Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIDAMPINGI ajudan dan seorang anggota stafnya yang membawa segepok dokumen, Jenderal Tito Karnavian bergegas memasuki Ruang Bima, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin pekan lalu. Meluncur dari kantornya di Jalan Trunojoyo, Kepala Kepolisian RI ini nyaris terlambat mengikuti rapat genting hari itu: keputusan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia.
Setelah Tito datang, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto membuka rapat. Hadir juga dalam pertemuan itu Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Jaksa Agung Muda Intelijen Adi Toegarisman, serta sejumlah pejabat eselon I dari Kementerian Agama, Badan Intelijen Negara, dan Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia.
Tito mendapat tugas membedah temuan instansinya tentang aktivitas HTI di berbagai daerah dalam dua bulan terakhir. Termasuk penolakan terhadap aktivitas HTI di sejumlah daerah. "Peran Polri memberi informasi, fakta, dan data tentang kegiatan HTI yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945," ujar Tito seusai rapat.
Selain membawa dokumen, Tito membawa bukti rekaman video ceramah petinggi HTI di berbagai daerah yang menyiarkan doktrin negara Islam. Ada juga bukti video penolakan massa Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama terhadap kegiatan HTI di beberapa provinsi.
Menurut dokumen rapat yang diperoleh Tempo, ada puluhan aktivitas HTI yang dianggap menyimpang oleh pemerintah selama kurun 4 Maret-24 April 2017. Contohnya diskusi bedah buku "Menyamakan Visi Persatuan Umat Islam Indonesia" di Masjid Al-Ghufron, Perumahan Margahayu, Bekasi Timur, pada 4 Maret 2017. Dalam acara yang dihadiri 700 orang itu, Ketua HTI Kota Bekasi Ali Azis mengatakan perlunya negara khilafah, bukan negara demokrasi.
Contoh lain adalah acara cangkrukan politik yang digelar HTI Jawa Timur di Restoran Sup Buntut 24 Jam Gelora Pancasila, Surabaya, pada 22 April lalu. Diikuti puluhan orang, diskusi ini antara lain mengulas mendesaknya sistem khilafah karena amendemen Undang-Undang Dasar 1945 mereka anggap telah merusak tatanan negara. Pancasila juga dianggap bukan dasar negara yang tepat karena tidak mengatur halal dan haram.
Pemerintah mendapat informasi bahwa HTI berencana mendirikan khilafah di Indonesia pada 2018. Dalam rapat di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada Senin pekan lalu itu, seorang peserta menuturkan, rencana pembentukan negara khilafah menguat karena ada bukti naskah Rancangan Undang-Undang Dasar Islami (Ad-Dustur al-Islami) yang tengah digodok HTI. Rancangan sudah dibuat dalam format daftar inventarisasi masalah. Terdiri atas 186 pasal, rancangan ini menyebutkan Indonesia sudah saatnya menjadi negara Islam dengan sistem khilafah.
Rapat tersebut juga menyinggung hasil kajian Pusat Kajian Strategis TNI pada Juli 2010 yang merekomendasikan pembubaran HTI. Dikemas dalam bentuk buku kecil, kajian ini menilai HTI berambisi mewujudkan Khilafah Islamiyah di Indonesia, yang bisa mengancam Pancasila. Dengan jaringan dan strateginya yang masif, hasil kajian itu menyebutkan cita-cita negara khilafah yang diusung HTI bisa diwujudkan dalam waktu dekat.
Menurut kajian itu, jaringan Hizbut Tahrir Indonesia sudah mengakar di masyarakat, terutama di kalangan intelektual kampus dan para pelajar. Hizbut Tahrir merambah Indonesia sejak 1982 dan kini dipimpin Rahmat Kurnia. Strategi menanamkan doktrin dan menggaet massa dilakukan melalui berbagai cara: penyebaran buletin Al-Islam di masjid, seminar dan diskusi, kegiatan sosial, juga melalui media sosial, mimbar masjid, dan demonstrasi. Saat ini, HTI punya perwakilan di 34 provinsi.
Atas semua temuan itu, pemerintah memutuskan membubarkan HTI. Karena organisasi kemasyarakatan ini terdaftar sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2 Juli 2014, sesuai dengan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, pembubaran HTI harus melalui pengadilan. Kejaksaan Agung-lah yang akan melayangkan gugatan ke pengadilan.
Rapat juga memutuskan pembubaran tak memerlukan surat teguran seperti diatur Undang-Undang Ormas. Selain pelanggarannya dianggap fundamental karena hendak mengganti Pancasila dan UUD 1945, masifnya penolakan di daerah menjadi alasan tidak perlunya surat peringatan itu."Ini semacam lex specialis," ujar Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri Soedarmo.
Seusai rapat selama tiga jam itu, Wiranto mengumumkan keputusan pembubaran HTI. Menurut dia, HTI tidak memberikan peran positif bagi pembangunan nasional, kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta aktivitasnya menimbulkan benturan di masyarakat. "Ini juga aspirasi masyarakat dan upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia," katanya.
Menurut Wiranto, keputusan pembubaran HTI ini perintah langsung Presiden Joko Widodo. Jokowi mengundang Wiranto dan Tito ke kantor Presiden pada akhir April lalu. Presiden meminta Wiranto mengkaji opsi pembubaran HTI karena banyak laporan masuk ke Istana bahwa kegiatannya mengancam Pancasila. "Presiden menugaskan untuk mengkaji langkah-langkah yang cepat dan tegas terhadap ormas yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila," ujar Wiranto.
Setelah menerima perintah itu, Wiranto mengumpulkan Kepala Polri, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara, dan Kepala Badan Intelijen Strategis di kantornya. Tjahjo mengatakan sedikitnya enam kali mereka mengadakan rapat untuk membahas pembubaran HTI ini. Temuan pelanggaran dan strategi pembubaran baru serius dibahas dalam dua rapat terakhir.
Dewan Pimpinan Pusat HTI mengecam keras langkah pemerintah ini. Sekretaris Umum HTI Ismail Yusanto mengatakan lembaganya akan melawan. Salah satu celah yang akan digunakan adalah tidak adanya tahapan surat peringatan sebelum pembubaran. "Ketentuan itu sudah jelas di Undang-Undang Ormas," ujar juru bicara HTI ini.
Ismail menyebutkan HTI memang memiliki gagasan mengubah NKRI menjadi negara Islam. Tapi, menurut dia, itu baru sebatas gagasan. Termasuk, kata dia, gagasan khilafah dan rancangan undang-undang islami. Soal banyaknya benturan antara HTI dan ormas lain, Ismail memposisikan lembaganya sebagai korban. "Kami justru yang diserang," ujarnya. "Ada skenario membenturkan kami dengan yang lain."
Penolakan kegiatan HTI terjadi secara agresif sejak awal April lalu. Di Tulungagung dan Trenggalek, Jawa Timur, sebanyak 200 anggota Banser Nahdlatul Ulama menghadang konvoi ratusan anggota HTI yang menggunakan sepeda motor dan mobil di jalan kedua wilayah itu menuju Surabaya.
Iring-iringan itu hendak menghadiri tablig akbar HTI di Masjid Nasional Al-Akbar. Ketika itu, anggota Banser menurunkan paksa bendera khilafah yang dibawa anggota HTI. "Kami bubarkan mereka," kata Yoyok Mubarok, Koordinator Banser Tulungagung.
Di Makassar, massa HTI dan Banser NU sempat bentrok. Banser NU menolak tablig HTI di Jalan Jenderal Sudirman di kota itu. Massa HTI melawan dengan mengacungkan bambu bendera dan umbul-umbul yang mereka bawa. Massa Banser NU membalas dengan merangsek ke kerumunan HTI, sehingga terjadi saling dorong. Polisi cepat bergerak sehingga bentrok tak berlangsung lama. Ada beberapa korban terluka dari kedua kubu karena terkena pukulan bambu.
Sejak itu, aksi penolakan terhadap kegiatan HTI menjalar di sebagian besar kota. GP Ansor dan Banser NU melarang semua aktivitas HTI. Tidak mau terjadi benturan, kepala daerah dan kepolisian setempat kemudian menolak mengeluarkan izin kegiatan HTI.
Ketua GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas mengatakan penolakan terhadap kegiatan HTI di berbagai daerah terjadi karena mereka menawarkan khilafah dan mengesampingkan Pancasila. Bahkan, menurut dia, di beberapa kota, GP Ansor dan Banser NU terpaksa membubarkan kegiatan HTI karena terang-terangan menolak Pancasila. "Kasus di Surabaya lain lagi. Mereka mengajak massa NU berziarah ke makam Sunan Ampel, tapi malah dibawa ke kegiatan HTI," ujar Yaqut.
Tak cuma menawarkan khilafah, HTI di beberapa daerah juga aktif mengkampanyekan isu kebangkitan komunis di Indonesia. Pada 1 April lalu, 35 anggota HTI Bangkalan, Madura, menggelar parade di Stadion Karapan Sapi. Mereka menyerukan umat Islam wajib menumpas segala upaya yang hendak membangkitkan paham komunisme di Indonesia. Di saat yang sama, HTI Banyuwangi berdemo menyerukan hal serupa.
Isu bahaya komunisme ini juga dipakai HTI untuk menyerang PDI Perjuangan, partai pengusung Jokowi. Di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, misalnya. Menurut Ketua PDI Perjuangan Karanganyar Endang Muryani, HTI pernah menyerang secara terbuka partainya dengan isu ini dua tahun lalu setelah pengurus PDIP Karanganyar menghadiri acara Forum Kerukunan Umat Beragama di sana. "Di acara itu, HTI menyebut PDIP memiliki kedekatan dengan komunis," kata Endang.
Sumber Tempo di lingkungan internal partai itu mengatakan PDI Perjuangan kerap dituding memiliki hubungan dengan kebangkitan komunis Indonesia. Ini terjadi terutama setelah Jokowi terpilih menjadi presiden. Di beberapa daerah, kata dia, isu ini digalang HTI yang mendapat dukungan sekelompok elite militer di daerah. "Sasaran HTI jelas mendirikan khilafah dengan menggunakan isu komunis untuk menggoyang pemerintah saat ini," ujarnya.
HTI memang punya hubungan dekat dengan militer. Menurut hasil kajian Pusat Kajian Strategis TNI pada Juli 2010, HTI memiliki kedekatan dengan sejumlah mantan jenderal TNI Angkatan Darat sehingga memiliki akses terhadap militer. Pimpinan HTI, menurut hasil kajian tersebut, kerap diundang mengisi khotbah di acara instansi militer. Dengan kerja sama ini, HTI leluasa menyebarkan gagasan khilafah di Indonesia.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo membantah kajian Pusat Pengkajian Strategis TNI soal bantuan tentara untuk mempromosikan khilafah HTI. Juga soal tuduhan bahwa tentara dan HTI berkolaborasi mengkampanyekan bangkitnya komunisme. "Semuanya bohong," kata Gatot.
Ismail Yusanto curiga pembubaran itu terjadi karena mereka menentang Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur Jakarta dalam unjuk rasa 4 September 2016. Di daerah lain, HTI juga terlibat dalam demo meminta Ahok segera dibui. "Penolakan meningkat setelah Ahok kalah dalam pilkada," ujarnya. "Kami merasakan ada kaitannya."
Anton Aprianto, Itsman M.P., Ahmad Faiz, Ahmad Rafiq (Karanganyar), Hari Tri Wasono (Tulungagung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo