Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka Kehilangan Tanah Pijakan

Penertiban becak di Jakarta menimbulkan berbagai ekses. Diantaranya, ada hansip tewas dikeroyok tukang becak, ada yang kehilangan mata pencaharian, ada pula mobil petugas yang disandera di portal.

3 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka Kehilangan Tanah Pijakan Penertiban becak menimbulkan berbagai ekses. Ada hansip tewas dikeroyok, ada yang kehilangan mata pencaharian, ada pula mobil tibum yang disandera di balik portal. ZAKIR Afdhal, 31 tahun, tengah menonton siaran TV, ketika suara gedoran keras terdengar dari pintu pagar rumahnya. Dari balik jendela, dia melonggok ke arah keributan itu. Juragan becak ini terkesiap. Dilihatnya sekumpulan orang berseragam mendorong-dorong pintu pagar besi rumahnya. Belum sempat Zakir menelepon ke Polda Metro Jaya, "Brang...," pintu pagarnya jebol. Belasan petugas, berseragam polisi dan tibum (ketertiban umum), dengan sigap menerobos masuk. "Kami sedang bertugas melakukan razia," kata salah seorang berseragam itu. Zakir kontan lemas. Dia hanya bisa melongo melihat petugas berseragam itu mengangkuti becaknya. Dalam tempo singkat, ke-26 becak di pekarangannya amblas. Aksi penggarukan itu terjadi pukul 23.00, di daerah Bendungan Hilir, Jakarta, pertengahan Januari lalu. "Saya nggak mengira, mereka bakal berani masuk pekarangan orang," kata Zakir jengkel. Mantan juragan becak yang lulusan Akademi Pimpinan Perusahaan itu kini meradang. Dia telah melaporkan aksi itu ke Polsek Metropolitan Tanah Abang, yang membawahkan Bendungan Hilir. "Tindakan itu melanggar hukum," ujarnya, sambil menyebut pasal 334-406 KUHP. "Saya pasti akan menggugat," katanya. Ambruknya usaha Zakir itu secara langsung memukul pula 40 orang tukang becak yang menjadi anak buahnya. Sebelum operasi garukan itu, mereka secara bergantian menggenjot becak milik Zakir, dengan ongkos sewa Rp 1.000-1.500 sehari, tergantung umur becaknya. Sistem sewa sehari penuh itu, pukul 06.00-21.00. dikenal dengan istilah batangan. Anak buah Zakir kini buyar entah ke mana. Ada yang terpaksa mudik ke desa masing-masing. Tapi ada pula yang mencoba terus bertahan, seperti halnya Kempung, 40 tahun. "Habis, pulang kampung mau kerja apa," ujarnya. Kempung pun kini harus berani mencuri-curi kesempatan menarik becak. Hanya saja, rezekinya kini bergantung pada kebaikan kawan-kawan seprofesinya yang masih "beruntung" menguasai becak, dengan imbalan ala kadarnya. Dengan cara nyodok ini, sehari dia paling hanya bisa menjaring rezeki Rp 1.000 bersih, jauh dari angka rata-rata Rp 4.000, yang dia peroleh ketika dia menarik secara batangan di zaman normal tempo hari. "Ya, namanya nasib," keluhnya polos. Sebenarnya, setelah operasi antibecak itu berlangsung, nasib mereka yang nyodok maupun batangan sama saja tidak amannya. Meleng sedikit saja, atau tak pandai main kucing-kucingan, bakal hilang becak dari tangan, disambar petugas tibum. Tak hanya polisi dan petugas tibum yang mengancam. Hansip pun kini mulai ikut beraksi: melarang abang becak memasuki jalan-jalan tertentu. Para hansip itu sebetulnya cuma mengamankan instruksi pejabat kelurahan. Namun, sempat pula terjadi insiden berdarah yang menelan korban jiwa seorang hansip Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, 4 Januari. Insiden itu muncul gara-gara sekelompok hansip melarang becak-becak melintas jalur rel kereta api yang memotong Jalan Pinangsia. Larangan itu untuk menghadang gerak becak dari Jakarta Barat ke Jakarta Utara, atau sebaliknya. Perlu diketahui, jalur kereta api itu merupakan pembatas antara kedua kota madya tadi. Dengan pelarangan itu, penjelajahan becak makin dijepit, untuk memudahkan operasi penggarukan. Namun, bagi tukang becak Waluyo, larangan itu sungguh dirasa menyakitkan. Waluyo pun melaporkannya kepada kawan-kawannya di Mangga Dua Bedeng. Spontan mereka, sekitar 20 orang, bergerak. Sebuah truk kosong yang lewat dicegat, lantas mereka menumpang secara paksa. Dekat pos hansip dekat pintu kereta itu, mereka turun ramai-ramai. Lantas, tanpa komando mereka menyerbu. Hansip Amud sempat melihat gelagat buruk. Bersama Latif dan Tijan, ia segera masuk gang, lalu meloncat pagar pengaman rel. Malang bagi Arifin dan Ma'ruf. Belum sempat bergerak, para penyerbu itu telah mengepung. Tendangan dan pukulan pun datang bertubi. Ma'ruf nekat menerjang kepungan. Dia lolos, kendati kepalanya bocor. Tapi Arifin, yang konon punya "penyakit bengong", tak beranjak. Ia pun jadi bulan-bulanan. Para pengeroyok itu baru pergi setelah melihat korbannya roboh tak berdaya. Arifin sempat dibawa ke rumah sakit, tapi sore harinya ia meninggal. Waluyo dan beberapa temannya kini sudah ditahan. Tukang becak belakangan memang tampak mulai berani melakukan perlawanan, mungkin karena merasa terancam kehilangan sumber kehidupannya. Kantor Kecamatan Tamansari paling tidak tiga kali didatangi oleh tukang becak. Sekali datang, "Mereka 50 orang lebih," ujar Rody Syafei, mantri polisi Tamansari. "Mereka teriak-teriak, tapi tak terjadi kerusuhan," tambah Rody. Pada dasarnya, kata Rody, tukang becak itu lugu-lugu. "Mereka mudah dikasih pengertian," ujarnya. Kalaupun ada tukang becak bertindak kasar, begitu pejabat kecamatan itu melihat, "Karena dihasut oleh bekingnya." Agaknya, agar tak terjadi insiden antarpetugas, dalam operasi pembersihan becak itu pihak Pemda DKI melibatkan pula pihak polisi dan militer, bahkan polisi militer. Rody mengakui, para petugas mendapatkan insentif selama operasi pembersihan berlangsung: Rp 2.500 untuk setiap becak yang bisa diringkus. Perlawanan terhadap operasi antibecak itu rupanya juga ditempuh lewat prosedur hukum. Hingga pekan ini, tak kurang dari 170 orang telah minta perlindungan hukum dari LBH Jakarta. Mereka sebagian adalah pemilik becak, termasuk Zakir Afdhal. Sempat pula terjadi insiden kecil yang unik di Kompleks Perumahan TNI-AU Curug Indah, Kelurahan Cipinang Melayu, Jakarta Timur, Sabtu pekan lalu. Ketika itu, pukul 11.00, petugas tibum datang dan meringkus becak-becak yang mangkal di depan kompleks. Sebagian lain lolos, lalu masuk ke jalan-jalan kecil di kompleks itu. Mobil tibum pun masuk ke dalam kompleks menguber becak. Uber-uberan pun terjadi, dan mengundang perhatian warga setempat, termasuk Walimin, sang kepala keamanan kompleks. Walimin segera turun tangan. Dia menghubungi seorang perwira menengah yang tinggal di situ. Lantas, mereka berdua menghadapi petugas tibum. Sang perwira TNI-AU itu menanyakan surat perintah, yang oleh petugas tibum diberi jawaban standar: "Kami hanya menjalankan tugas". Walimin, yang melihat tiga dari empat buah becaknya ikut diangkut petugas, tambah ngotot agar operasi tak dilanjutkan. Alhasil, rundingan di gardu hansip itu macet. Di tengah jalan buntu itu, Walimin -- dia bukan anggota TNI-AU -- cepat ambil inisiatif: dia perintahkan agar para hansip menutup dan mengunci portal di depan kompleks, sehingga mobil-mobil petugas tibum tertahan. Hampir dua jam, mobil-mobil petugas tibum itu tertahan, sampai akhirnya Kolonel Abdul Muluk, Ketua RW di situ, pulang dari kantor. Ternyata, Abdul Muluk punya pendapat lain. "Angkat semua becak. Ini keputusan pemerintah," kata Walimin, menirukan ucapan ketua RW-nya. Pintu portal pun segera terbuka, dan Walimin harus rela menerima gelar "mantan juragan". Operasi penertiban yang terus-menerus telah membuat becak kehilangan tanah pijakan. Kawasan Tebet, yang dulunya merupakan daerah subur, kini sepi dari dering bel becak. Kawasan padat semacam Menteng Dalam, Menteng Palbatu, Bendungan Hilir, Tomang, bersih dari becak sampai ke lorong-lorong gangnya. Sebagai gantinya, ojek sepeda motor merajalela di mana-mana. Di daerah pinggiran pun, operasi garukan itu sama galaknya. Kompleks militer pun tak dianggap tabu untuk digarap, seperti Kompleks Berlan (Matraman) dan Cijantung, keduanya masuk Jakarta Timur. "Garukannya seminggu bisa dua-tiga kali," ujar Parjo, abang becak yang beroperasi di Cijantung. Tak cuma menjaring mangsa di mulut kompleks, operasi penertiban itu juga menelusuri jalanan di tengah kompleks, termasuk Kompleks Kopassus. Sejauh ini, tak terjadi benturan di situ. Kini di Cijantung tak banyak becak yang tersisa. Tak berarti Parjo leluasa beroperasi tanpa saingan. Penghasilannya biasa-biasa saja. Sebab, "Saya nggak berani mangkal," tuturnya. Agar tak kena garukan, dengan atau tanpa penumpang, Parjo terus mengayuh pedal becaknya, berputar dan terus berputar. Ketiadaan becak, sebagai kendaraan rakyat, memang dirasakan mengimpit. "Kalau ke pasar, jadi repot, mana hujan lagi," ujar seorang ibu di Curug Indah. Kendaraan umum seperti bis, oleh si ibu ini, dianggap kurang praktis. "Habis, kita mesti nunggu penuh." Kendaraan ojek sepeda motor tak dia anggap sebagai alternatif yang layak dipilih. "Wah, enggak enak dempet-dempet sama tukang ojek," ujar ibu muda itu. Yang dia harapkan, "Mudah-mudahan ada penertiban baru, ojek digaruk, terus diganti becak lagi," ujarnya sembari mesem. Putut Tri Husodo, Ahmadie Thaha, Tommy Tamtomo, dan Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus