Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktif terlibat sebagai peserta Sekolah Perempuan menuntun Risna Sau, 33 tahun, menjadi perempuan mandiri dan berpengaruh di lingkungannya. Selama empat tahun bersekolah, perempuan asal Desa Mata Air, Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu kini aktif dalam kegiatan desa, kabupaten, hingga menjadi perwakilan provinsi. "Padahal dulu saya tidak pernah dilibatkan karena hanya seorang ibu rumah tangga. Sekarang saya jadi ketua RT," kata Risna saat ditemui di Desa Mata Air, Kupang, Selasa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tempat tinggal Risna, mayoritas perempuan hanya tahu bahwa tugas seorang istri adalah menangani urusan domestik rumah tangga. Tak adanya keberanian untuk bersuara dan menuntut hak membawa mereka menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. "Setelah sekolah, kami jadi tahu kalau mama-mama tak hanya punya tugas mengurus anak dan mencuci pakaian," ujar Risna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekolah Perempuan merupakan program yang digagas oleh Lingkaran Pendidikan Alternatif (Kapal) Perempuan. Sekolah ini didirikan sebagai wadah bagi para perempuan untuk belajar bersama memahami masalah-masalah yang dihadapi dan mencari solusinya. Ada puluhan sekolah yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Masing-masing memiliki kurikulum dan modul sesuai dengan masalah di daerahnya.
Di Nusa Tenggara Timur, Sekolah Perempuan didirikan di dua desa, yakni Desa Mata Air dan Noelbaku, serta dua kelurahan, Lasiana dan Oesapa. Ada 649 perempuan miskin dan berpendidikan rendah yang menjadi anggota Sekolah Perempuan di wilayah itu. "Pokoknya perempuan yang tidak pernah terlibat dalam kegiatan desa menjadi syarat untuk belajar di sini," kata Risna.
Bagi Anika Hauteas, 42 tahun, sekolah ini membuka akses bagi para ibu rumah tangga yang tak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan diri. Dengan jadwal tetap sebulan sekali, para ibu rumah tangga mendapat ilmu mulai dari kesetaraan gender hingga kepemimpinan. Melalui sekolah ini, Anika berharap bisa memberikan sesuatu yang lebih kepada sesamanya. "Saya ingin membantu warga mendapatkan Kartu Indonesia Sehat. Di sini tak banyak yang tahu," kata dia.
Meski begitu, perekrutan perempuan untuk masuk sekolah ini bukan tanpa hambatan. Menurut Yanti Talla, Kepala Sekolah Perempuan Desa Noelbaku, banyak laki-laki desa yang melarang istrinya ikut karena hal itu dianggap membuang-buang waktu. "Tapi, di sisi lain, perempuan yang ikut sekolah ini bisa mengubah budaya patriarki pada suaminya," ujar dia.
Saat ini, para anggota Sekolah Perempuan aktif terlibat dalam pembahasan peraturan desa. Mereka meminta agar ada peraturan soal kekerasan dalam rumah tangga, kematian ibu dan anak, serta pernikahan dini. Tiga masalah ini marak terjadi di Nusa Tenggara Timur. "Mereka juga diajari cara mengadvokasi," ucap Direktur Pondok Pergerakan, Delmyser Maka Ndolu, mitra Kapal Perempuan yang mendirikan Sekolah Perempuan di Nusa Tenggara Timur. MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo