ACARA Lenggang Irama Kampus di Rawamangun, Jakarta, 6 Mei dua
pekan lalu, ternyata berekor tak enak. Terhitung 9 Mei, Rektor
UI Prof. Mahar Mardjono menjatuhkan skorsing pada
penanggungjawab acara itu. Tito Sulistio, mahasiswa Ekonomi dan
Indra K. Budenani, mahasiwa Ilmu-ilmu Sosial, masing-masing
diskors sampai 31 Juli dan akhir tahun ini. Tidak disebut alasan
skorsing tadi dijatuhkan. Tapi diduga keduanya telah melampaui
kelonggaran yang diberikan Rektor UI.
Sementara di ITB muncul DM baru pimpinan Ausie Gautama, sejauh
ini pula, Ketua Rektorium ITB Dr. Sudjana Sapi'ie masih belum
mengambil tindakan. Dalam kemelut menata kembali kehidupan
kampus, tindakan Prof. Mahar terasa cukup mengejutkan. Meskipun
hakikatnya, Rektor UI tadi dihadapkan pada pilihan yang sulit.
Seperti disadari Indra K. Budenani -- Ketua Unit Drum Band UI
pada acara itu: "Saya kira Prof. Mahar cukup bijaksana,"
katanya.
Rendra
Tiga hari sebelum surat skorsing dijatuhkan, di tengah acara
Lenggang Irama Kampus, sesuatu di luar atraksi hiburan tiba-tiba
muncul. Selain Rendra yang membaca sajak, yang terpenting ialah
tampilnya para fungsionaris mahasiswa UI membacakan Pernyataan
Sikap Mahasiswa UI: Kembali ke AD/ART Ikatan Keluarga Mahasiswa
(IKM) UI '76. Yang tidak mengakui perangkat lembaga
kemahasiswaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) berdasar
konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) (TEMPO 12 Mei).
Pernyataan sikap itu selain memojokkan Prof. Mahar, juga
dianggap telah melampaui kelonggaran yang diberikan kepada
panitia. Pada Indra, lewat surat resmi 3 Mei sebelumnya Mahar
wanti-wanti, untuk mencegah salah tafsir pada acara itu, "tidak
diperlukan pidato-pidato dan pernyataan," katanya. Bahkan
Pembantu Rektor bidang Kemahasisaan dr. Dadang Hawari
menyediakan dana Rp 150 ribu, yang diambil dari anggaran proyek
NKK UI. Dengan niat turut menunjang perkenalan Unit Drum Band
UI.
Tapi ada juga yang mengecam kebijaksanaan Prof. Mahar. Seperti
kata Ghazi H. Yoesoef -- ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa
(MPM) UI yang dibekukan, juga senada dengan Tito. "Tindakan
rektor itu tidak mendidik," kata mereka. "Seharusnya rektor
mengeluarkan SK untuk seluruh pimpinan mahasiswa. Sebab yang
dilakukn Indra dan Tito hanyalah melaksanakan apa yang kita
gariskan selama ini," tambah Ghazi.
Dalam pertimbangan lahirnya skorsing itu, SK Rektor hanya
menyebut, "dalam rangka penataan kehidupan kampus UI perlu
ditingkatkan disiplin di antara civitas academica." Bagi yang
melanggar, bisa dikenakan sanksi akademis ataupun administratif.
Tapi benarkah hanya itu alasan skorsing? Prof. Mahar menolak
memberikan jawaban. Ia menganjurkan semua pertanyaan diajukan ke
Dirjen Pendidikan Tinggi. "Ini soal sensitif, harap saudara
maklum," katanya kepada Slamet Djabarudi dari TEMPO.
Referendum
Betapapun pahitnya skorsing sudah jatuh. Indra, 29 tahun, yang
seharusnya tahun ini menyelesaikan kuliah dan sudah menyiapkan
skripsi, terpaksa mengendorkan otot. Wakil Ketua DM UI yang
dibekukan ini akan memanfaatkan waktu skorsing untuk istirahat.
"Soalnya saya sudah lama nggak tidur siang," kata Indra yang
telah menikah tahun lalu.
Tito sendiri kini sibuk memperhitungkan uang masuk hasil acara
itu. Diperkirakan panitia memperoleh laba cukup. Sehingga kelak
panitia bisa mengembalikan uang pinjaman Rp 150 ribu dari proyek
NKK UI. Sebab konon, tidak enak rasanya menyerang P&K dengan
uang pinjaman (pemerintah) itu. Ketika ditanya Pembantu Rektor
dr. Dadang Hawari tidak menjawab tegas. "Tanyakan saja pada yang
bersangkutan," katanya.
Setelah mendengarkan diskusi dengan beberapa Senat Mahasiswa,
dan mendapat kritik tajam dari para mahasiswa, para fungsionaris
mahasiswa berniat menyelenggarakan referendum. Pertanyaan pokok
akan diajukan kepada para mahasiswa UI. Apakah mereka akan
memilih BKK atau kembali ke AD/ART IKM UI '76? Masihkah Prof.
Mahar akan memberi kelonggaran, sulit diketahui. Tapi agaknya
sesudah peristiwa Lenggang Kampus itu, sang Rektor menjadi kaya
pengalaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini