BELAKANGAN ini tampak banyak tanda-tanda hidup tentang ASEAN.
Mula-mula para menteri ekonomi bersidang di Singapura dan
mengambil beberapa keputusan yang dapat mempunyai arti besar.
Para menteri ekonomi ini memperluas lagi daftar barang yang
masuk PTA (Preferential Trading Arrangement): sistem yang mau
merangsang perdagangan antara ASEAN dengan pemberian potongan
bea masuk. Disahkan juga peraturan dasar untuk menjalankan usaha
patungan antara paling sedikit dua pihak swasta ASEAN. Untuk
masuk pasar ASEAN usaha-usaha patungan penanaman modal demikian
akan mendapat potongan bea masuk paling sedikit 50%. Kalau
barangnya baru bagi ASEAN ada tambahan fasilitas proteksi:
selama tiga tahun berturut-turut tak akan diizinkan masuknya
proyek yang kedua.
Daftar barang-barang yang mendapat potongan bea masuk dalam
rangka PTA sekarang sudah berjumlah 16.000, artinya lebih dari
3.000 rata-rata per negara ASEAN. Di Singapura batas pemasukan
otomatis ke dalam daftar PTA juga dilonggarkan menjadi US$10
juta. Artinya, barang-barang yang nilai impor keseluruhan tidak
melebihi US$10 juta otomatis dimasukkan ke dalam daftar PTA dan
berhak atas potongan bea masuk. Batas potongan bea masuk ini
sekarang 50%, naik 20-25%.
Sampai sekarang sistem perangsang perdagangan antar-ASEAN dengan
PTA belum banyak berhasil mengembangkan arus perdagangan, karena
sebetulnya semangatnya kikir. Walaupun ASEAN bersepakat
mengajukan perdagangan dengan sistem potongan bea masuk, namun
dalam praktek yang mereka masukkan ke dalam daftar PTA adalah
barang-barang yang sangat kecil artinya dalam daftar impor
mereka. Lagi pula potongan bea masuk mula-mula juga sedikit
sekali. Maka impor ke dalam ASEAN tetap datang dari
sumber-sumber yang tradisional, yakni dari negara-negara
industri di luar ASEAN.
Semangat yang sesungguhnya di antara ASEAN masih sangat
proteksionistis, juga terhadap negara tetangganya. Indonesia,
misalnya, merasa khawatir, kalau tarif-tarif bea masuk terhadap
Singapura banyak dikurangi, akan terjadi banjir impor yang akan
merugikan industri dalam negeri yang sedang ditumbuhkan.
Sekalipun jumlah barang PTA masih sedikit dan potongannya masih
rendah, tiap negara mensyaratkan certificate of origin dan
komponen lokal minimal terhadap barang-barang yang diberikan PTA
ini.
***
Sesudah para menteri ekonomi ASEAN bertemu di Singapura maka
kamar-kamar dagang dan industri ASEAN bersidang di Manila.
Sektor swasta ini akhir-akhirnya harus menjadi pelaksana dari
peraturan kerja sama ekonomi yang dirintis oleh pemerintah
masing-masing. Kadin terutama gembira bahwa peraturan yang harus
mendorong penanaman modal ASEAN di Singapura mendapat kemajuan
yang berarti. Kadin-kadin ASEAN ini merasa puas, berkat
perjuangan mereka para menteri akhirnya menyetujui perjanjian
dasar mengenai ASEAN Industrial Joint Ventures (AIJV).
Sampai sekarang proyek-proyek penanaman swasta ASEAN masih macet
oleh karena syarat-syaratnya terlalu berat dan birokrasi
persetujuan dari pemerintah masing-masing terlalu rumit. Contoh
adalah ASEAN Industrial Complementation scheme, yang menghendaki
sekaligus disetujuinya lima proyek yang "komplementer" dan yang
lokasinya dibagi "rata" di antara kelima negara ASEAN.
Komplementaritas berarti bahwa semua lima proyek menjadi bagian
dari satu paket besar, misalnya paket industri otomatif.
Syarat keadilan yang menghendaki bahwa semua lima negara akan
kebagian proyek secara bersama dan serentak terlalu menyulitkan
pelaksanaan. Sampai sekarang belum ada proyek penanaman modal
ASEAN swasta yang sudah dilaksanakan. Penanaman modal proyek
pemerintah lebih berhasil. Dalam skema ASEAN Industrial Project
(AIP) sudah dua buah pabrik pupuk urea yang sedang dibangun,
satu di Indonesia dan satu lagi di Malaysia. Proyek-proyek AIP
di Singapura tidak pernah dapat disetujui (oleh Indonesia) dan
Singapura lalu mundur dari skema ini. Proyek Thailand (Soda Ash
dan Rock Salt) dan proyek Filipina (copper fabrication)
disetujui baru-baru ini, tapi pelaksanaannya mungkin masih akan
makan waktu. sebagian karena Jepang masih harus menguji
kelayakannya. Peranan Jepang dalam pembiayaan proyek-proyek AIP
ini besar oleh karena janjinya untuk memberi kredit lunak sampai
70% dari kebutuhan pembiayaannya.
SEMENTARA itu Kadin-kadin ASEAN telah menyusun daftar sejumlah
proyek yang harus disetujui (oleh pemerintah-pemerintah) untuk
mendapat fasilitas AIJV. Keistimewaan AIJV ini adalah, suatu
proyek dapat dimulai hanya oleh dua (pihak swasta) ASEAN. Proyek
ini akan mendapat PTA paling sedikit 50%, akan tetapi setelah
tiga tahun semua (pihak swasta) negara ASEAN harus ikut sebagai
pemegang saham, atau paling sedikit memberi potongan PTA yang
sama.
Oleh karena akhirnya semua negara ASEAN akan terlibat maka dari
semula mereka harus menyetujuinya, paling tidak menyatakan "tak
keberatan". Ada yang mengkhawatirkan bahwa syarat semua
(pemerintah) negara ASEAN harus menyetujui daftar proyek AIJV
ini akan makan waktu lama bagi proses penilaian dan persetujuan
ini. Kalau proses dan prosedur persetujuan memakan waktu terlalu
lama, maka besar kemungkinan para sponsor akan patah hati di
tengah jalan, mungkin karena keadaan berubah sementara waktu
itu.
**
Kemajuan ASEAN sekarang juga mendapat sorotan dari suatu Task
Force (TF), yang terdiri dari 15 orang, tiga dari setiap negara
ASEAN. Anggota-anggota TF ini ditunjuk oleh pemerintah
masing-masing, tapi mereka bebas untuk berbicara secara pribadi.
Ini tidak berarti bahwa TF ini mudah menjadi independen,
misalnya seperti Komisi Willy Brandt. TF ASEAN tetap mempunyai
majikan, yakni para menteri luar negeri. Tapi TF ASEAN ini
mendapat tugas untuk menilai kemajuan ASEAN, di semua bidang
(politik, ekonomi sosial budaya, dan sebagainya, sesuai dengan
sasaran Bali Concord 1976). Kalau merasa perlu ia juga dapat
menyarankan arah kebijaksanaan baru dalam sesuatu bidang kerja
sama.
Oleh karena laporan TF ini (mudah-mudahan) akan merupakan
laporan kesatuan, yang harus berdasarkan konsensus, maka belum
tentu TF nanti (bulan Juni 1983) dapat mengemukakan saran-saran
yang berjangkauan jauh, yang berani membawa kerja sama ASEAN ini
ke sasaran yang lebih luas daripada yang dinyatakan dalam
sasaran-sasaran Bali Concord. Batu ujinya akan terletak pada
pernilaian kerja sama di bidang ekonomi.
Pada umumnya kerja sama di bidang politik dan sosial budaya
tidak dipandang memerlukan haluan baru yang radikal.
Paling-paling usul-usul mengenai penyempurnaan mekanisme
pengambilan keputusan dan mekanisme pelaksanaan program-program.
Namun di bidang ekonomi dewasa ini ada semacam debat adakah
tujuan akhir kerja sama ekonomi ASEAN adalah sekedar
penyempurnaan sistem sekarang, ataukah harus diyatakan bahwa
sasaran akhir tiap kerja sama ekonomi regional adalah
tercapainya suatu pasaran bebas antara negara nggota, dan bea
masuk dan lain-lain unsur kebijaksanaan perdagangan luar negeri
yang sama untuk semua negara anggota. Rezim yang akhir ini
disebut Custom Union (kerja sama bea cukai) dan Common Market
(pasaran bersama), dan contohnya ada di Eropa.
Sebelum tercapainya rezim kerja sama bea cukai dan pasaran
bersama maka kawasan dapat menyusun suatu Free rrade Area (FTA),
di mana perdagangan berjalan bebas antara negara anggota, tapi
setiap negara masih bebas untuk mempertahankan peraturan impor
ekspor terhadap dunia luar. Contoh dari rezim yang akhir ini ada
di Amerika Latin.
Beberapa pihak swasta Filipina (bahkan pemerintahnya scndiri)
beranggapan, kerja sama ASEAN harus dinyatakan ssaran akhirnya,
yakni suatu pasaran bersama dengan kerja sama bea cukai yang
dapat didahului oleh suatu FTA. Rezim perdagangan yang berjalan
sekarang, yakni rezim PTA, harus dilihat sebagai pendahuluan.
Sebaliknya, akhir-akhir ini disadari bahwa Singapura menjadi
sumber masalah yang serius dalam pelaksanaan sistem PTA.
Singapura merupakan negara yang sangat terbuka alam
perdagangannya, hampir tidak mempunyai tarif bea masuk. Kalau
tidak mempunyai bea masuk yang berarti, maka ia juga tidak dapat
memberi "preferensi", dalam hentuk potongan. Tiap potongan dari
0% tetap 0%.
Maka dewasa ini disadari bahwa ASEAN mempunyai (dua negara yang
sukar, (dulu) Indonesia dan (sekarang) Singapura. Indonesia
bersikap sukar, karena terlalu proteksionistis. Sebaliknya,
karena Indonesia mempunyai tarif bea masuk tinggi maka potongan
25% menjadi potongan atau referensi yang berarti. Maka ada
pendapat yang mengatakan, Indonesialah yang paling murah hati
dalam pemberian preferensi, walaupun mungkin tidak disadarinya.
***
ORANG dapat mempertanyakan: apakah maksud utama dari kerja sama
ASEAN? Tujuan ekonomikah sehingga kerja sama di bidang lain
hanya merupakan sarana untuk melicinkan kerja sama ekonomi?
Ketika ASEAN dibentuk maka motif utama bukanlah kerja sama
ekonomi untuk menyatukan negara-negara Asia Tenggara. Motif
utama pembentukan ASEAN adalah keperluan menjamin kelangsungan
hidup negara-negara Asia Tenggara terhadap sesuatu ancaman dari
luar yang pada waktu itu tampak muncul. Maka motif utama adalah
sesuatu keperluan politis dan strategis. Lalu kerja sama ekonomi
digambarkan sebagai sarana kerja sama yang praktis. Kerja sama
militer secara sengaja tidak disebut dalam Deklarasi Bangkok.
Kerja sama politik juga menjadi salah satu sarana kerja sama,
begitu pula kerja sama di bidang sosial budaya.
Maka pertanyaan apakah kerja sama ekonomi dalam suatu kawasan
dunia selalu harus menuju ke arah integrasi ekonomi antara
negara-negara yang berdaulat, pada umumnya tidak masuk
perhitungan konseptor. Maksud kerja sama ekonomi adalah untuk
memperkuat masing-masing ketahanan nasional. Ketahanan regional
dipandang sebagai jumlah ketahanan nasional dari masing-masing
negara ASEAN.
Para ahli yang menganjurkan kerja sama ekonomi -- yang menuju ke
integrasi ekonomi -- berpendapat, ASEAN sebagai keseluruhan akan
maju lebih cepat kalau ekonomi seluruh kawasan diintegrasikan.
Secara teori ini mungkin benar, akan tetapi teori demikian
kurang memandang penting masalah "pemerataan dan keadilan".
Kalau ASEAN akan maju lebih cepat secara Common Market, akan
tetapi (misalnya) Singapura dan Filipina maju jauh lebih cepat
daripada Indonesia, maka orang Indonesia akan keberatan terhadap
tafsiran kemajuan demikian. Soal yang sama sebetulnya berlaku di
kawasan nasional. Kalau dalam negara kesatuan (seperti suatu
common market) Pulau Jawa akan maju jauh lebih cepat daripada
pulau-pulau lain, maka kemajuan Indonesia yang demikian itu akan
rawan pula secara politis dan keamanan.
DALAM kerja sama ekonomi ASEAN unsur dan masalah "keadilan"
(equity) memainkan peranan yang besar, kadang-kadang seolah-olah
merintangi laju kemajuan.
Dalam hal ini bangsa-bangsa Asia Tenggara harus belajar untuk
membedakan kepentingan (kemakmuran dan keadilan) jangka pendek
dan jangka jauh. Kalau ukuran keadilan terlalu terpaku pada
jangka pendek, maka ini bisa menghalanghalangi laju kemajuan.
Dalam membagi lokasi proyek-proyek penanaman modal ASEAN,
misalnya, janganlah setiap negara ASEAN minta jatahnya sekarang
juga. Dalam industrialisasi, kalau setiap negara main
proteksionisme mutlak, maka kemajuan kawasan secara keseluruhan
akan terhalang. Di mana jalan tengahnya? Inilah tuntutan kepada
statemanship ASEAN untuk menjawabnya.
***
Pola kerja sama ekonomi dari sekelompok negara yang merupakan
kawasan dapat bersifat 'menoleh ke dalam' (inward looking) atau
'menoleh ke luar' (outward looking). Usaha untuk membentuk suatu
pasaran bersama dan kerja sama bea cukai dapat disebut
berorientasi inward looking. Pola ini menimbulkan banyak
kesulitan, karena masing-masing negara mempunyai kepentingan
nasional yang belum cukup dapat didamaikan dengan kepentingan
pertumbuhan regional. Perbedaan dalam tingkat kemajuan ekonomi
antara berbagai negara anggota itu juga tidak memudahkan
integrasi.
Pola kerja sama ekonomi yang outward looking sama-sama
pentingnya. Dalam orientasi demikian yang dipandang paling
penting adalah pasar di luar kawasan, misalnya di negara-negara
industri. ASEAN lalu memperjuangkan secara bersama kemudahan
untuk masuk pasar-pasar demikian, terutama dalam alam ekonomi
yang serba proteksionistis.
ASEAN juga dapat mengembangkan sumber-sumber daya alamnya secara
bersama, secara patungan. Pasar untuk hasil olahan kekayaan alam
ini tidak diutamakan kepada pasar ASEAN, tapi untuk pasar dunia.
Ini sama sekali tidak mengecilkan pasar ASEAN, sebab semakin
besar pasar-di-rumah semakin kokoh proyeknya. Namun suatu proyek
ASEAN hendaknya jangan semata-mata didasarkan atas pasar ASEAN.
Kedua pola kerja sama ekonomi, yang menoleh ke dalam dan yang ke
luar, sama-sama mendasarkan diri kepada prinsip resources
pooling dan market sharing, tapi ada perbedaan tekanan mengenai
pembagian pasaran itu, ke dalam ASEAN atau ke luar.
Debat mengenai kedua prinsip ini masih akan berjalan terus,
seperti juga di dalam negeri mengenai dua alternatif
industrialisasi: yang bersifat mau mengganti impor dan yang
berorientasi ke ekspor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini