mabes ABRI tetap, ke Malang," kata Prabowo kepada TGPF.

Keputusan Pangab untuk tetap pergi ke Malang kendati keadaan mulai rusuh dianggap wajar oleh Kepala Pusat Penerangan ABRI Mayjen Syamsul Maarif. "Itu urusan Pangab berangkat ke Malang. Pengamanan di Ibu Kota Jakarta sudah dilimpahkan ke Pangdam Jaya sebagai penanggung jawab Kodam," katanya.

Kamis, 14 Mei 1998

Menurut keterangan Prabowo Subianto, ia sudah berada di Bandar Udara Halim Perdanakusuma pada pukul 6 pagi bersama para pejabat teras rombongan Pangab yang "cukup banyak jumlahnya". Rombongan lalu terbang ke Malang untuk menghadiri acara yang sudah disiapkan sebulan sebelumnya itu. Sementara itu, menurut pengakuan Komandan Jenderal Marinir Mayjen Suharto, ia bersama KSAL terbang dengan helikopter untuk mengikuti upacara pemanfaatan lahan tidur TNI-AL di Jonggol, yang diadakan pukul 9 pagi.

Adapun kepulangan rombongan Pangab dari Malang ternyata dipercepat hingga rombongan kembali mendarat di Halim sekitar pukul 12.30--dari jadwal semula pukul 14.00. "Dipercepat pulangnya karena sewaktu kami di Malang, kami dengar telepon-telepon ke Pangab di ruang VIP tentang kerusuhan di Jakarta," kata Prabowo.

Sesampai di Jakarta, Prabowo menyatakan langsung menuju ke Markas Kostrad dan melihat ada helikopter Pangkoops di helipad Makostrad (Markas Garnisun tidak memiliki helipad). Ia lantas bertemu dengan Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin di Markas Garnisun, kemudian diajak terbang dengan helikopter dan menyaksikan berbagai aksi pembakaran sudah terjadi. Setelah kembali mendarat di Makostrad, Prabowo berangkat ke Kantor ICMI di Gedung Departemen Agama untuk memenuhi jadwal pertemuan dengan Ahmad Tirtosudiro pada pukul 16.00. "Karena Pak Ahmad Tirtosudiro kan bagaimanapun Ketua ICMI pada saat itu, dan saya berharap ia dapat membantu menenangkan massa," kata Prabowo. Namun, tokoh yang akan ditemuinya itu tak ada di tempat. Maka ia kembali ke Kostrad dan dalam perjalanan menyaksikan kerumunan yang mulai beringas di sekitar Jalan M.H. Thamrin. Karena itu, ia mengaku langsung menemui Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin dan mengajaknya berpatroli mengamankan keadaan. "Saya lihat ada 16 panser yang parkir di depan Departemen Hankam mengamankan Dephankam dan Mabes ABRI. Saya bilang, saran saya, 16 panser itu jangan nongkrong saja. Sebagian suruh patroli sepanjang Sudirman-Thamrin mencegah pembakaran," tutur Prabowo. Saran itu rupanya diterima. Sjafrie kemudian bersama Prabowo dan Danjen Kopassus Mayjen Muchdi membawa delapan panser untuk berpatroli hingga sekitar magrib, dan ketika sampai di Kostrad telah ditunggu sejumlah tamu: Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djody, W.S. Rendra, dan lain-lain. Acara itu selesai dengan santap malam. Dan Prabowo kemudian menghadiri rapat paparan keadaan oleh Pangkoops di Markas Garnisun, yang dihadiri oleh Pangab serta para pejabat teras militer lainnya. Di akhir rapat, Pangab menawari para peserta untuk memberikan usulan. Menurut Mayjen Suharto, hanya dia dan Prabowo yang menanggapi tawaran itu. Prabowo mengusulkan agar Jakarta dibagi dalam beberapa sektor, dan tanggung jawab sektor diberikan kepada satu unit kesatuan. Suharto mengusulkan agar semua kendaraan lapis baja dikeluarkan untuk memperkuat efek pasukan keamanan. Setelah rapat bubar, Prabowo berpatroli dan dengan ditemani Ketua GP Ansor Iqbal Assegaf ia sempat berkunjung ke rumah Ketua PBNU Abdurrahman Wahid sekitar pukul 1 subuh.

Jumat, 15 Mei 1998

Keadaan mulai dapat dikuasai oleh pihak keamanan. Presiden Soeharto tiba di Jakarta dari kunjungan ke Kairo, dua hari lebih cepat dari jadwal semula.

Sabtu, 16 Mei 1998

Pasukan Pemukul Reaksi Cepat yang diperintahkan membantu pengamanan tiba di Jakarta.

Bambang Harymurti, Hani Pudjiarti, Darmawan Sepriyosa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus