Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM berangkat ke Malang untuk hadir di muktamar ke-45 Muhammadiyah, ada yang membuat risau hati Ahmad Syafi’i Ma’arif. Dia sempat menemui pengurus organisasi Islam kedua terbesar itu dan meninggalkan semacam wasiat: ”Kalau saya tiba-tiba meninggal, tolong sisa utang mobil itu ditagih ke istri saya,” begitu pesan Syafi’i, yang akrab dipanggil Buya.
Sebenarnya dia mau membayar segera utang itu ke bendahara Muhammadiyah. Tapi, karena bendahara sudah lebih dulu berangkat ke Malang, dia memutuskan menyampaikan wasiat tersebut ke pengurus saja. ”Saya baru tahu ternyata punya utang,” kata Buya Syafi’i, terkekeh. Utang itu terbongkar beberapa hari sebelum muktamar. Syafi’i kaget tiba-tiba disodori tagihan Rp 90 juta.
Pelan-pelan, asal-usul utang itu pun tersibak. Syahdan, pada 1999, Menteri Agama Malik Fajar waktu itu pernah memberi bantuan kepada para pemimpin organisasi keagamaan. Sebagai Ketua Muhammadiyah, Syafi’i turut kebagian. Dia mendapat kucuran duit Rp 90 juta. Uang dengan jumlah sama juga diberikan kepada Hasyim Muzadi, Ketua PB Nahdlatul Ulama.
”Malik telepon saya,” ujar Syafi’i. Kata Malik, seperti yang dikutip Syafi’i, ada bantuan untuk operasional Ketua Muhammadiyah. Uang itu pun mengalir lancar ke rekening pribadi Syafi’i dan bukan ke rekening Muhammadiyah.
Merasa bahwa uang itu dikirim untuk dirinya, Syafi’i berniat membeli mobil Kijang seharga Rp 126 juta. Tentu saja duit bantuan menteri itu masih kurang. Lalu, dia meminjam uang dari Pengurus Pusat Muhammadiyah sebesar Rp 36 juta. Mobil Kijang baru pun mampir di garasinya. Mobil itu dibeli atas nama Syafi’i, begitu pun buku pemilik dan STNK. Selanjutnya, roda mobil itu berputar mengikuti kegiatan padat Buya. Setahun kemudian, utang kepada Muhammadiyah sebesar Rp 36 juta pun sudah dibereskan Syafi’i.
Oktober tahun lalu, Buya ingin mengganti Kijang itu dengan sedan. Mobil Kijang bersama mobil jip miliknya pun dilego. Di garasinya, kini ada sedan Honda Civic baru. Mobil nyaman itu dibeli atas nama pribadi juga.
Sekitar sepekan sebelum muktamar, ada SK Menteri Agama yang menyatakan bantuan kepada pemimpin Muhammadiyah itu adalah bantuan operasional Muhammadiyah, dan bukan untuk pribadi. ”Padahal mobil itu atas nama saya. Artinya, saya punya utang,” kata Syafi’i. Ketika cerita ini dimintakan konfirmasi ke bekas Menteri Agama, Malik Fajar mengaku lupa. ”Tapi itu ada SK-nya, ada juga aturannya,” ujar Malik kepada wartawan Tempo, Abdi Purmono, di sela kesibukan muktamar Muhammadiyah di Malang, Kamis pekan lalu.
Bagi Syafi’i, utang itu wajib dibayar. ”Saya sudah ada uang untuk membayarnya,” ujarnya. Menurut tokoh penentang korupsi ini, tabungannya selama mengajar di Amerika dan Kanada masih cukup untuk membayar sisa pinjaman. ”Saya bisa masuk neraka kalau ngemplang uang umat,” ujar Syafi’i. Masalahnya, hingga berangkat ke Malang pekan lalu, ia belum sempat bertemu bendahara. Maka, daripada tak enak hati, dibuatlah surat wasiat ala Buya itu.
Nezar Patria, Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo