DARI gambar yang ditunjukkan, murid SMA itu lantas membuat
cerita. Bu Rusli dan Bu Amat sedang sibuk di laboratorium,
tulisnya. Mereka sedang meneliti jamur yang tumbuh di kulit
manusia. Ternyata itu penyakit panu. Akhirnya, dari penelitian
mereka, ditemukan obat untuk memberantas panu. Itulah ceritanya.
Sri Mulyani Martaniah, yang menunjukkan gambar itu, lantas
menarik kesimpulan si pembuat cerita mempunyai motif
berprestasi. Sejumlah murid SMA di Yogyakarta, telah menjadi
sasaran penelitiannya guna penulisan disertasinya. Akhirnya, di
Universitas Gajah Mada Desember lalu, dia dinyatakan lulus
dengan predikat sangat memuaskan.
Disertasinya berjudul Motif Sosial Remaja SMA Jawa dan Keturunan
Cina, Suatu Studi Perbandingan dipuji para pengujinya. Bahkan,
kata Prof. Drs. Sutrisno Hadi MA, "promovenda telah menemukan
sesuatu yang baru." Apa itu? "Gejala sosial yang ada di
Indonesia tidak bisa dijelaskan dengan teori Barat," kata
Sutrisno, salah seorang dari 9 guru besar penguji itu.
Sri Mulyani membantah teori McClelland, misalnya, bahwa anak
desa yang sejak awal dididik berdiri sendiri akan memiliki motif
berprestasi lebih tinggi dibanding anak kota yang masih suka
bergantung pada orangtuanya. "Ternyata latihan berdiri sendiri
bagi anak-anak desa di sekitar Yogyakarta tidak menimbulkan
dorongan berprestasi. Cuma tradisi saja, saya kira," tambah
Sutrisno.
Sambil mengajar di Fak. Psikologi UGM, Sri Mulyani menyiapkan
disertasi sejak 1978. Sampelnya 850 remaja Jawa (197 dari
Kotamadya Yogyakarta, 78 dari kota kabupaten dan 575 dari desa),
dan 194 remaja Cina dari Kotamadya Yogyakarta semuanya.
Dipilihnya siswa SMA, karena "mereka ini tinggal selangkah lagi
menuju dewasa, menuju masa bertanggung jawab sendiri."
Kadar motif yang ditemukan dalam diri remaja, menurut dia,
diharapkan mencerminkan motif di masa dewasanya. Dari
penelitiannya ia menjumpai justru remaja desa mempunyai motif
berprestasi rendah. Banyak cerita remaja desa termasuk dalam
kategori cerita yang bertemakan nrimo, bergantung pada nasib dan
sabar menunggu, tanpa berusaha secepatnya menyelesaikan
persoalan.
Sementara itu motif berkuasa remaja desa dan kota ternyata sama
besar. Tampak ini a.l. dari keinginan mereka memiliki video,
celana model mutakhir, mobil model baru -- pokoknya jenis barang
yang bisa menaikkan gengsi. Motif "berkuasa" ada hubungannya
dengan usaha menaikkan dan mempertahankan martabat, kata
peneliti itu.
Ternyata dalam hal ini remaja Cina menunjukkan skor lebih tinggi
daripada remaja Jawa. Mungkin itulah, menurut Sri Mulyani,
mengapa mereka yang keturunan Cina biasanya sukses dalam bidang
bisnis dan wiraswasta. Dua usaha yang membutuhkan motif
berprestasi tinggi berani bekerja keras, berani berspekulasi,
penuh inisiatif, ulet, berani bersaing.
Adapun motif berafiliasi (bergotong-royong) bagi remaja Cina
maupun Jawa (di kota maupun di desa) ternyata sama. Motif ini
pada remaja desa pun tidak lebih tinggi.
Yang menarik lagi ialah remaja wanita ternyata mempunyai motif
berprestasi lebih tinggi daripada remaja prianya. Ini mungkin
menjelaskan mengapa ada kesan lebih banyak siswa wanita yang
menjadi juara kelas, memenangkan lomba ilmiah dsb. Dan motif
berkuasa remaja wanita Cina ternyata juga lebih tinggi dibanding
remaja prianya.
Tapi, menurut Sri Mulyani, semua motif itu tidak secara otomatis
menyebabkan orang lantas benar-benar berprestasi, berkuasa dan
berafiliasi. "Masih tergantung beberapa faktor lain seperti
kesempatan dan situasi," tuturnya kepada TEMPO. Dan seorang yang
berkuasa misalnya, tidak harus didorong oleh adanya motif
berkuasa yang tinggi. "Mungkin itu kebetulan saja, karena
diangkat atau karena keturunan."
Sri Mulyani Martaniah yang lahir di Klaten, Jawa Tengah, 1929,
membatasi penelitiannya untuk Daerah Istimewa Yogyakarta saja.
Hasilnya belum tentu mencerminkan kecenderungan remaja di
seluruh Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini