Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Kematian dari Sydney

Korban operasi pembubaran unjuk rasa di Biak pada 1998 bersaksi di pengadilan warga di Australia. Puluhan yang mati hingga kini masih jadi misteri.

14 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERIAKAN dari arah pantai menarik perhatian warga Kampung Munsaure, Distrik Oridek, Kabupaten Biak Numfor, Papua, yang sedang bergotong-royong memperbaiki pagar gereja. "Ada mayat, ada mayat!" suara seorang lelaki memecahkan keheningan Ahad pagi, 17 Juli 1998.

Steven Koibur, yang saat itu berada di tempat kejadian, ikut berlari bersama sejumlah warga mendatangi asal teriakan. Di bibir pantai, mereka mendapati tiga mayat diikat menjadi satu. "Salah satu mayat ada lubang besar di pundak," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Mayat yang lain satu kakinya buntung.

Ini pertama kalinya warga Munsaure digemparkan oleh penemuan mayat tidak beridentitas. Sehari sebelumnya jenazah lain ditemukan di bibir pantai di Kampung Barari, yang bertetangga dengan Munsaure.

Menurut Steven, 55 tahun, warga meya­kini jasad-jasad itu adalah korban penembakan membabi-buta aparat keamanan saat membubarkan unjuk rasa di halaman Menara Air, Pelabuhan Biak, pada Senin subuh sebelas hari sebelum jasad ditemukan.

Mayat-mayat itu dikuburkan warga di tempat pemakaman umum. Steven ikut membantu menggali lubang kuburan untuk tiga jenazah itu. Mengantisipasi adanya jenazah lain, kuburan tersebut tidak langsung ditimbun tanah, tapi hanya ditutup daun pisang. "Kami berpikir masih akan ada mayat-mayat yang lain," katanya.

Ismail Wakum, teman sekampung ­Steven, memiliki pengalaman serupa. Nelayan ini saat itu sedang mendorong perahu ke laut. "Saya melihat ada mayat terapung," ucapnya. Tubuh itu, ya Tuhan, milik seorang anak kecil yang tak mengenakan pakaian.

Selang dua jam, mereka menemukan empat mayat lagi, yang kemudian dikuburkan di lubang yang sudah disiapkan. Saat itu, menurut Steven, tidak satu pun warga kampung yang mengenali jenazah tersebut. Rabu pekan lalu, Tempo datang melihat pusara tanpa nisan di sana.

l l l

HUJAN turun mengguyur Kota Biak, 6 Juli 1998. Di puncak Menara Air, bendera Bintang Kejora terkulai basah. Di bawahnya, sekitar 600 orang membaringkan tubuhnya mengelilingi menara.

Filep Karma, saat itu pegawai negeri di Jayapura, memimpin unjuk rasa menuntut kemerdekaan Papua. Dia sempat mengingatkan warga agar tidak melawan aparat. "Saya bilang jangan pernah melawan. Kita siap mati, kita berdoa saja," katanya saat ditemui Tempo di Lembaga Pemasyarakatan Jayapura, Rabu pekan lalu. Filep divonis 15 tahun penjara karena makar.

Menurut Filep, mereka sudah mengendus akan adanya upaya paksa pembubaran unjuk rasa oleh aparat gabungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara serta Kepolisian. Apalagi, sejak mereka memulai aksi, empat hari sebelumnya beberapa kali aparat datang meminta aksi dibubarkan. Upaya negosiasi yang dilakukan pejabat daerah juga tidak meluluhkan hati massa.

Mereka tidak ingin kehilangan momen kedatangan utusan khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan di Jakarta untuk membahas nasib Timor Timur, yang sedang menuntut merdeka dari Indonesia. "Upaya menarik perhatian internasional membuat kami bertahan," ujar Filep mengenang.

Namun, sekitar pukul 04.30 WIT, mereka dikejutkan oleh kedatangan ratusan aparat. Danny Rayar, pemuda 17 tahun yang berada di lokasi kejadian, masih mengingat dengan jelas rentetan tembakan peluru tajam yang datang dari segala arah. Aparat bergerak membentuk formasi U untuk mengepung massa.

Kepada Tempo, Danny mengaku perutnya ditikam sangkur tentara. "Sakitnya luar biasa," katanya. Dengan sangkur di perut, dia mencoba bertahan hidup sebelum popor senjata tentara yang lain nyaris memecahkan kepalanya. Tak sanggup melawan, Danny pura-pura mati.

Dengan perut bersimbah darah, Danny menyaksikan ratusan tubuh manusia ditumpuk di atas tanah basah. Tubuh-tubuh itu kemudian digotong ke kapal perang yang bersandar tak jauh dari pelabuhan. Beberapa tubuh diangkut ke truk untuk dibawa ke rumah sakit dan ke rumah tahanan polisi. "Mayat-mayat itu dimasukkan ke kapal perang, kemudian dibuang ke laut," ujarnya. Hingga pukul 7 pagi, suara tem­bakan masih memekakkan telinga penduduk Kota Biak.

Terseok-seok, Danny berhasil pulang ke rumah. Dua hari ia di rumah, orang tuanya memberi tahu ada aparat membawa daftar 400 nama orang yang terlibat unjuk rasa berikut alamat rumah mereka. "Nama saya ada di dalam daftar itu," katanya. Mereka diwajibkan datang ke kantor polisi untuk diperiksa, tapi Danny menolak datang. Ia memilih bersembunyi di hutan. Selama dua bulan ia berpindah dari satu sisi hutan ke sisi hutan yang lain. Selamat dari kejaran aparat, Danny sekarang menetap di Sydney, Australia.

Eben Kirksey, warga Australia, yang baru saja tiba mendarat di Biak, turut menyaksikan suasana mencekam itu. Namun mahasiswa studi antropologi di Universitas Cenderawasih, Jayapura, ini tak dapat bergerak bebas. Aparat intelijen selalu memantau gerak-geriknya.

Tak mau kehilangan momen, dari halaman Hotel Irian tempatnya menginap, Kirksey merekam suasana Biak pagi itu dengan kamera. Dia juga sempat memotret kapal perang KRI 811 yang ditumpangi aparat keamanan.

Empat tahun kemudian, Kirksey kembali ke Biak untuk menulis buku tentang peristiwa berdarah awal Juli 1998. Para saksi menjelaskan kepada Kirksey bahwa aparat membawa sejumlah peserta unjuk rasa yang terluka dan tewas ke KRI 811. "Para saksi mengatakan jasad-jasad itu kemudian dibuang ke laut. Beberapa hari kemudian, jasad muncul di pantai," ujar Kirksey kepada Tempo.

Belakangan laporan Human Rights Watch, organisasi internasional pemantau hak asasi manusia, menyebutkan kapal perang KRI bernomor lambung 534 GDR juga diduga terlibat dalam operasi berdarah di Biak, awal Juli 1998.

l l l

MENGENANG peristiwa Biak Berdarah, Sabtu dua pekan lalu, Kirksey memprakarsai pengadilan warga (citizen tribunal) di Universitas Sydney, Australia. Sejumlah pakar hukum internasional duduk di panel hakim dan penuntut.

Layaknya pengadilan, para saksi korban memberi kesaksian di hadapan panelis hakim. Sejumlah dokumen orisinal dan fakta dipaparkan dalam persidangan. Panel meyakini sejumlah personal militer terlibat dalam pembunuhan itu.

Di Indonesia, proses hukum atas peristiwa Biak Berdarah belum pernah disuarakan. Sehari setelah peristiwa, ABRI memang mengumumkan pembentukan tim pencari fakta. Namun hasil kerja tim tidak pernah diumumkan hingga sekarang. Juru bicara Markas Besar TNI, Laksamana Muda Iskandar Sitompul, menolak menjelaskan soal hasil kerja tim pencari fakta. "Saya masih kecil saat itu," katanya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga pernah membuat kajian terhadap tragedi ini pada 2008. Menurut Joseph Adhi Prasetyo, Ketua Komnas HAM, kajian peristiwa itu sudah lama rampung. "Hasilnya diduga kuat terjadi pelanggaran berat," ucapnya. "Karena tidak ada anggaran, kasus ini tak bisa dilanjutkan ke proses hukum."

Maria Rita Hasugian, Indra Wijaya, Alfiyah (Jakarta), Jerry Omona (Papua)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus