120 remaja berbagai daerah tinggal di 26 pondok papan. Setiap
pondok berukuran 6 x 3 atau 4 x 5 meter dihuni 3-5 orang, tanpa
kasur tanpa listrik. Lingkungannya hijau menentramkan. Inilah
kampus SFMA (Sekolah Farming Menengah Atas) di pinggir utara
Ungaran, Jawa Tengah, 300 meter dari jalan Ungaran-Semarang.
Meski jarak antar pondok tidak dekat -- dan pondok siswa cukup
jauh dari pondok siswi -- tapi ada kesan kekeluargaan yang
akrab. Juga dengan para pamong. Kalau ada siswa sakit mendadak,
bahkan di malam hari, "kami bersedia digedor," kata Ny. Alam, 35
tahun, pamong yang juga Wakil Direktur SFMA. Ia lulusan Akademi
Farming 1965.
Meski begitu, tidak berarti para remaja boleh merasakan semacam
ketergantungan. Di kampus itu mereka masak sendiri, mengurus
pondok masing-masing, juga bertanam sayur sendiri. Hasilnya pun
boleh mereka nikmati sendiri, pamong tinggal menerima laporan
saja.
SFMA tidak hanya mendidik ketrampilan bertani, tapi agar para
siswa juga mampu menularkan kebolehan pada penduduk. Caranya
sambil-lalu. "Bukan dengan menggurui, sebab bisa menyinggung
perasaan," kata Sarino Mangunpranoto, 69 tahun, sesepuh Taman
Siswa dan bekas Menteri P dan K. Dialah pelopor SFMA itu.
Dalam arisan di kampung misalnya beberapa siswa memperagakan
cara membuat kecap. Atau dalam pertemuan tak resmi, sambil
ngobrol, menerangkan perlunya penggunaan air bersih. Cara itu,
menurut Sarino, "tidak merusak sistem harmoni kehidupan di
desa."
Pahit
Hal itu ditempuh setelah belajar dari pengalaman. Suatu saat,
kedatangan para siswa ke kampung dikira petugas Kl nembawa
spiral. "Orang-orang pada ngumpet. Bahkan ada yang berusaha
menyuap agar tidak disuruh macam-macam," tutur Sarino.
Sekolah ini sebenarnya tidak menyiapkan siswanya melanjutkan
studi, meskipun sejak 1967 ijasahnya diakui setaraf dengan SLA
Negeri oleh Dirjen PDM. Juga tidak menjanjikan kedudukan sebagai
pegawai negeri atau swasta. Dari 250 tamatan SFMA (sampai 1977),
belum ada yang jadi pegawai, lantaran Badan Administrasi
Kepegawaian Negara belum mengakui ijasahnya.
Meski begitu, setiap lulusan SFMA dijamin bisa berdikari. Jebol
di kelas satu, keahliannya cukup untuk bekal hidup. Hal ini
karena di setiap tingkat ada spesialisasi, misalnya beternak
ayam.
Lama pendidikan 3 tahun, kelas I dan II lebih banyak pelajaran
teori. Perbandingan jam pelajaran per minggu 45% teori, 55%
praktek, agar punya dasar kuat untuk praktek di kelas III. Di
kelas III, perbandingan itu dibalik 52%: 48%. Tapi pelajaran
pertukangan diberikan di semua kelas, teori dan praktek.
Maka niat masuk kampus yang sepi itu umumnya ingin mendapatkan
ketrampilan. Seperti Agus, 16 tahun, asal Grogol, Jakarta, atau
Dito dari Karawang dan Yono dari Demak. "Orangtua saya punya
tanah dan kebun cengkeh di Bogor. Saya ingin mengolahnya
sendiri," tutur Agus kepada Moh. Cholid dari TEMPO. Ia kini baru
kelas I. Motivasi seperti Agus itulah yang diperlukan.
"Dengan psiko tes bisa diketahui apakah calon punya motivasi
kuat," ujar Bambang Darmawan, 33 tahun, pamong SFMA jebolan
FK-UGM. Uang sekolahnya lumayan murah: Rp 2.500 sebulan. Murid
yang tak mampu membayar, di waktu luang boleh bekerja --
misalnya membantu rumahtangga Sarino -- dan Sarino menanggung
biaya sekolahnya.
Di awal berdirinya dulu, 19 Desember 1961, sekolah yang dikelola
Yayasan Dewantara ini sulit mencari murid. Masuk 40, yang
bertahan 25 anak. Ingin meniru pendidikan ketrampilan petani di
Denmark, berdirinya dulu tak gampang. "Dulu diejek, tak
menghargai ide saya itu. Pokoknya pahit sekali," tutur Sarino.
Sejak 1967 Pemerintah memberi subsidi gaji para pamong. Selain 4
pamong tetap, ada tenaga honorer dari Dinas Pertanian dan
Peternakan. Maksudnya, "agar tidak cekcok karena perbedaan teori
di lapangan kelak," ujar Sarino. Kerjasama dengan para lurah,
dalam memberikan penyuluhan, juga terjalin baik.
Sarino yang juga bekas Dubes di Hongaria itu, kini sering
pulang-pergi Yogya-Ungaran. Tapi ia merasa lebih krasan di
Ungaran karena "suasana desanya yang enak." Konsep pendidikan
semacam SFMA pernah pula ia kembangkan waktu jadi Menteri P dan
K di Sumedang, Purworejo, Jepara, Pasuruan. Dengan nama
Pendidikan Masyarakat, proyek Sarino ketika itu lebih berat
mengetrapkan pendidikan non formal.
Kini ide Sarino menjalar. Pemda Boyolali dan Kendal juga punya
SFMA, di Ampel dan Bojo. Sedang di Cepiring, Salaman dan
Bandungan (sekitar Salatiga) diurus-Yayasan Theresia. SFMA
Ungaran sendiri punya tanah praktek 500 meter, sementara
lembahnya yang 15 ha berupa pegunungan. Kondisi tanahnya
"menantang": miring tajam, dan bagian bawah dari jenis latosal
yang tandus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini