Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berkali Menolak, Kini MK Terima Gugatan Penghapusan Presidential Threshold

MK akhirnya menghapus presidential Threshold 20 persen. Sebelumnya, MK tercatat telah 7 kali menolak gugatan terhadap regulasi ini

3 Januari 2025 | 18.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo didampingi anggota Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 Januari 2025. Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. ANTARA/Fauzan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen akhirnya resmi dihapus oleh Mahkamah Konstitusi atau MK. Regulasi anyar tersebut berdasarkan pembacaan keputusan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 2 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Kamis, 2 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan adanya keputusan tersebut, MK memerintahkan DPR untuk mengubah aturan agar mengajukan calon presiden dan wakil presiden untuk mengikuti Pilpres tak lagi berdasarkan presidential threshold. Upaya untuk mengubah aturan ini sebenarnya pernah dilakukan sebelum Pilpres 2024 lalu, totalnya ada tujuh gugatan. Namun, MK menolak semuanya saat itu.

Lantas, apa sebenarnya presidential threshold ini dan bagaimana penerapannya di Indonesia sebelum akhirnya dihapus?

Sebagai informasi, pemilihan umum atau pemilu di Indonesia sebelumnya menggunakan tiga sistem threshold. Pertama electoral threshold, adalah batas minimal tingkat dukungan yang dibutuhkan partai untuk menjadi peserta dalam pemilu berikutnya.

Kedua, parliamentary threshold, ambang batas perolehan suara minimal partai peserta pemilu untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR sejak Pemilu 2009. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu ambang batas parlemen adalah sebesar 4 persen.

Serta ketiga, presidential threshold, adalah ambang batas minimal dukungan pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik sebesar 15 persen kursi di parlemen atau 20 persen suara sah nasional. Ketentuan ini pertama kali diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

“Pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR,” bunyi Pasal 5 ayat (4) UU tersebut.

Adapun pemilihan presiden dan wakil presiden menggunakan regulasi ambang batas pertama kali dilakukan pada Pilpres 2004. Kemudian berlanjut pada Pilpres 2009 dan Pilpres 2014, sebagaimana mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2003. Namun, regulasi presidential threshold pada Pilpres 2019 sedikit berbeda.

Dalam UU Pemilu, ambang batas yang digunakan pada Pilpres 2019 adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya, yakni Pemilihan Legislatif atau Pileg 2014. Pasalnya, pelaksaan Pilpres dan Pileg 2019 dilaksanakan serentak pada April.

Pada Pilpres 2024, aturan Pilpres 2019 kembali digunakan mengingat kontestasi juga diselenggarakan serentak. Yakni, untuk mengusung capres, partai atau gabungan partai politik memperoleh minimal 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR Pileg periode sebelumnya.

Penerapan presidential threshold 20 persen di Tanah Air sebenarnya mendapatkan kritikan dan gugatan dari kalangan politikus. Ketua Umum atau Ketum Partai Nasdem Surya Paloh, pada 25 Juli 2022, menyebut aturan itu mengekang hak seluruh warga negara untuk mencalonkan diri. Menurutnya, regulasi ini membuat peluang mencalonkan diri hanya dimiliki kalangan elite tertentu.

Jauh hari sebelum Surya Paloh mengungkapkan kritikannya, pihak-pihak lain bahkan sudah mengajukan gugatan terkait presidential threshold 20 persen ini. Pada 7 Juli 2022, gugatan yang dilayangkan oleh Dewan Perwakilan Daerah alias DPD dan Partai Bulan Bintang atau PBB adalah gugatan keenam yang ditolak Mahkamah Konstitusi atau MK terkait regulasi itu.

Sebelumnya MK juga telah melakukan penolakan dalam lima perkara yang sama. Pertama, gugatan yang diajukan oleh tujuh warga Bandung. Kedua, gugatan oleh empat pemohon. Ketiga, gugatan lima anggota DPD RI. Keempat pada Maret 2022, MK menolak gugatan yang diajukan Partai Ummat. Serta kelima gugatan 27 diaspora.

Tak selang sebulan pasca MK tolak gugatan DPD dan PBB, kali ini giliran PKS yang mengajukan gugatan. Tepatnya pada 27 Juli 2022. PKS meminta agar ambang batas diturunkan menjadi 7 hingga 9 persen. Namun keyakinan PKS runtuh. MK kembali menolak gugatan pada 29 September 2022 lalu.

Teranyar, MK akhirnya membuat keputusan monumental di awal tahun dengan menghapus aturan tersebut. Adapun permohonan ini sebelumnya diajukan oleh empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk. Para Pemohon mendalilkan prinsip “one man one vote one value” tersimpangi oleh adanya presidential threshold.

“Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip “one value” karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama. Idealnya, menurut para Pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan,” kata pemohon dalam gugatan.

Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.

Dalam putusan, Ketua MK mengatakan norma pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2017 nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6109 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Serta tidak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sementara itu, hakim MK Saldi Isra menyebutkan penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerabel secara nyata bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Karena itu, hal tersebut menjadi alasan menurut MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyengkut besaran atau angka presentasi ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi Isra.

Dia mengatakan, ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini juga bertentangan dengan beberapa pasal. Salah satunya pasal 6A ayat 2 UUD NRI tahun 1945. “Presidential threshold berapa pun besarnya atau angka presentasinya adalah bertentangan dengan Pasal 6A Ayat 2 Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945,” ucapnya.

M. Raihan Muzzaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus