Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua kelompok massa itu menyesaki ruang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Sungguh pemandangan unik. Kedua kelompok sama-sama mengaku dari Partai Kebangkitan Bangsa, tetapi mereka tampak tidak akur. Untunglah, perselisihan itu hanya berujung pada adu kostum belaka dan tidak sampai menjadi baku hantam.
Satu kelompok mengikat kepala mereka dengan kain putih bertuliskan "Kader Setia Garda Bangsa Alwi-Syaiful". Jelas, ini pendukung PKB versi Alwi Shihab-Syaiful. Satunya lagi memakai kaus putih bergambar wajah Abdurrahman Wahid dan mengikat kepalanya dengan kain berlabel "Muhaimin Yes, Alwi No". Mereka adalah massa PKB versi Muhaimin Iskandar.
Pengadilan kini memang menjadi pilihan kalangan eksponen partai politik yang berseteru dengan sesamanya. Kejadian di PN Jakarta Selatan itu adalah bagian dari sidang lanjutan gugatan Alwi Shihab atas pemecatan dirinya sebagai Ketua Umum PKB. Agendanya adalah mendengarkan saksi yang diajukan pihak Alwi, yaitu Khofifah Indar Parawansa dan A.S. Hikam. Alwi dipecat lantaran menjadi menteri di kabinet SBY-Jusuf Kalla.
Kisruh dalam rumah tangga PKB memang tak kunjung reda. Sejak meletup pascakongres di Semarang beberapa waktu lalu, dua kubu yang bertikai terus memainkan jurus-jurus perlawanan. Bara pertikaian tak juga padam, meski Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusialewat surat keputusan tertanggal 8 Juni 2005menyatakan menerima pendaftaran perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta kepengurusan partai sesuai dengan hasil muktamar Semarang. Artinya, Ketua Umum PKB yang terdaftar di lembaran negara adalah Muhaimin Iskandar, dan bukan Alwi.
Tentu saja keputusan itu sempat membikin pendukung Muhaimin bersorak girang. "Dengan adanya keputusan itu, apa yang oleh media massa dan dipersepsikan oleh publik Indonesia sebagai konflik PKB dinyatakan telah berakhir," kata Wakil Sekjen DPP PKB, Zannuba Arifah Chofsoh atau Yenny Wahid. Putri Ketua Umum Dewan Syuro PKB, Abdurrahman Wahid, itu pun kian semangat, "Tidak ada lagi PKB versi-versian, karena secara yuridis maupun politis hanya satu, yaitu hasil Muktamar II PKB di Semarang yang telah berlangsung demokratis, konstitusional, dan legitimate."
Masih ada tambahan klaim kemenangan dari Wakil Sekretaris Jenderal, Imam Nahrowi. Ia segera mengimbau segenap pengurus yang selama ini berseberangan agar "kembali ke jalan yang benar". Yang dimaksud tentu saja para penyokong Alwi Shihab.
Semua itu tak digubris kubu Alwi. "Keputusan Menkumham hanyalah sebatas menerima dan mencatat pendaftaran. Tidak dapat diartikan mengesahkan suatu kepengurusan baru DPP PKB," ujar Khofifah Indar Parawansa. Para suporter Alwi-Syaifullah Yusuf menyatakan klaim kelompok Muhaimin tentang pengesahan DPP tak bisa diterima.
Apalagi, Ketua PKB Jawa Timur, Choirul Anam, yang mengaku bertemu Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, mendapat penjelasan bahwa pengurus yang sah masih menunggu keputusan pengadilan. Hal itu, kata Anam mengutip Hamid, sesuai dengan pendapat hukum Mahkamah Agung pada 3 Juni 2005. Di sana disebutkan, "Pengurus mana yang disahkan masih menunggu putusan pengadilan."
Maju tak gentar, Alwi pun kian meneguhkan perlawanan. Ia tetap menyatakan dirinya sebagai ketua yang sah karena didukung para ulama. "PKB tanpa ulama hanya tinggal nama," katanya seusai penutupan Musyawarah Pimpinan Nasional PKB di Pondok Pesantren Ashshiddiqqiyah, Kedoya, Jakarta Barat. Maka, tak tanggung-tanggung, Alwi menegaskan akan menggelar muktamar ulang pada September mendatang.
Bisa ditebak, sikap kubu Alwi ini kian menghangatkan bara perseteruan. Muhaimin Iskandar menyatakan akan segera menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono guna meminta SBY memperingatkan dua anak buahnya itu. "Menko Kesra kok bukan ngurusi busung lapar, malah ngobok-obok partai," ujar Muhaimin. Alwi saat ini memang tercatat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, sedangkan Syaifullah Yusuf duduk di pos Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Kisruh rumah tangga partai tak cuma menerpa PKB. Partai Bintang Reformasi juga dilanda pertikaian dengan menghadapkan Zainuddin M.Z. dan Zainal Maarif sebagai seteru. Maklum, keduanya menyatakan diri sebagai ketua umum partai. Konflik bermula dari muktamar pertama partai yang memiliki 14 kursi di DPR itu di Jakarta.
Dalam muktamar itu Zainuddin M.Z. kembali terpilih menjadi ketua umum. Namun, kelompok Zainalsebelumnya menjadi sekretaris jenderal menganggap pemilihan tidak sah. Ia juga mengklaim dirinya sebagai ketua umum partai dan bahkan mendaftarkan susunan kepengurusannya ke Departemen Hukum dan HAM. Langkah serupa tentu saja dilakukan kelompok pro-Zainuddin M.Z. Publik pun "menikmati" adu pengaruh para aktor politik itu.
Begitulah, di tengah kekisruhan partai, Departemen Hukum dan HAM pun menjadi sasaran lobi para pengurus partai. Memang aturan yang ada membuka kemungkinan hal itu, karena setiap pergantian pengurus parpol mesti didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik). Sedangkan untuk mengantisipasi adanya pengurus kembar, undang-undang menyarankan dilakukan musyawarah untuk mufakat. Tetapi, jika hal ini pun gagal, urusannya akan dibawa ke pengadilan (Pasal 14).
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Zurkarnain Yunus, menyatakan bahwa pihaknya semata-mata menerima surat atausesuai dengan undang-undanghanya menerima pendaftaran kepengurusan partai. Mengenai status partai, dia menegaskan harus berdasar ketentuan yuridis formal. Alias, departemen tidak bisa terlibat pada konflik "dalam negeri" suatu partai.
Syamsuddin Harris, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menyatakan hal senada. Menurut Harris, tugas Departemen Hukum dan HAM memang bukan memberi pengakuan, melainkan hanya pencatatan administratif.
Jadi, Harris menyarankan kepada para tokoh politik yang bertikai, ketimbang melobi pemerintah, lebih baik menyelesaikan kemelut di dalam rumah sendiri. Kalau gagal, mesti berani membentuk partai baru. "Mereka yang kecewa pada Megawati Soekarnoputri, Muhaimin Iskandar, atau siapa pun ketua partai, lebih baik membikin partai baru. Soal dukungan, biar diuji nanti di pemilu," ujarnya.
Syamsuddin Harris memahami, ngototnya para tokoh memperebutkan nama-nama partai lama lantaran sudah ada nilai jualnya. Sedangkan kalau membuat partai baru, mereka harus memulai dari nol lagi. Ini menunjukkan, kata Harris, adanya krisis identitas partai-partai di Indonesia. Padahal, ucapnya, "Jika benar-benar berdasar pada ideologi dan sistem kepartaian yang baik, label apa pun yang dipakai pasti diterima masyarakat."
Andari Karina Anom, Harun Mahbub Billah, Maria Ulfah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo