TERNYATA, tak semua abang becak di Jakarta terserang wabah cemas. Di kompleks perumahan Berlan, Kecamatan Matraman, Jakarta Pusat, pekan lalu, sekitar 50 becak bewarna biru tua tampak berjejer rapi. Tak ada kesan bahwa razia becak sedang mengintip di mana-mana. Tapi becak di permukiman angkatan darat itu memang tampak tertib. Penumpang, misalnya, tidak diperebutkan karena sudah ada sistem antrean. Demikian juga daerah kerja becak sudah tertentu. Yakni sekitar jalan kompleks sepanjang 5 km yang menghubungkan 1.400-an rumah. Tampaknya, beberapa puluh becak yang terlihat itu merupakan "sisa" operasi penggarukan, yang Desember lalu menyita sekitar 70 becak dari kawasan ini. Namun, sejak itu kembali "aman". Terbukti, seorang juragan becak di kawasan ini, konon, malah baru saja membeli 30 becak dari kawasan lain. Dan sebuah studi tentang becak di Jakarta, yang dilakukan pada 1986-1987, memang menyarankan agar becak di daerah ini dibiarkan. Bahkan studi oleh Center for Policy Implementation Studies (CPIS), sebuah lembaga di bawah Departemen Keuangan, berkesimpulan bahwa sistem di Berlan ini mungkin memberikan alternatif penertiban masalah becak yang menguntungkan juragan, pengayuh, dan konsumennya. Kesimpulan penelitian ini cukup menarik untuk disimak. Kondisi perbecakan pada 1986 dianggap paling buruk. Keadaan ekonomi yang buruk ketika itu jelas tak memungkinkan upaya penghapusan becak. Pasalnya, penghapusan becak tak mungkin dilakukan tanpa melakukan dua hal: memberikan pekerjaan pengganti yang menghasilkan pendapatan setara atau lebih, dan memberikan alternatif angkutan di daerah yang tak mempunyai sistem transportasi teratur. Soal pemberian pekerjaan pengganti ini memang sangat penting. Sebab, 91% dari 105 tukang becak yang diteliti CPIS ternyata tak punya pekerjaan lain selama berada di Jakarta. Dan mereka pindah ke Ibu Kota karena kesulitan lapangan pekerjaan. Sementara itu, menjadi pengayuh becak di Jakarta ternyata cukup mudah. Lebih dari dua pertiga (72%) mendapatkan pekerjaan ini dalam waktu kurang dari seminggu setelah tiba di Ibu Kota. Bahkan lebih dari sepertiga (39%) mendapatkannya pada hari pertama di Jakarta. Selain mudah, hasilnya lumayan. Menurut penelitian yang hasilnya sangat mirip dengan poll TEMPO ini, pendapatan mengayuh becak itu (Rp 4.638 per hari) adalah tiga kali lipat pendapatan mereka jika bertani di desa. Tak heran jika dalam sebulan mereka rata-rata dapat mengirim uang ke desa hampir Rp 30.000. Inilah bantuan bagi tanggungan mereka yang umumnya lebih dari tiga jiwa. Oleh sebab itu, wajarlah jika para tukang becak menganggap pekerjaannya cukup manusiawi. Mereka menganggap pekerjaannya lebih baik daripada pekerjaan lain yang pendapatannya lebih rendah atau bertransmigrasi. Malah hampir semua (93%) menyatakan enggan bertransmigrasi. Mereka bahkan lebih suka mengambil risiko berurusan dengan tibum. Terbukti lebih dari sepertiga (39%) responden pernah disita becaknya. Risiko ini cuma menyebabkan mereka lebih suka menyewa becak, kendati mampu membelinya setelah mengayuh selama 4-6 bulan. Padahal, jika lebih banyak lagi kompleks perumahan yang diperkenankan menampung becak seperti Berlan, persoalannya tentu menjadi lain. Tukang becak tentu lebih suka memiliki sendiri kendaraannya, karena lebih menguntungkan. Dan ini berarti peningkatan taraf hidupnya. Dan melihat menjamurnya perumahan real estate kelas rendah dan menengah belakangan ini, yang membutuhkan angkutan murah jarak dekat dan menengah bagi warganya, alternatif ini menjadi semakin menarik. Sebab, angkutan becak itu aman, bebas polusi, dan terasa lebih manusiawi daripada mencabut seseorang dari sumber nafkahnya. Bambang Harymurti dan Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini