Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menjalar Setelah Diejek

Sekolah farming menengah atas yang terletak di dekat ungaran menerapkan sistim pendidikan non formal & lulusannya siap pakai di lapangan. sekolah yang dirintis eks menteri P & K ini telah dikembangkan. (pdk)

19 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

120 remaja berbagai daerah tinggal di 26 pondok papan. Setiap pondok berukuran 6 x 3 atau 4 x 5 meter dihuni 3-5 orang, tanpa kasur tanpa listrik. Lingkungannya hijau menentramkan. Inilah kampus SFMA (Sekolah Farming Menengah Atas) di pinggir utara Ungaran, Jawa Tengah, 300 meter dari jalan Ungaran-Semarang. Meski jarak antar pondok tidak dekat -- dan pondok siswa cukup jauh dari pondok siswi -- tapi ada kesan kekeluargaan yang akrab. Juga dengan para pamong. Kalau ada siswa sakit mendadak, bahkan di malam hari, "kami bersedia digedor," kata Ny. Alam, 35 tahun, pamong yang juga Wakil Direktur SFMA. Ia lulusan Akademi Farming 1965. Meski begitu, tidak berarti para remaja boleh merasakan semacam ketergantungan. Di kampus itu mereka masak sendiri, mengurus pondok masing-masing, juga bertanam sayur sendiri. Hasilnya pun boleh mereka nikmati sendiri, pamong tinggal menerima laporan saja. SFMA tidak hanya mendidik ketrampilan bertani, tapi agar para siswa juga mampu menularkan kebolehan pada penduduk. Caranya sambil-lalu. "Bukan dengan menggurui, sebab bisa menyinggung perasaan," kata Sarino Mangunpranoto, 69 tahun, sesepuh Taman Siswa dan bekas Menteri P dan K. Dialah pelopor SFMA itu. Dalam arisan di kampung misalnya beberapa siswa memperagakan cara membuat kecap. Atau dalam pertemuan tak resmi, sambil ngobrol, menerangkan perlunya penggunaan air bersih. Cara itu, menurut Sarino, "tidak merusak sistem harmoni kehidupan di desa." Pahit Hal itu ditempuh setelah belajar dari pengalaman. Suatu saat, kedatangan para siswa ke kampung dikira petugas Kl nembawa spiral. "Orang-orang pada ngumpet. Bahkan ada yang berusaha menyuap agar tidak disuruh macam-macam," tutur Sarino. Sekolah ini sebenarnya tidak menyiapkan siswanya melanjutkan studi, meskipun sejak 1967 ijasahnya diakui setaraf dengan SLA Negeri oleh Dirjen PDM. Juga tidak menjanjikan kedudukan sebagai pegawai negeri atau swasta. Dari 250 tamatan SFMA (sampai 1977), belum ada yang jadi pegawai, lantaran Badan Administrasi Kepegawaian Negara belum mengakui ijasahnya. Meski begitu, setiap lulusan SFMA dijamin bisa berdikari. Jebol di kelas satu, keahliannya cukup untuk bekal hidup. Hal ini karena di setiap tingkat ada spesialisasi, misalnya beternak ayam. Lama pendidikan 3 tahun, kelas I dan II lebih banyak pelajaran teori. Perbandingan jam pelajaran per minggu 45% teori, 55% praktek, agar punya dasar kuat untuk praktek di kelas III. Di kelas III, perbandingan itu dibalik 52%: 48%. Tapi pelajaran pertukangan diberikan di semua kelas, teori dan praktek. Maka niat masuk kampus yang sepi itu umumnya ingin mendapatkan ketrampilan. Seperti Agus, 16 tahun, asal Grogol, Jakarta, atau Dito dari Karawang dan Yono dari Demak. "Orangtua saya punya tanah dan kebun cengkeh di Bogor. Saya ingin mengolahnya sendiri," tutur Agus kepada Moh. Cholid dari TEMPO. Ia kini baru kelas I. Motivasi seperti Agus itulah yang diperlukan. "Dengan psiko tes bisa diketahui apakah calon punya motivasi kuat," ujar Bambang Darmawan, 33 tahun, pamong SFMA jebolan FK-UGM. Uang sekolahnya lumayan murah: Rp 2.500 sebulan. Murid yang tak mampu membayar, di waktu luang boleh bekerja -- misalnya membantu rumahtangga Sarino -- dan Sarino menanggung biaya sekolahnya. Di awal berdirinya dulu, 19 Desember 1961, sekolah yang dikelola Yayasan Dewantara ini sulit mencari murid. Masuk 40, yang bertahan 25 anak. Ingin meniru pendidikan ketrampilan petani di Denmark, berdirinya dulu tak gampang. "Dulu diejek, tak menghargai ide saya itu. Pokoknya pahit sekali," tutur Sarino. Sejak 1967 Pemerintah memberi subsidi gaji para pamong. Selain 4 pamong tetap, ada tenaga honorer dari Dinas Pertanian dan Peternakan. Maksudnya, "agar tidak cekcok karena perbedaan teori di lapangan kelak," ujar Sarino. Kerjasama dengan para lurah, dalam memberikan penyuluhan, juga terjalin baik. Sarino yang juga bekas Dubes di Hongaria itu, kini sering pulang-pergi Yogya-Ungaran. Tapi ia merasa lebih krasan di Ungaran karena "suasana desanya yang enak." Konsep pendidikan semacam SFMA pernah pula ia kembangkan waktu jadi Menteri P dan K di Sumedang, Purworejo, Jepara, Pasuruan. Dengan nama Pendidikan Masyarakat, proyek Sarino ketika itu lebih berat mengetrapkan pendidikan non formal. Kini ide Sarino menjalar. Pemda Boyolali dan Kendal juga punya SFMA, di Ampel dan Bojo. Sedang di Cepiring, Salaman dan Bandungan (sekitar Salatiga) diurus-Yayasan Theresia. SFMA Ungaran sendiri punya tanah praktek 500 meter, sementara lembahnya yang 15 ha berupa pegunungan. Kondisi tanahnya "menantang": miring tajam, dan bagian bawah dari jenis latosal yang tandus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus