Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bila motif remaja berprestasi

Dosen fakultas psikologi UGM, Sri Mulyani Martaniah, meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul "motif sosial remaja SMA jawa dan keturunan cina, suatu studi perbandingan". (pdk)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI gambar yang ditunjukkan, murid SMA itu lantas membuat cerita. Bu Rusli dan Bu Amat sedang sibuk di laboratorium, tulisnya. Mereka sedang meneliti jamur yang tumbuh di kulit manusia. Ternyata itu penyakit panu. Akhirnya, dari penelitian mereka, ditemukan obat untuk memberantas panu. Itulah ceritanya. Sri Mulyani Martaniah, yang menunjukkan gambar itu, lantas menarik kesimpulan si pembuat cerita mempunyai motif berprestasi. Sejumlah murid SMA di Yogyakarta, telah menjadi sasaran penelitiannya guna penulisan disertasinya. Akhirnya, di Universitas Gajah Mada Desember lalu, dia dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Disertasinya berjudul Motif Sosial Remaja SMA Jawa dan Keturunan Cina, Suatu Studi Perbandingan dipuji para pengujinya. Bahkan, kata Prof. Drs. Sutrisno Hadi MA, "promovenda telah menemukan sesuatu yang baru." Apa itu? "Gejala sosial yang ada di Indonesia tidak bisa dijelaskan dengan teori Barat," kata Sutrisno, salah seorang dari 9 guru besar penguji itu. Sri Mulyani membantah teori McClelland, misalnya, bahwa anak desa yang sejak awal dididik berdiri sendiri akan memiliki motif berprestasi lebih tinggi dibanding anak kota yang masih suka bergantung pada orangtuanya. "Ternyata latihan berdiri sendiri bagi anak-anak desa di sekitar Yogyakarta tidak menimbulkan dorongan berprestasi. Cuma tradisi saja, saya kira," tambah Sutrisno. Sambil mengajar di Fak. Psikologi UGM, Sri Mulyani menyiapkan disertasi sejak 1978. Sampelnya 850 remaja Jawa (197 dari Kotamadya Yogyakarta, 78 dari kota kabupaten dan 575 dari desa), dan 194 remaja Cina dari Kotamadya Yogyakarta semuanya. Dipilihnya siswa SMA, karena "mereka ini tinggal selangkah lagi menuju dewasa, menuju masa bertanggung jawab sendiri." Kadar motif yang ditemukan dalam diri remaja, menurut dia, diharapkan mencerminkan motif di masa dewasanya. Dari penelitiannya ia menjumpai justru remaja desa mempunyai motif berprestasi rendah. Banyak cerita remaja desa termasuk dalam kategori cerita yang bertemakan nrimo, bergantung pada nasib dan sabar menunggu, tanpa berusaha secepatnya menyelesaikan persoalan. Sementara itu motif berkuasa remaja desa dan kota ternyata sama besar. Tampak ini a.l. dari keinginan mereka memiliki video, celana model mutakhir, mobil model baru -- pokoknya jenis barang yang bisa menaikkan gengsi. Motif "berkuasa" ada hubungannya dengan usaha menaikkan dan mempertahankan martabat, kata peneliti itu. Ternyata dalam hal ini remaja Cina menunjukkan skor lebih tinggi daripada remaja Jawa. Mungkin itulah, menurut Sri Mulyani, mengapa mereka yang keturunan Cina biasanya sukses dalam bidang bisnis dan wiraswasta. Dua usaha yang membutuhkan motif berprestasi tinggi berani bekerja keras, berani berspekulasi, penuh inisiatif, ulet, berani bersaing. Adapun motif berafiliasi (bergotong-royong) bagi remaja Cina maupun Jawa (di kota maupun di desa) ternyata sama. Motif ini pada remaja desa pun tidak lebih tinggi. Yang menarik lagi ialah remaja wanita ternyata mempunyai motif berprestasi lebih tinggi daripada remaja prianya. Ini mungkin menjelaskan mengapa ada kesan lebih banyak siswa wanita yang menjadi juara kelas, memenangkan lomba ilmiah dsb. Dan motif berkuasa remaja wanita Cina ternyata juga lebih tinggi dibanding remaja prianya. Tapi, menurut Sri Mulyani, semua motif itu tidak secara otomatis menyebabkan orang lantas benar-benar berprestasi, berkuasa dan berafiliasi. "Masih tergantung beberapa faktor lain seperti kesempatan dan situasi," tuturnya kepada TEMPO. Dan seorang yang berkuasa misalnya, tidak harus didorong oleh adanya motif berkuasa yang tinggi. "Mungkin itu kebetulan saja, karena diangkat atau karena keturunan." Sri Mulyani Martaniah yang lahir di Klaten, Jawa Tengah, 1929, membatasi penelitiannya untuk Daerah Istimewa Yogyakarta saja. Hasilnya belum tentu mencerminkan kecenderungan remaja di seluruh Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus